Oleh Tsalis Muttaqin
Dari permaisuri
berkedudukan tinggi yang tinggal di istana Raja Fir’aun, ia menjadi perempuan
beriman yang disiksa dan tertimpa amarah sampai meninggal dunia. Dialah perempuan
mulia nan agung, Asiya binti Muzahim, isteri Raja Fir’aun Mesir di zaman Nabi
Musa alaihissalam. Sebagai seorang permaisuri, Asiya tentu hidup serba
nikmat. Tidur nyaman di atas kasur empuk. Pakaian serba mewah dan mahal. Dilayani
gadis-gadis dan pengiring. Apapun yang diinginkan pasti kesampaian. Namun semua
kemewahan dan kesenangan itu ia tinggalkan. Asiya menjadi pengikut Musa dan beriman
kepada Agama yang dibawa Musa.
Kisah Asiya
binti Muzahim bermula dari sebuah peti yang berada di depan istana. Peti itu
berisi bayi. Ketika gadis-gadis pelayan istana menemukan peti itu, mereka
membawanya ke istana. Mereka tidak membukanya. Asiya orang yang pertama kali
membuka dan melihat isi peti itu. Asiya takjub begitu melihat cahaya yang
memenuhi wajah bayi kecil yang ada di dalam peti itu. Cahaya itu adalah
pancaran kenabian yang meneranginya. Mata Asiya tidak berkedip melihatnya. Ia
sangat mencintai dan menyayangi bayi itu. Selanjutnya Asia menjadi pagar bagi bayi
itu. Pagar yang menghalangimya dari kekejaman Fir’aun.
Mendengar
ditemukan peti berisi seorang bayi, Fir’aun datang dan hendak membunuhnya. Asiya
mencegahnya dengan sekuat tenaga. Asiya berkata kepada Fir’aun: “Kita angkat bayi
ini sebagai anak, supaya ia bermanfaat buat kita kelak.” Pada mulanya Fir’aun
menolak ajakan Asiya. Namun berkat desakan Asiya, akhirnya Fir’aun sepakat
untuk mengasuh bayi itu sebagai anak angkat. Asiya sangat bahagia mendapat
anugerah ini. Ia memberi nama bayi itu: Musa. Kemudian ia mencari wanita yang
mau menyusui bayi itu. Akan tetapi bayi itu selalu menolak disusui, sehingga
datang saudara perempuan Musa yang sejak semula mengikuti perjalanan peti itu.
Saudara perempuan Musa itu berkata kepada Asiya: “Saya tahu perempuan yang
tidak akan ditolak oleh bayi itu”. Seketika itu juga Asiya memerintahkan untuk
mendatangkan perempuan itu. Perempuan itu bernama Yukabid, ibu kandung Musa.
Ketika Yukabid, ibu kandung Musa menggendongnya, bayi Musa langsung menciumnya
dan menyusu dengan tenang tanpa menangis. Dua perempuan kini secara
bersama-sama menyayangi Musa. Satu ibu kandung yang melahirkan dan menyusuinya
dan satu ibu angkat yang merawat dan menjaganya.
Jadilah Musa
lentera yang bersinar di dalam istana Fir’aun. Ketika Asiya mengetahui kenabian
Musa, ia langsung membenarkan dan beriman, tapi ia tidak berani terang-terangan
karena takut pada suaminya, Fir’aun. Asiya beriman kepada agama Musa pada saat
menyaksikan peristiwa yang terjadi antara Musa dan para ahli sihir pengikut
Fir’aun. Setelah Musa melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular yang
sangat besar dan melumat ular-ular ciptaan ahli sihir.
Asiya yakin
dengan agama yang dibawa Nabi Musa, meskipun tidak berani terang-terangan. Cahaya
iman telah menerangi hatinya. Asiya mulai terang-terangan menampakkan Iman
kepada Nabi Musa di saat menyaksikan Fir’aun membunuh Masyithah dan anaknya,
karena mereka beriman kepada Tuhan selain Fir’aun. Fir’aun memang sangat kejam.
Dengan seorang bayi pun Fir’aun tidak menaruh iba dan belas kasih. Atas
kehendak Allah bayi dalam gendongan Masyithah dapat bicara untuk meneguhkan
hati ibunya atas ujian yang besar ini.
Menyaksikan
kekejaman fir’aun ini, Asiya tidak diam. Ia menentang perlakuan Fir’aun atas
Masyithah. Masyithah adalah perempuan yang beriman kepada Allah, oleh karenanya
Asiya menganggapnya sebagai saudara dalam iman. Dengan lantang Asiya berkata kepada Fir’aun:
“Celakalah engkau Fir’aun, berani-beraninya kamu kepada Allah”. Fir’aun murka
atas ucapan Asiya. Ia menghardik Asiya: “Apakah kamu sudah Gila, wahai Asiya.
Engkau telah kerasukan jin seperti Masyithah. Dengan tanpa ragu Asiya menjawab:
“Tidak. Aku tidak gila. Aku telah beriman kepada Allah Tuhan seluruh alam”.
Fir’aun berusaha menghentikan ucapan Asiya, tetapi dia bersikukuh dengan
ucapannya. Fir’aun lalu memanggil ibu Asiya agar melihat apa yang terjadi
kepada anaknya, tetapi Asiya tetap bersikukuh dengan ucapannya dan menolak
nasehat ibunya.
Fir’aun kemudian keluar dan berkata
kepada kaumnya: “Apa yang kalian katakan mengenai isteriku ini, Asiya binti
Muzahim?”. Mereka memuji Asiya dan berkata: “Tidak ada perempuan semulia dia”.
Fir’aun lalu berkata kepada mereka: “Ia telah kafir kepadaku dan mengikuti
Tuhan Musa”. Mendengar pernyataan Fir’aun, pasukaan berbalik menyalahkan Asiya:
“Kalau begitu, bunuh saja dia”. Setelah mendengar hasutan kaumnya, Fir’aun lalu
mengikat Asiya pada sebuah batu besar dan menjemurnya di bawah terik panas
matahari, tanpa diberi makan dan minum. Allah mengutus malaikat untuk
melindungi Asiya dari sengatan panas matahari.
Fir’aun menyiksa isterinya agar
kembali murtad dari agama Allah. Asiya menolaknya, meskipun harus menanggung
siksaan yang demikian keras. Hati yang telah merasakan manisnya iman tidak akan
goyah, meskipun didera berbagai derita dan nestapa. Dalam keadaan terikat,
Asiya memohon kepada Allah agar ditampakkan surga kepadanya, supaya ia
bahagia. Seketika itu juga Allah
mengabulkan permintaannya. Allah menampakkan surga yang disiapkan untuknya.
Asiya tersenyum bahagia menyaksikan keindahan surga. Fir’aun yang saat itu
menyaksikan senyum Asiya, berkata kepada kaumnya: “Lihatlah. Ia telah gila. Dia
senyum-senyum sendiri pada saat kusiksa sedemikian keras”. Setelah itu Fir’aun
memerintahkan kaumnya untuk menimbun tubuh Asiya dengan sebuah batu besar. Saat
itu juga Allah mencabut nyawa Asiya, hingga batu besar itu hanya menimpa tubuh
yang sudah tidak bernyawa lagi.
Demikianlah, perempuan agung ini
telah menjadi teladan bagi sebuah pengorbanan. Pengorbanan yang mahal dan indah
untuk keteguhan iman kepada Allah. Iman yang begitu kuat menyebabkannya tidak menghiraukan
lagi kekuasaan dan kemewahan. Bahkan tidak menghiraukan keselamatan diri dari
bahaya dan kehancuran. Allah memuliakan Asiya atas seluruh perempuan di dunia.
Ada empat perempuan paling mulia di dunia: Khadijah binti Khuwailid (isteri
Rasul Allah), Fathimah binti Muhammad Rasul Allah, Maryam binti Imran dan Asiya
binti Muzahim. (Tsalis Muttaqin).