Minggu, September 23, 2012

Manhaj Dzawi An-Nadhar : Kitab Uluum Al-Hadits Karya Syaikh Mahfudz Termas


 Oleh: Tsalis Muttaqin


A. Pendahuluan
Sejak abad ke 16 dan 17 M., ulama Indonesia sudah mulai banyak yang mengadakan hubungan surat menyurat dengan para ulama di Saudi Arabia. Mereka juga seringkali mengundang para ulama India dan negeri-negeri Arab dengan membawa buku tafsir, fiqih dan lain-lain. Banyak pula ulama-ulama Aceh dan daerah-daerah lain yang pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian tinggal beberapa lama di beberapa kota Hijaz dan Yaman untuk memperdalam pengetahuan agama mereka.[1]

Dalam perkembangannya, tidak sedikit di antara orang-orang Indonesia ini yang akhirnya berhasil menjadi ulama yang cukup dikenal di Timur Tengah dan dunia Islam umumnya, terutama pada abad ke 19 M. Mereka ini banyak yang berhasil menjadi guru besar di Mekkah dan Madinah. Bahkan beberapa di antaranya menulis kitab dalam bahasa Arab.[2]
Hal yang sangat menarik, para pelajar dari Nusantara yang melanjutkan pelajarannya di Saudi Arabia punya kebiasaan mengelompok sedemikian rupa dan memilih guru besar di Makkah dan Madinah yang berasal dari Nusantara.[3] Dari kebiasaan para pelajar ini, karya mereka menyebar luas di tanah air.
Selain Syaikh Mahfudh At-Tirmasiy dan karangannya, Manhaj Dzawi An-Nadhar, yang akan dibicarakan lebih lanjut dalam makalah ini, di antara ulama-ulama besar dari Indonesia yang menulis karya dalam bahasa Arab dan diakui dunia antara lain:
-          Syaikh Ahmad Khatib Sambas Kalimantan (As-sambasi), menulis kitab Fath Al-‘Arifin, tentang pedoman praktis yang menguraikan dasar-dasar ajaran praktek dzikir pagi para pengikut Tarekat Al-Qadiriyyah wa An-Naqsyabandiyyah. Kitab ini cukup masyhur di kalangan pengikut thariqah di wilayah Asia Tenggara.
-          Syekh Nawawi Banten (Al-Bantani). Beliau barangkali ulama yang paling produktif dan berbakat menulis. Tulisan-tulisannya meliputi karya pendek yang berisi tentang pedoman-pedoman ibadah sampai kepada tafsir Al-Qur'an yang cukup tebal. Terdapat lebih dari 38 karya Syaikh Nawawi yang penting. Antara lain : Syarah al-Jurumiyyah, Lubab al-Bayan, Dhariyat Al-Yaqin,Fathul Mujib syarh Adurr Al-Farid, Syarhu al-Isro wa al-Miraj lilBarzanji. Syarah Suluk Al-Jiddah, Syarah Sullam Al-Munajah dan tafsir Murah Labid li Kasyfi ma'na Qur'anin Majiid.
-          Syaikh Ihsan Jampes Kediri Jawa Timur (Al-Jamfasiy), karyanya yang terkenal, Siraaj Ath-Thaalibiin, kitab tentang ilmu tasawuf yang merupakan syarah dari Minhaj Al-Abidiin, karya Imam Ghozali. Kitab ini beredar luas baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Bahkan kabarnya tersimpan pula di perpustakaan Harvard University.
-          Syaikh Yasin Isa Padang (Al-Fadani). Beliau banyak menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu agama. Kitab-kitabnya banyak dijumpai di beberapa toko buku di Madinah.

B. Sejarah Hidup Syaikh Mahfudz Termas
Syaikh Mahfudz lahir di Tremas Pacitan Jawa Timur. Nama lengkapnya, sebagaimana tertulis dalam sampul kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar, Muhammad Mahfudh bin Abdullah At-Tirmasiy. Umurnya barangkali agak lebih muda daripada Syekh Nawawi Banten. Ayahnya, Kyai Abdullah, adalah pemimpin Pesantren Tremas yang sangat terkenal sejak pertengahan kedua abad ke-19. Syekh Mahfudh dan adiknya, Kyai Dimyathi, berangkat ke Mekkah kemungkinan pada perempat terakhir abad ke 19, untuk memperdalam pengetahuannya. Seperti Syaikh Nawawi Banten, rupanya Syaikh Mahfudh sangat berhasil dalam studinya di Mekkah, sehingga mampu mendudukkan dirinya sebagai salah seorang pengajar di Masjidil-Haram. Itulah sebabnya, sewaktu ayahnya memanggilnya untuk mulai merintisnya sebagai pengganti di Pesantren Tremas, ia mempersilahkan Kyai Dimyathi untuk memenuhi panggilan ayahnya dan untuk seterusnya kelak memimpin Pesantren Tremas. Seperti Syaikh Nawawi, Syaikh Mahfudh menjadi kebanggaan bangsa Melayu sebagai seorang alim berkaliber internasional. Menurut catatan Zamakhsyari Dhofier dalam buku Tradisi Pesantren, Syaikh Mahfudh sempat menulis lima buah kitab yang masing-masing terdiri berbagai-bagai jilid. Empat karangannya belum sempat diterbitkan, sedang yang sudah diterbitkan Muhibbah ahli Al-Fadlal, terdiri dari empat jilid.[4] Padahal kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar karya Syaikh Mahfudh juga banyak ditemukan di toko buku dan perpustakaan di Indonesia.
Di kalangan para kyai di Jawa, Syaikh Mahfudz juga dikenal sebagai seorang ahli dalam hadits Bukhari. Beliau diakui sebagai seorang isnad (mata rantai) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran shahih Bukhari. Beliau berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai shahih Bukhari. Ijazah ini berasal langsung dari Imam Bukhari sendiri yang ditulis sekitar 1000 tahun yang lalu dan diserahkan secara beranting melalui 23 generasi ulama yang telah menguasai karya Imam Bukhari. Syaikh Mahfudh merupakan salah satu mata rantai yang terakhir pada waktu itu.
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari ( pendiri dan pemegang jabatan Rais Akbar yang pertama di dalam Organisasi Nahdlatul Ulama), seorang kyai yang dianggap sangat alim di Jawa pada pertengahan pertama abad ke 20, juga terkenal sebagai seorang ahli hadits dan memperoleh ijazah mengajar shahih Bukhari dari Syaikh Mahfudh. Kesetiaan Hadratus Syaikh kepada Syaikh Mahfudh sedemikian besarnya sehingga murid-muridnya yang berbakat dalam hadits selalu disarankan untuk meneruskan pelajarannya ke Mekkah untuk memperoleh bimbingan dan ijazah langsung dalam pengetahuan hadits Bukhari dari Syaikh Mahfudh. Karena suksesnya itulah akhirnya Syaikh Mahfudh meneruskan kariernya sebagai guru besar di Mekkah sampai meninggalnya pada tahun 1918 M.[5]

C. Kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar
Kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar merupakan karya Syaikh Mahfudh termas yang paling monumental. Kitab ini pertama kali dicetak di Timur Tengah. Di antara penerbit yang masih konsisten menerbitkan kitab ini sampai sekarang, yaitu Percetakan dan penerbit Daar El-Fikr, Beirut, Lebanon. Sampai sekarang kitab ini masih banyak dijumpai di beberapa kota di timur Tengah. Di Cairo misalnya, setiap musim Pameran Buku Internasional, kitab ini masih banyak dijumpai. Kabar yang diterima oleh penulis, Syaikh Jabir Al-Yamani, seorang ulama aahli Ushul Fiqih yang tinggal di Mekkah (penulis sempat mengikuti pengajian beliau pada bulan Desember 1995) sempat membacakan kitab ini kepada santri-santrinya di Mekkah.
Manhaj Dzawi An-Nadhar merupakan syarah dari kitab nadham (berbentuk bait-bait syair) tentang ilmu-ilmu hadits karya Imam Suyuthi yang berjudul “Mandhumah Ilmi Al-Atsar” yang lebih terkenal dengan nama “Alfiyah As-Suyuthi”. Sebagaimana kitab-kitab syarah nadham yang lain, Manhaj Dzawi An-Nadhar  berusaha menjelaskan nadham yang ditulis Imam Suyuthi, yang pada umumnya, karakter karya nadlam memang sangat ringkas dan tidak jarang hanya berbentuk simbol-simbol.
Kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar dengan tebal 302 halaman ini ditulis oleh Syaikh Mahfudh selama empat bulan empat belas hari, sejak masuk bulan Dzulhijjah tahun 1328 H. sampai Jumat sore tanggal 14 Rabiul Akhir tahun 1329 H. Yang menarik diantara isi kitab ini beliau tulis pada saat menjalankan wuquf di Arafah dan hari-hari melempar Jumrah di Mina.[6]
Tentang “Nadham Alfiyah” karangan Imam Suyuthi yang seharusnya berjumlah 1000 bait, setelah dihitung oleh Syaikh Mahfudh ternyata jumlahnya kurang dari seribu bait, hanya 980 bait. Setelah melakukan penelitian yang hati-hati, Syaikh Mahfudh menambahkan 20 bait, agar jumlahnya menjadi tepat 1000 bait. Syaikh Mahfudh menambah 14 bait tentang jenis-jenis hadits mu’all  (mu’allal), 1 bait tentang etika pencari hadits, 4 bait tentang sebab-sebab hadits dan 1 bait lagi tentang 10 macam hadits yang merupakan tambahan suyuthi dari rumusan Ibnu Shalah dan Zainuddin Al-Iraqi.[7]
Sebagai syarah dari Nadham Alfiyah As-Suyuthi, Manhaj Dzawi An-Nadhar  merupakan kitab yang cukup lengkap dan rinci dalam  mengupas ilmu-ilmu hadits. Sebagaimana dikatakan Syaikh Mahfudh dalam kata pengantar, referensi utama yang digunakan dalam menulis kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar, ialah Muqaddimah karya Ibnu shalah, Syarah Nukhbatul Fikar karya Ibnu Hajar Al-Asqalaaniy dan Tadriibur-Raawi karya Imam As-Suyuthi.[8]
Masih dalam kata pengantar, Syaikh Mahfudh memaparkan sanad kitab Alfiyah, sampai kepada pemilik kitab Alfiyah, Imam Suyuthi. Dengan memaparkan sanad, barangkali Syaikh Mahfudh ingin menjelaskan bahwa kitab Alfiyah yang hendak beliau uraikan ini benar-benar milik Imam Suyuthi, disamping memberi pesan bahwa secara ilmiyah beliau memang mempunyai mata rantai keilmuan yang tersambung kepada Imam Suyuthi. Dari pemaparan sanad ini, dapat diketauhi, bahwa di antara guru Syaikh Mahfudh di Mekkah ialah As-Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha Al-Makkiy dan As-Sayyid Muhammad Amin bin Ahmad Al-Madaniy. Mereka berdua adalah ulama terkemuka di tanah Hijaz pada waktu itu.[9]

D. Hadits-hadits dalam Manhaj Dzawi An-Nadhar .
Bagi pembaca yang memperhatikan hadits-hadits yang dicantumkan dalam kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar, dengan serta merta akan mendapat kesan bahwa Syaikh Mahfudh merupakan seorang ulama yang cukup teliti dan hati-hati dalam meriwayatkan hadits. Setiap hadits yang dicantumkan selalu disertai dengan sumber perawi dan kitabnya, sekaligus disertai dengan kritik terhadap hadits tersebut. Meskipun para perawi tidak dicantumkan dengan lengkap, tetapi dengan melakukan kritik terhadap sanadnya, menunjukkan bahwa Syaikh Mahfudh merupakan penulis yang teliti dalam melakukan kritik terhadap hadits. Misalnya saja, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abu Dzar ra.,  berkata:
جاء أعرابى إلى رسول الله صلى الله تعالى عليه وسلم , فقال: يا نبىء الله ! فقال: لست بنبىء الله ولكنى نبى الله
Setelah menulis hadits di atas, Syaikh Mahfudh memberi cacatan dengan menukil pendapat Adz-Dzahabi yang mengatakan, bahwa hadits ini merupakan hadits munkar, karena salah satu rawinya ada yang bernama Hamraan, ia adalah seorang penganut Syiah Rafidlah yang tidak bisa dipercaya.[10]
Komentar-komentar seperti ini, baik untuk menjelaskan kesahihan sanad dan kedzaifannya, dilakukan oleh Syaikh Mahfudz hampir dalam semua hadits-hadits yang dicantumkan dalam kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar, kecuali jika hadits tersebut sangat terkenal sebagai hadits shahih.

E. Syaikh Mahfudz Sebagai Penulis Kitab Ilmu Hadits.
Sebelum muncul penulis-penulis yang secara khusus menulis ilmu hadits dalam satu kitab, ilmu hadits dirayah sebenarnya sudah ada, tapi tidak tertulis secara sistematis. Ilmu hadits masih berserakan dan tercerai-berai. Ada sebagian ilmu hadits yang disisipkan dalam kitab-kitab yang membahas bidang lain, ada pula kitab ilmu dirayah yang tidak sistematis susunannya, dan ada pula yang disatukan dengan kitab hadits yang disusunnya, seperti dilakukan Imam Muslim dalam kitab Al-Jami’-nya. Sementara itu Imam Syafi’i memasukkan metode kritik sanad haditsnya itu dalam kitab Ar-Risalah, suatu kitab yang sebenarnya merupakan metode dalam menetapkan hukum Islam atau lebih dikenal dengan ilmu ushul fiqh.
Baru pada abad ke-4 ada beberapa ulama yang mengkhususkan ilmu hadits dalam kitab tertentu dan menyusunnya secara sistematis. Methode untuk melakukan penelitian hadits ini dikenal dengan nama Ushulul-Hadits, Ulumul-hadits, Ma’rifatu Ulumil-Hadits, Ilmu Dirayah al-hadits dan Ilmu Musthalahul hadits.
Menurut temuan penulis, ulama yang pernah berjasa menyusun kitab yang berkaitan dengan ilmu-ilmu hadits ini antara lain:
-          Al-Qadli Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H.) dengan kitabnya Al-Muhaddtis Al-Fashil baina Ar-Raawiy wa Al-Waa’iy.
-          Al-Hakim Abu Abdullah An-Naysaburiy menulis kitab Al-Madkhal ilaa Kitab Al-Iklil dan Ma’rifat Uluumul-Hadits.
-          Al-Khathib Al-Baghdadiy menulis kitab Al-Jami’ li Adaabi Ar-Raawiy wa As-Saami’ dan Al-Kifayah fi Ilmi Ar-Riwayah.
-          Al-Qadli ‘Iyaad menulisnya dalam Al-Ilma’.
-          Ibnu Shalah, Abu Amr Utsman bin Abdurrahman Asy-Syahrazuri yang lebih dikenal dengan Ibnu Shalah (w. 642 H) menulis kitabnya yang terkenal Muqaddimah Ibnu shalah.
Sesudah Ibnu Shalah banyak tampil ulama yang membahas ilmu-ilmu Hadits antara lain Zainuddin Al-Iraqi, Ibnu Hajar Al-Asqalaaniy, Ibnu Katsir (w.774 H), Imam Suyuthi dan lain-lain. Namun  kebanyakan hanya dalam bentuk syarah (uraian), mukhtashar dan talkhish (ringkasan) dari kitab-kitab di atas.
Imam Suyuthi tampil dengan kitabnya Tadrib Ar-Rawi yang merupakan Syarh Taqriib karya Imam Nawawi. Di samping itu, Imam Suyuthi juga membuat Nadzam Alfiyah yang merupakan ringkasan ilmu-ilmu hadits yang berbentuk bait-bait syair. Dan Syaikh Mahfudl tampil dengan kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar  yang merupakan uraian dari nadham Alfiyah karya Imam Suyuthi tersebut.[11]
Dengan memaparkan secara ringkas sejarah perkembangan pembukuan ilmu hadits ini, dapat diketahui bahwa ilmu hadits yang ditulis Syaikh Mahfudl merupakan generasi belakangan. Jika kita runut dari Ar-ramahurmuzi, maka jarak antara Syaikh Mahfudl dan Ar-ramahurmuzi sekitar kurang lebih 1000 tahun.
Sebagai syarah terhadap alfiyah As-Suyuthi, harus diakui bahwa pikiran-pikiran ilmu-ilmu hadits dalam Manhaj Dzawi An-Nadhar mayoritas merupakan rekaman pemikiran yang diwarisi dari ulama-ulama pendahulunya. Namun demikian, kapasitas Imam Suyuthi yang cukup detail dalam menerangkan ilmu hadits dalam nadzam Alfiah-nya, dimana Imam Suyuthi berusaha merangkum semua persoalan-persoalan ilmu hadits, maka kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar  menjadi bagian yang sangat penting dalam jajaran disiplin ilmu-ilmu hadits.
Dalam memberi penjelasan terhadap Nadham Alfiah, Manhaj Dzawi An-Nadhar cukup memberi konstribusi yang besar untuk mendekati pikiran-pikiran Imam Suyuthi tentang ulumul hadits. Setiap kata yang ditulis Imam Suyuthi dijelaskan dan diuraikan sedemikian rupa sehingga menjadi gamblang bagi pembacanya. Bahkan dalam memberi uraian, seringkali Syaikh Mahfudh merekam persoalan-persoalan khilafiyah dalam bidang ini, sehingga memberi ruang alternatif pemikiran bagi pengkaji ilmu-ilmu hadits. Demikian juga tentang nama-nama ulama yang ditulis oleh Imam Suyuthi, Syaikh mahfudz berusaha menjelaskan biografinya (tarjamah) dengan lengkap dan detail, dengan bahasa yang ringkas dan padat.    
Meskipun dalam pengantarnya Syaikh Mahfudh mengatakan bahwa referensi utama kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar adalah Muqaddimah karya Ibnu shalah, Syarah Nukhbatul Fikar karya Ibnu Hajar Al-Asqalaaniy dan Tadriibur-Raawi karya Imam As-Suyuthi, namun pemakalah punya keyakinan kuat bahwa kitab-kitab lain pun tidak lepas dari tangan Syaikh mahfudh sebagai bahan rujukan. Hal ini jika melihat begitu banyaknya riwayat-riwayat hadits dan berbagai pernyataan ulama yang  beliau paparkan dalam Manhaj Dzawi An-Nadhar.
F. Antara Syaikh Mahfudh, Syaikh Nawawi dan Syaikh Ihsan
Kesamaan ketiga ulama ini adalah sama-sama orang Jawa. Syaikh Mahfudh lahir di Tremas Pacitan, Syaikh Nawawi lahir di Tanara Banten, sementara Syaikh Ihsan lahir di Jampes Kediri. Mereka bertiga merupakan ulama Jawa yang berkaliber internasional. Sumbangannya cukup besar dalam bidang keilmuan di dunia Islam.
Syekh Nawawi lebih dikenal dengan ahli fiqih, meskipun kitab-kitab yang dikarangnya meliputi berbagai bidang disiplin ilmu keislaman. Dengan kapasitasnya sebagai ahli fiqih, Syaikh Nawawi merupakan yang paling dikenal di Indonesia (jawa) di antara mereka bertiga. Hal ini karena pesantren-pesantren dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia punya kecenderungan kuat untuk mengembangkan bidang-bidang fiqih dari pada bidang-bidang ilmu keislaman lain.
Sementara Syaikh Ihsan Jampes, namanya melegenda dengan karyanya Siraj At-Thalibiin yang merupakan syarh dari kitab Minhaajul Abidin karya Imam Al-Ghazali. Siraj At-Thalibin ini merupakan kitab yang menjelaskan tasawuf versi Al-Ghozali dan sekaligus meluruskan berbagai penyimpangan tasawuf yang terjadi di Indonesia.
Bidang fiqh dan tasawuf memang mendapat porsi yang cukup besar dalam tradisi ilmu-ilmu ke-Islam-an di Indonesia. Kita sering menemukan  kitab karya Nawawi dan Syaikh Ihsan dibuat kajian di Indonesia.
Sementara itu,  Syaikh Mahfudh merupakan seorang ulama yang menguasai bidang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Tentu saja kitab-kitabnya tidak begitu dikaji di Indonesia, karena bidang hadits dan ilmu-ilmu hadits di Indonesia sampai dewasa ini masih menjadi “barang mewah”.
G. Penutup
Kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar merupakan salah satu karya terbaik dibidang ilmu-ilmu hadits yang pernah dihasilkan oleh orang Indonesia, Muhammad Mahfudh bin Abdullah At-Tirmasiy.
Manhaj Dzawi An-Nadhar tidak sekedar menjadi kebanggaan karena ditulis dengan Bahasa Arab, lebih dari itu ia merupakan karangan tentang ilmu-ilmu hadits yang memenuhi standar ilmiyah yang sesuai dengan tradisi-tradisi keilmuan umat Islam di masa keemasannya di masa lalu.
Manhaj Dzawi An-Nadhar memang bukan khas karangan orang Indonesia. Hampir bisa dikatakan, bahwa kitab ini tidak mengandung muatan lokal keindonesiaan, kecuali bahwa penulisnya adalah seorang alim berkebangsaan Indonesia.  Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau kitab ini menjadi khazanah penting dalam pustaka keilmuan dunia Islam, terutama dalam bidang ilmu-ilmu hadits. Kitab ini juga menjadi referensi penting di perpustakaan Universitas Al-Azhar Kairo. Syaikh Mahfudh dengan Manhaj Dzawi An-Nadhar-nya berhasil menempatkan diri sebagai ulama yang sejajar dengan para ulama-ulama hadits di Tanah Arab dan Dunia Islam.  
Ada kisah menarik mengenai Kitab ini. Sebagian kalangan ulama di Timur Tengah ada yang salah paham ketika membaca nisbat di belakang nama Syaikh Makhfudh. Syaikh Jabir Al-Yamani misalnya, beliau membaca “At-Tirmasi” dengan meng-kasrah mim-nya, menjadi “At-Tirmisiy”. Lucunya lagi beliau menterjemahkan At-Tirmisiy dengan “Orang yang jualan buah Tirmis”.
Kesalahan Syaikh Jabir Al-Yamani tersebut sebenarnya wajar. Pembaca Manhaj Dzawi An-Nadhar mungkin menduga bahwa penulisnya lahir dari negeri yang mempunyai tradisi ilmiyah yang mapan, seperti Baghdad, Kairo, atau Hadlramaut. Siapa sangka kitab sepenting Manhaj Dzawi An-Nadhar lahir dari goresan tangan emas anak negeri yang tidak begitu dikenal mempunyai tradisi ilmiyah yang mapan. Itupun dari sebuah desa yang tidak begitu dikenal, kecuali oleh kalangan tertentu. Desa Tremas, Kabupaten Pacitan.
Manhaj Dzawi An-Nadhar  memang karya emas. Wajar jika dia tampil begitu eksklusif dan elit secara keilmuan. Namun sebagai layaknya sebuah karya bermutu, mestinya Manhaj Dzawi An-Nadhar tidak hanya menjadi kebanggaan. Lebih jauh lagi, tradisi ilmiyah Syaikh Mahfudh seharusnya ditiru dan diteladani.
Namun sayangnya, upaya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari untuk memasyarakatkan hadits dan ilmu-ilmu hadits di tanah air seperti kandas di tengah jalan. Masyarakat ilmu keislaman di Indonesia masih terus larut dalam persoalan-persoalan tasawuf dan fiqih. Kita memang suka yang serba instant dan praktis dalam mempelajari masalah-masalah keagamaan. Kita memilih menjadi konsumen daripada menjadi produsen. Dengan begitu, induk ilmu pengetahuan Islam terletak dalam Al-Qur’an dan hadits, seolah menjadi terlupakan.
Nampaknya kita harus terus bersabar menunggu kapan tradisi keilmuan yang dikembangkan ulama hadits sekelas Syaikh Mahfudh menjadi trend di Indonesia.
Semoga Allah merahmati Syakh Muhammad Mahfudh bin Abdullah At-Tirmasi.


DAFTAR PUSTAKA
At-Tirmasiy, Muhammad Mahfudh bin Abdullah. Manhaj Dzawi An-Nadhar, (Beirut: Dar El-Fikr) tahun 1981, cet IV

Dr. Ahmad Umar Hasyim, Qawaa’idu Ushuuli l-Hadits, Beirut: Daru l-Fikri, tt

Dr. M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, (Jakarta: Paramadina) tahun 1999

Dr. Muhammad Ali Farhaat, Muhaadlaraat fi Uluumi l-Hadiits, Kairo: Dar Ath-Thibaa’ah Al-Muhammadiyyah, cet 1, 1408-1987

Dr. Shubhi Ash-Shaalih, Uluumu l-Hadiits wa Musthalaahuh, Beirut: Daru l-ilmi li l-malaayiin, cet 13, Mei 1988

Ibnu Hajar Al-Asqalaaniy, Nuzhatun-nadhar syarh nuhbatu l-Fikar, Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, cet 1, 1415

Ibnu Sh-Shalaah, Muqaddimah, Beirut: Mu’assasatu l-Kutub Ats-Tsaqaafiyah, cet 2, 1413-1993

Jalaaluddin As-Suyuuthiy, Tadriibur Raawi, Beirut: Daru l-Fikri, 1409-1988

Zainuddin Al-‘Iraaqiy, At-Taqyiid wa Al-Iidlaah, Beirut: Mu’assasatu l-Kutub Ats-Tsaqaafiyah, cet 2, 1413-1993

Zamahhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES) 1982, cet -1



[1]  Zamahhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES) 1982, cet -1, hlm 85.
[2]  Saat Saudi Arabia masih belum dikuasai oleh kelompok Wahabiyyah, di Masjidil-Haram masih banyak ditemukan majlis pengajian dan halaqah-halaqah. Semenjak Wahabiyyah berkuasa kebiasaan ini perlahan-lahan hilang, karena mendapat pengawasan ketat. Tetapi penulis mendapat kabar, di pertengahan abad 20 Syaikh Yasin Padang masih aktif mengajar di Masjidil Haram, meskipun beliau tidak mengikuti aliran Wahabiyyah. 
[3]  Kebiasaan mengelompok ini masih terjadi sampai sekarang. Saat melakukan Ziarah ke Mekkah pada tahun 1995, 1997 dan tahun 1998, penulis menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian Syaikh Jabir dari Yaman dan As-Sayyid Muhammad ‘Alawiy Al-Maliki. Dua ulama ini dikenal luas di lingkungan pesantren di Indonesia. Pengajian kedua ulama besar dari kalangan Sunni ini banyak diikuti oleh pelajar-pelajar dari Indonesia. Akan tetapi, saat mengikuti pengajian di Madinah kepada Syaikh Muhammad Zakariya Al-Bukhari dan Syaikh Muhammad ‘Awwaamah, penulis tidak menemukan satupun peserta pengajian yang berwajah Melayu.
[4] Zamahhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES) 1982, cet -1, hlm 91.
[5] Ibid, hlm 91.
[6] At-Tirmasiy, Muhammad Mahfudh bin Abdullah. Manhaj Dzawi An-Nadhar, (Beirut: Dar El-Fikr) tahun 1981, cet IV hlm 301.
[7] Ibid, hlm 302.
[8] Ibid hlm 3
[9] Ibid, hlm 3.
[10] Ibid hlm 4
[11] Dr. M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, (Jakarta: Paramadina) tahun 1999, hlm 9-10.

Tidak ada komentar:

Entri Populer