Kamis, Januari 07, 2010

Imam Bukhari dan Kitab Shahih Bukhari

Imam al-Bukhari (194 - 256 H)
Imam Bukhari sering disebut sebagai amir al-mukminin atau penghulunya Umat Islam dalam perkara hadis. Bahkan, di kalangan para ahli hadis sendiri, beliau didaku sebagai imam atau pemimpin para ahli hadis dan maha guru dari segenap penghapal hadis di masanya.


Imam Bukhari mempunyai nama lengkap, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fiy. Beliau dilahirkan pada hari Jum’at pada tanggal 13, bulan Syawwal, tahun 194 H, di Bukhara. Nama al-Ju’fiy merupakan sebutan nasab perwalian kakek buyutnya ketika masuk Islam di hadapan al-Yaman al-Jahfiy, sementara ayah dari kakek buyutnya sendiri diketahui tetap memeluk agama Majusi hingga akhir hayatnya.

Riwayat kakek Imam Bukhari, Ibrahim, nampaknya hampir tidak tercatat. Sedangkan, ayahnya, Isma’il, terkenal sangat alim, dan juga berguru kepada beberapa ulama terkenal seperti Hamaad bin Zaid dan Imam Malik bin Anas. Nama ayahandanya masuk dalam kitab ats-Tsuqaat karya Ibnu Hibbaan dan at-Tarikh al-Kabir karya Imam Bukhari sendiri.

Ketika ayahnya meninggal, beliau masih terbilang kecil, sehingga ibunya merawat dan mendidiknya seorang diri. Biaya pendidikannya itu didapat dari harta peninggalan ayahnya. Sejak kecil, beliau senantiasa mendapat pertolongan Allah Swt. Dikisahkan dari masa kecil beliau, kedua matanya pernah mendapat musibah, hingga ibundanya amat khawatir dan teramat sedih. Ibundanya tak henti-henti meminta kesembuhan kedua matanya. Hingga pada suatu malam, ibundanya memimpikan melihat Nabi Ibrahim AS, yang kemudian berkata kepada ibundanya: “Sungguh! Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu sebagaimana sediakala, karena seringnya engkau berdo’a.” Ketika ibunda Imam Bukhari bangun di pagi hari, ia mendapati penglihatan anaknya sudah kembali seperti sediakala. Kesedihannya pun berganti menjadi kegembiraan dan suka cita.

Imam Bukhari sudah menampakkan kecerdasan luar biasa sejak kecil, barangkali bakat bawaan yang didapat dari ayahnya. Selain sifat rendah hati, Imam Bukhari kecil mempunyai kemampuan hapalan yang amat kuat dan otak yang encer. Di usia sepuluh tahun, beliau banyak belajar kepada ulama-ulama dan para imam hadis di negerinya. Dan pada usia enam belas tahun, beliau sudah mampu hapal dan menguasai kitab karya Ibn al-Mubarak, karya-karya Imam Wakii’, juga cara berpikir kaum rasionalis (ahl al-ra’yi). Di usia enam belas tahun pula, beliau melakukan perjalanan intelektual pertamanya ke luar Bukhara. Mula-mula, beliau pergi ke kota Makkah bersama ibu dan saudaranya, Ahmad, untuk menunaikan ibadah haji. Ketika itu, kota Makkah merupakan pusat keilmuan terpenting di daerah Hijaz. Setelah cukup menimba ilmu di Makkah, beliau tak lupa mengunjungi kota Madinah. Di dua kota inilah, sebagian karya-karya beliau dikarang.

Tak cukup mengunjungi kota Makkah dan Madinah, beliau mengelana ke berbagai pusat-pusat intelektual dan menemui para maha guru hadis di berbagai penjuru dunia Muslim di masanya. Dari perjalanan intelektualnya tercatat, ia mengunjungi Syam (Syiria), Mesir, dua kali ke Jazirah, tak kurang dari empat kali ke Bashrah, tinggal di Hijaz selama enam tahun, juga melakukan perjalanan yang hampir tak terhitung berapa kali ke Kufah dan Baghdad, juga menyinggahi daerah-daerah lain hanya untuk sekedar lewat atau menetap sebentar. Baghdad sendiri ketika itu merupakan pusat pemerintahan Islam dan tanah airnya para ulama terkenal. Di Baghdad pula ia berkali-kali bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Selain memulung hadis dan ilmu, selama perjalanannya ke berbagai kota tersebut beliau juga tak lupa mencatat dan membuat karya-karya di setiap malam dan kesempatan.

Selama melakukan perjalanan intelektual, Imam Bukhari banyak berguru kepada para ulama yang dapat dipercaya (amanah) dan punya kredibilitas tinggi (tsiqah). Beliau mengatakan: “Aku menulis (dan meriwayatkan hadis) dari 80.000 laki-laki, yang kesemuanya adalah periwayat hadis. Aku tidak menulisnya dari ulama, kecuali yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan sekaligus perbuatan.” Diantara guru-guru beliau yang termasyhur ialah: ‘Ali Ibn al-Madiny, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yuusuf al-Firyaaby, Makiy bin Ibrahim al-Balkhiy, Muhammad bin Yuusuf al-Baykindy, Ibn Rahawaih, dan beberapa guru lain dimana beliau meriwayatkan hadis dalam kitab Shahih-nya sejumlah 289 guru.

Berbekal semua itu, beliau dianggap sebagai maestro hadis yang tanpa tanding. Kekuatan hapalan, kecerdasan, dan pengetahuannya mengenai rijal al-hadits serta kemahirannya akan ‘ilal al-hadits, amat mengagumkan. Beliau mampu menghapal sebanyak 100.000 hadis shahih dan 200.000 hadis tidak shahih. Suatu kisah menceritakan, ketika beliau mengunjungi Baghdad, ulama-ulama Baghdad berkumpul hendak menguji pengetahuan beliau mengenai hadis. Para ulama hadis Baghdad mengajukan 100 hadis yang matan dan sanad-nya sudah dibolak-balik dan ditukar satu sama lain. Ketika para ulama mengajukan hadis tersebut, sepuluh-sepuluh, kepada Imam Bukhari, beliau mengatakan tidak mengenal hadis seperti itu. Lebih dari itu, selanjutnya, beliau mengoreksi dan memasangkan kembali sanad dan matan yang tepat dan benar hingga genap 100 hadis, hingga sampai-sampai diantar ulama Baghdad mengatakan: “Alangkah menakjubkan apa yang beliau lakukan. Namun, yang paling menakjubkan dari itu ialah, ia hanya butuh sekali saja kesempatan mendengarkan untuk mengetahui bahwa hadis-hadis itu sudah dibolak-balik, dan memang keliru susunannya.”

Imam Bukhari juga mempunyai banyak murid yang tak terhitung jumlahnya, terbilang tak kurang dari 90.000 murid. Sebagian muridnya yang termasyhur, diantaranya: Muslim bin al-Hajaaj, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Huzaimah, Ibn Abi Daawud, Muhammad bin al-Firabry, Ibrahim bin Mi’qal an-Nasafy, Hamaad bin Syaakir an-Nasawy, Manshur ibn Muhammad al-Bazdawy.

Ketika di dunia Muslim terjadi fitnah besar (mihnah) dalam persoalan apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan, yang turut menyeret Imam Ahmad bin Hanbal masuk penjara dan mendapat siksaan dari aparatus kekuasaan pemerintah berkuasa, Imam Bukhari jatuh sakit mendengarnya. Sempat pula, beliau menolak menghadiri undangan pemerintah untuk menjelaskan persolan yang sama. Apalagi, warga Samarkhan memintanya untuk singgah. Namun baru sampai daerah Khartank (kurang lebih 2 mil dari Samarkhan), beliau wafat. Saat itu beliau berumur 62 tahun kurang 13 hari, tepatnya pada tahun 256 H dikala kaum Muslim tengah merayakan Hari Raya Idul Fitri. Di waktu sekaratnya beliau berpesan, agar dikafankan dengan tiga helai kain tanpa pakain kebesaran (qamish dan ‘imamah).

Imam Bukhari melahirkan banyak sekali karya, namun yang paling masyhur ialah: al-Jami’ al-Shahih, al-Adab al-Mufrad, at-Tarikh as-Shaghir, at-Tarikh al-Awsath, at-Tarik al-Kabir, at-Tafsir al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, Kitab al-’Ilal, Raf’u al-Yadain fi as-Shalat, Birru al-Waalidain, Kitab al-Asyribah, al-Qira`atu Khalfa al-Imam, Kitab ad-Dhu’afa`, Usaamy as-Shahabah, dan Kitab al-Kunaa.

al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari

Dari banyak karyanya itu, yang paling mendapat perhatian sepanjang jaman ialah al-Jami’ al-Shahih. Para ulama hadis sebelum Imam Bukhari, belum ada yang pernah meyusun kitab hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang shahih saja. Kitab-kitab hadis yang dikarang sebelumnya, mencampur berbagai kualitas hadis, baik shahih, hasan, dha’if, dalam satu himpunan kitab hadis, dan menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca dan pengkritik hadis untuk menentukan kualitas hadis-hadis yang terkandung. Atas dasar inilah, Imam Bukhari merasa perlu untuk menyusun sebuah kitab hadis yang hanya memuat hadis-hadis yang shahih saja, yang dinamainya: “al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuuri Rasulillah Saw. wa Sunanihi wa Ayyaamihi.”

Dalam menyusun himpunan hadis shahih-nya itu, beliau amat mengutamakan kehati-hatian dan kecermatan. Sampai-sampai beliau shalat dua rakaat terlebih dahulu setiap kali meneliti satu hadis, sehingga beliau yakin bahwa hadis yang tengah ditelitinya itu benar-benar mempunyai kualitas shahih. Dari sejumlah 600.000 hadis yang ditelitinya, menurut Ibn Hajar al-‘Asqalany, hanya sebanyak 7.397 hadis (dengan pengulangan disana-sini, namun minus hadis yang masuk kategori muallaq, muttabi’, dan mauquf) yang beliau masukan dalam himpunan al-Jami’ al-Shahih-nya. Jika tanpa pengulangan, jumlah hadis dengan matan yang bersambung berjumlah sebanyak 2.602 hadis. Jika dihitung secara keseluruhan, al-Jami’ al-Shahih memuat: 159 hadis berkategori muallaq; 7.397 hadis berkategori shahih dengan pengulangan disana-sini; 1.341 hadis berkategori ta’liq (yang terkenal sebagai ta’liq al-Bukhari); dan 344 hadis dengan kategori muttabi’, sehingga keseluruhannya berjumlah 9.072 hadis. Lepas dari itu, jika diperhatikan secara seksama, betapa Imam Bukhari begitu ketat dan serius dalam mempersiapkan kitab hadis shahih-nya itu. Sebab dengan begitu, beliau tak kurang menyisihkan 590.000 hadis yang pernah ditelitinya.

Al-Jami’ al-Shahih sendiri disusun berdasarkan pembagian kitab dan bab. Kitab dan bab pertama diberi judul Bad`u al-Wahyi, tema yang dianggap merupakan dasar dari semua syari’at Islam; selanjutnya Kitab al-Iman; Kitab al-‘Ilm; Kitab at-Thaharah; Kitab as-Shalat; Kitab az-Zakaat; dan seterusnya. Secara keseluruhan terdapat 97 Kitab, yang mencakup 3.450 bab. Jumlah hadis pada masing-masing bab amat beragam. Ada bab yang banyak sekali memuat hadis, namun ada juga bab yang hanya memuat satu hadis. Pada masing-masing bab, ada yang disisipkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan ada juga yang tidak. Banyak hadis, sebagiannya atau secara utuh, diulang-ulang pada beberapa kitab dan bab, bahkan kadang dalam bentuk ringkasannya saja. Hal itu dilakukan karena menyesuaikan hukum yang terkandung didalamnya. Mengomentari karya Imam Bukhari ini, ad-Dzahaby mengatakan, “al-Jami’ al-Shahih adalah kitab yang paling agung dan paling afdhal setelah al-Qur’an”.

Kriteria Kesahihan Hadis
ala Imam Bukhari

Para ulama hadis menetapkan beberapa kriteria, sehingga sejauh mana suatu hadis dikatakan punya kualitas shahih, yakni: perawinya harus seorang Muslim; berakal; jujur; tidak mudallis (dimana seseorang meriwayatkan hadis dari orang sejamannya seolah-olah ia mendengarnya secara langsung, padahal ia tidak meriwayatkan darinya secara langsung dari orang sejamannya itu); tidak mukhtalit (orang yang banyak melakukan kekeliruan disengaja atau tidak karena faktor usia tau cacat yang disandangnya); ‘adil (dikenal takwa dan menjaga kesucian dirinya); dhabit (kuat hapalan dan tulisan); emosi dan pemikirannya jernih; sedikit sekali melakukan kekeliruan; dan mempunyai akidah yang benar.

Jika ditanyakan, apakah Imam Bukhari menetapkan kesemua kriteria diatas dengan baik? Jawabnya ialah, tentu saja beliau menerpakan kriteria-kriteria diatas. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beliau sesungguhnya melampaui imajinasi para ulama hadis lainnya dalam menyeleksi hadis.

Imam Bukhari memang tidak pernah secara eksplisit menyebut kriteria hadis shahih yang diterapkannya dalam al-Jami’ al-Shahih. Namun begitu, kriteria kesahihan yang dianutnya dapat diketahui dari penelaahan para ulama dan kritikus hadis sesudahnya. Dari situ diketahui bahwa Imam Bukhari tidak saja menerapkan kriteria bagi hadis shahih sebagaimana dikehendaki para ulama hadis, lebih dari itu beliau menyeleksi dan hanya mengambil hadis dari para periwayat yang mempunyai derajat paling tinggi dalam semua kategori penilaian bagi periwayat hadis shahih. Misalnya saja: jika ada riwayat dari Imam al-Zuhry, maka beliau akan mengambil periwayat dari tingkat pertama (thabaqat al-`ula) murid-murid Imam al-Zuhry, yang dalam berbagai segi paling unggul. Baik dari segi keadilannya (‘adil), kekuatan hapalannya (al-dhabtu al-tam), keteguhan keyakinan dan kepercayaannya (al-itqan wa al-amanah), serta lamanya bergaul dengan Imam al-Zuhry, baik ketika menetap maupun ketika dalam lawatan ke tempat-tempat lain (musafir).

Perlu diketahui, murid-murid Imam al-Zuhry terbagi kepada lima tingkatan. Tingkat pertama (thabaqat al-`ula) ialah murid-murid Imam al-Zuhry yang punya keunggulan sebagaimana disebut diatas, seperti Imam Malik bin Anas dan Sufyan bin ‘Uyainah. Dari tingkat inilah, Imam Bukhari banyak meriwayatkan hadis. Tingkat kedua (thabaqat al-tsaniyah), ialah murid yang punya kriteria kredibilitas sebagaimana tingkat pertama, kecuali pergaulannya dengan Imam al-Zuhry yang hanya terbilang sebentar, baik ketika menetap maupun musafir, seperti al-Awzaa’iy dan al-Laits Ibn Sa’ad. Dari tingkatan ini, Imam Bukhari hanya mengambil sedikit saja riwayat. Sebaliknya, Imam Muslim banyak meriwayatkan dari tigkatan ini (didepan pembahasan ini akan lebih diperinci). Tingkatan ketiga (thabaqat al-tsalits) ialah mereka yang tidak memenuhi kriteria kredibilitas dan kriteria apapun sebagaimana pada tingkatan kedua, seperti Ja’far bin Barqan dan Zam’ah bin Shaalih, dimana Imam Bukhari, tidak meriwayatkan satu hadis pun dari periwayat di tingkatan ini. Kecuali, untuk keperluan dijadikan sebagai muttabi’ dan syawahid hadis. Tingkatan keempat dan kelima (thabaqat al-rabi’ah wa al-khamisah) dari murid Imam al-Zuhry ialah orang-orang yang dikenal dha’if dan rendah kualitasnya (majruh). Baik Imam Bukhari maupun Imam Muslim, tidak meriwayatkan dari orang-orang yang berada pada tingkatan ini.

Sumber bacaan:

Dr. Muhammad Muhammad Abu Syuhbah,
Fi Rahaab as-Sunnah al-Kutub ash-Shahaah as-Sittah,
(tth: Silsilah al-Buhuts al-Islamiyah, 1389 H / 1969 M), cet. VIII.

Muhammad Abu Zahwu,
al-Hadits wa al-Muhadditsun aw ‘Inayah al-Ummah al-Islamiyah bi as-Sunnah an-Nabawiyah, (tth: Syirkah Sahimah Mishriyyah, tt).

Tidak ada komentar:

Entri Populer