Oleh: Tsalis Muttaqin
A.
Pendahuluan
Sejak abad ke 16 dan 17 M., ulama Indonesia sudah mulai banyak yang
mengadakan hubungan surat menyurat dengan para ulama di Saudi Arabia. Mereka
juga seringkali mengundang para ulama India dan negeri-negeri Arab dengan
membawa buku tafsir, fiqih dan lain-lain. Banyak pula ulama-ulama Aceh dan
daerah-daerah lain yang pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan
kemudian tinggal beberapa lama di beberapa kota Hijaz dan Yaman untuk
memperdalam pengetahuan agama mereka.[1]
Dalam perkembangannya, tidak sedikit di antara orang-orang Indonesia
ini yang akhirnya berhasil menjadi ulama yang cukup dikenal di Timur Tengah dan
dunia Islam umumnya, terutama pada abad ke 19 M. Mereka ini banyak yang
berhasil menjadi guru besar di Mekkah dan Madinah. Bahkan beberapa di antaranya
menulis kitab dalam bahasa Arab.[2]
Hal yang sangat menarik, para pelajar dari Nusantara yang melanjutkan
pelajarannya di Saudi Arabia punya kebiasaan mengelompok sedemikian rupa dan
memilih guru besar di Makkah dan Madinah yang berasal dari Nusantara.[3]
Dari kebiasaan para pelajar ini, karya mereka menyebar luas di tanah air.
Selain Syaikh Mahfudh At-Tirmasiy dan karangannya, Manhaj Dzawi An-Nadhar,
yang akan dibicarakan lebih lanjut dalam makalah ini, di antara ulama-ulama
besar dari Indonesia yang menulis karya dalam bahasa Arab dan diakui dunia
antara lain:
-
Syaikh Ahmad Khatib Sambas
Kalimantan (As-sambasi), menulis kitab Fath Al-‘Arifin, tentang
pedoman praktis yang menguraikan dasar-dasar ajaran praktek dzikir pagi
para pengikut Tarekat Al-Qadiriyyah wa An-Naqsyabandiyyah. Kitab ini
cukup masyhur di kalangan pengikut thariqah di wilayah Asia Tenggara.
-
Syekh Nawawi Banten (Al-Bantani). Beliau
barangkali ulama yang paling produktif dan berbakat menulis. Tulisan-tulisannya
meliputi karya pendek yang berisi tentang pedoman-pedoman ibadah sampai kepada
tafsir Al-Qur'an yang cukup tebal. Terdapat lebih dari 38 karya Syaikh Nawawi
yang penting. Antara lain : Syarah al-Jurumiyyah, Lubab
al-Bayan, Dhariyat Al-Yaqin,Fathul Mujib syarh Adurr Al-Farid,
Syarhu al-Isro wa al-Miraj lilBarzanji. Syarah Suluk
Al-Jiddah, Syarah Sullam Al-Munajah dan tafsir Murah Labid li Kasyfi
ma'na Qur'anin Majiid.
-
Syaikh Ihsan Jampes Kediri Jawa
Timur (Al-Jamfasiy), karyanya yang terkenal, Siraaj Ath-Thaalibiin,
kitab tentang ilmu tasawuf yang merupakan syarah dari Minhaj
Al-Abidiin, karya Imam Ghozali. Kitab ini beredar luas baik di Indonesia
maupun di Timur Tengah. Bahkan kabarnya tersimpan pula di perpustakaan Harvard
University.
-
Syaikh Yasin Isa Padang (Al-Fadani).
Beliau banyak menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu agama. Kitab-kitabnya
banyak dijumpai di beberapa toko buku di Madinah.
B. Sejarah
Hidup Syaikh Mahfudz Termas
Syaikh Mahfudz lahir di Tremas Pacitan Jawa Timur. Nama
lengkapnya, sebagaimana tertulis dalam sampul kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar,
Muhammad Mahfudh bin Abdullah At-Tirmasiy. Umurnya barangkali agak lebih muda
daripada Syekh Nawawi Banten. Ayahnya, Kyai Abdullah, adalah pemimpin Pesantren
Tremas yang sangat terkenal sejak pertengahan kedua abad ke-19. Syekh Mahfudh
dan adiknya, Kyai Dimyathi, berangkat ke Mekkah kemungkinan pada perempat
terakhir abad ke 19, untuk memperdalam pengetahuannya. Seperti Syaikh Nawawi
Banten, rupanya Syaikh Mahfudh sangat berhasil dalam studinya di Mekkah,
sehingga mampu mendudukkan dirinya sebagai salah seorang pengajar di
Masjidil-Haram. Itulah sebabnya, sewaktu ayahnya memanggilnya untuk mulai
merintisnya sebagai pengganti di Pesantren Tremas, ia mempersilahkan Kyai
Dimyathi untuk memenuhi panggilan ayahnya dan untuk seterusnya kelak memimpin
Pesantren Tremas. Seperti Syaikh Nawawi, Syaikh Mahfudh menjadi kebanggaan
bangsa Melayu sebagai seorang alim berkaliber internasional. Menurut catatan
Zamakhsyari Dhofier dalam buku Tradisi Pesantren, Syaikh Mahfudh sempat menulis
lima buah kitab yang masing-masing terdiri berbagai-bagai jilid. Empat
karangannya belum sempat diterbitkan, sedang yang sudah diterbitkan Muhibbah
ahli Al-Fadlal, terdiri dari empat jilid.[4]
Padahal kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar karya Syaikh Mahfudh juga banyak
ditemukan di toko buku dan perpustakaan di Indonesia.
Di kalangan para kyai di Jawa, Syaikh Mahfudz juga dikenal
sebagai seorang ahli dalam hadits Bukhari. Beliau diakui sebagai seorang isnad
(mata rantai) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran shahih Bukhari.
Beliau berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil
menguasai shahih Bukhari. Ijazah ini berasal langsung dari Imam Bukhari
sendiri yang ditulis sekitar 1000 tahun yang lalu dan diserahkan secara
beranting melalui 23 generasi ulama yang telah menguasai karya Imam Bukhari.
Syaikh Mahfudh merupakan salah satu mata rantai yang terakhir pada waktu itu.
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari ( pendiri dan pemegang
jabatan Rais Akbar yang pertama di dalam Organisasi Nahdlatul Ulama), seorang
kyai yang dianggap sangat alim di Jawa pada pertengahan pertama abad ke 20,
juga terkenal sebagai seorang ahli hadits dan memperoleh ijazah mengajar
shahih Bukhari dari Syaikh Mahfudh. Kesetiaan Hadratus Syaikh kepada Syaikh
Mahfudh sedemikian besarnya sehingga murid-muridnya yang berbakat dalam hadits
selalu disarankan untuk meneruskan pelajarannya ke Mekkah untuk memperoleh
bimbingan dan ijazah langsung dalam pengetahuan hadits Bukhari dari
Syaikh Mahfudh. Karena suksesnya itulah akhirnya Syaikh Mahfudh meneruskan
kariernya sebagai guru besar di Mekkah sampai meninggalnya pada tahun 1918 M.[5]
C. Kitab Manhaj Dzawi
An-Nadhar
Kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar merupakan karya Syaikh
Mahfudh termas yang paling monumental. Kitab ini pertama kali dicetak di Timur
Tengah. Di antara penerbit yang masih konsisten menerbitkan kitab ini sampai
sekarang, yaitu Percetakan dan penerbit Daar El-Fikr, Beirut, Lebanon.
Sampai sekarang kitab ini masih banyak dijumpai di beberapa kota di timur
Tengah. Di Cairo misalnya, setiap musim Pameran Buku Internasional, kitab ini
masih banyak dijumpai. Kabar yang diterima oleh penulis, Syaikh Jabir
Al-Yamani, seorang ulama aahli Ushul Fiqih yang tinggal di Mekkah (penulis
sempat mengikuti pengajian beliau pada bulan Desember 1995) sempat membacakan
kitab ini kepada santri-santrinya di Mekkah.
Manhaj Dzawi An-Nadhar merupakan syarah dari
kitab nadham (berbentuk bait-bait syair) tentang ilmu-ilmu hadits karya
Imam Suyuthi yang berjudul “Mandhumah Ilmi Al-Atsar” yang lebih terkenal
dengan nama “Alfiyah As-Suyuthi”. Sebagaimana kitab-kitab syarah
nadham yang lain, Manhaj Dzawi An-Nadhar berusaha menjelaskan nadham yang
ditulis Imam Suyuthi, yang pada umumnya, karakter karya nadlam memang
sangat ringkas dan tidak jarang hanya berbentuk simbol-simbol.
Kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar dengan tebal 302
halaman ini ditulis oleh Syaikh Mahfudh selama empat bulan empat belas hari,
sejak masuk bulan Dzulhijjah tahun 1328 H. sampai Jumat sore tanggal 14 Rabiul
Akhir tahun 1329 H. Yang menarik diantara isi kitab ini beliau tulis pada saat
menjalankan wuquf di Arafah dan hari-hari melempar Jumrah di Mina.[6]
Tentang “Nadham Alfiyah” karangan Imam Suyuthi yang
seharusnya berjumlah 1000 bait, setelah dihitung oleh Syaikh Mahfudh ternyata
jumlahnya kurang dari seribu bait, hanya 980 bait. Setelah melakukan penelitian
yang hati-hati, Syaikh Mahfudh menambahkan 20 bait, agar jumlahnya menjadi
tepat 1000 bait. Syaikh Mahfudh menambah 14 bait tentang jenis-jenis hadits mu’all
(mu’allal), 1 bait tentang
etika pencari hadits, 4 bait tentang sebab-sebab hadits dan 1 bait lagi tentang
10 macam hadits yang merupakan tambahan suyuthi dari rumusan Ibnu Shalah dan Zainuddin
Al-Iraqi.[7]
Sebagai syarah dari Nadham Alfiyah
As-Suyuthi, Manhaj Dzawi An-Nadhar
merupakan kitab yang cukup lengkap dan rinci dalam mengupas ilmu-ilmu hadits. Sebagaimana
dikatakan Syaikh Mahfudh dalam kata pengantar, referensi utama yang digunakan
dalam menulis kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar, ialah Muqaddimah
karya Ibnu shalah, Syarah Nukhbatul Fikar karya Ibnu Hajar Al-Asqalaaniy
dan Tadriibur-Raawi karya Imam As-Suyuthi.[8]
Masih dalam kata pengantar, Syaikh Mahfudh memaparkan sanad
kitab Alfiyah, sampai kepada pemilik kitab Alfiyah, Imam Suyuthi. Dengan
memaparkan sanad, barangkali Syaikh Mahfudh ingin menjelaskan bahwa
kitab Alfiyah yang hendak beliau uraikan ini benar-benar milik Imam
Suyuthi, disamping memberi pesan bahwa secara ilmiyah beliau memang mempunyai
mata rantai keilmuan yang tersambung kepada Imam Suyuthi. Dari pemaparan sanad
ini, dapat diketauhi, bahwa di antara guru Syaikh Mahfudh di Mekkah ialah
As-Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha Al-Makkiy dan As-Sayyid Muhammad Amin
bin Ahmad Al-Madaniy. Mereka berdua adalah ulama terkemuka di tanah Hijaz pada
waktu itu.[9]
D. Hadits-hadits dalam
Manhaj Dzawi An-Nadhar .
Bagi pembaca yang memperhatikan hadits-hadits yang
dicantumkan dalam kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar, dengan serta merta akan
mendapat kesan bahwa Syaikh Mahfudh merupakan seorang ulama yang cukup teliti
dan hati-hati dalam meriwayatkan hadits. Setiap hadits yang dicantumkan selalu
disertai dengan sumber perawi dan kitabnya, sekaligus disertai dengan kritik
terhadap hadits tersebut. Meskipun para perawi tidak dicantumkan dengan
lengkap, tetapi dengan melakukan kritik terhadap sanadnya, menunjukkan bahwa
Syaikh Mahfudh merupakan penulis yang teliti dalam melakukan kritik terhadap
hadits. Misalnya saja, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abu Dzar
ra., berkata:
جاء
أعرابى إلى رسول الله صلى الله تعالى عليه وسلم , فقال: يا نبىء الله ! فقال: لست
بنبىء الله ولكنى نبى الله
Setelah menulis hadits di atas, Syaikh Mahfudh memberi cacatan dengan
menukil pendapat Adz-Dzahabi yang mengatakan, bahwa hadits ini merupakan hadits
munkar, karena salah satu rawinya ada yang bernama Hamraan, ia adalah
seorang penganut Syiah Rafidlah yang tidak bisa dipercaya.[10]
Komentar-komentar seperti ini, baik untuk menjelaskan kesahihan sanad
dan kedzaifannya, dilakukan oleh Syaikh Mahfudz hampir dalam semua
hadits-hadits yang dicantumkan dalam kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar,
kecuali jika hadits tersebut sangat terkenal sebagai hadits shahih.
E. Syaikh
Mahfudz Sebagai Penulis Kitab Ilmu Hadits.
Sebelum muncul penulis-penulis yang secara khusus menulis ilmu hadits
dalam satu kitab, ilmu hadits dirayah sebenarnya sudah ada, tapi tidak tertulis
secara sistematis. Ilmu hadits masih
berserakan dan tercerai-berai. Ada sebagian ilmu hadits yang disisipkan dalam
kitab-kitab yang membahas bidang lain, ada pula kitab ilmu dirayah yang tidak
sistematis susunannya, dan ada pula yang disatukan dengan kitab hadits yang
disusunnya, seperti dilakukan Imam Muslim dalam kitab Al-Jami’-nya.
Sementara itu Imam Syafi’i memasukkan metode kritik sanad haditsnya itu dalam kitab
Ar-Risalah, suatu kitab yang sebenarnya merupakan metode dalam
menetapkan hukum Islam atau lebih dikenal dengan ilmu ushul fiqh.
Baru pada abad ke-4 ada
beberapa ulama yang mengkhususkan ilmu hadits dalam kitab tertentu dan menyusunnya
secara sistematis. Methode untuk melakukan penelitian hadits ini dikenal dengan
nama Ushulul-Hadits, Ulumul-hadits, Ma’rifatu Ulumil-Hadits, Ilmu Dirayah
al-hadits dan Ilmu Musthalahul hadits.
Menurut temuan penulis,
ulama yang pernah berjasa menyusun kitab yang berkaitan dengan ilmu-ilmu hadits
ini antara lain:
-
Al-Qadli Abu Muhammad
Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H.) dengan kitabnya Al-Muhaddtis Al-Fashil baina
Ar-Raawiy wa Al-Waa’iy.
-
Al-Hakim Abu Abdullah
An-Naysaburiy menulis kitab Al-Madkhal ilaa Kitab Al-Iklil dan Ma’rifat
Uluumul-Hadits.
-
Al-Khathib Al-Baghdadiy menulis
kitab Al-Jami’ li Adaabi Ar-Raawiy wa As-Saami’ dan Al-Kifayah fi
Ilmi Ar-Riwayah.
-
Al-Qadli ‘Iyaad menulisnya dalam Al-Ilma’.
-
Ibnu Shalah, Abu Amr Utsman bin
Abdurrahman Asy-Syahrazuri yang lebih dikenal dengan Ibnu Shalah (w. 642 H)
menulis kitabnya yang terkenal Muqaddimah Ibnu shalah.
Sesudah Ibnu Shalah banyak tampil ulama yang membahas ilmu-ilmu Hadits
antara lain Zainuddin Al-Iraqi, Ibnu Hajar Al-Asqalaaniy, Ibnu Katsir (w.774
H), Imam Suyuthi dan lain-lain. Namun
kebanyakan hanya dalam bentuk syarah (uraian), mukhtashar
dan talkhish (ringkasan) dari kitab-kitab di atas.
Imam Suyuthi tampil dengan kitabnya Tadrib Ar-Rawi yang
merupakan Syarh Taqriib karya Imam Nawawi. Di samping itu, Imam Suyuthi
juga membuat Nadzam Alfiyah yang merupakan ringkasan ilmu-ilmu hadits
yang berbentuk bait-bait syair. Dan Syaikh Mahfudl tampil dengan kitab Manhaj
Dzawi An-Nadhar yang merupakan
uraian dari nadham Alfiyah karya Imam Suyuthi tersebut.[11]
Dengan memaparkan secara ringkas sejarah perkembangan pembukuan ilmu
hadits ini, dapat diketahui bahwa ilmu hadits yang ditulis Syaikh Mahfudl
merupakan generasi belakangan. Jika kita runut dari Ar-ramahurmuzi, maka jarak
antara Syaikh Mahfudl dan Ar-ramahurmuzi sekitar kurang lebih 1000 tahun.
Sebagai syarah terhadap alfiyah As-Suyuthi, harus diakui bahwa
pikiran-pikiran ilmu-ilmu hadits dalam Manhaj Dzawi An-Nadhar mayoritas
merupakan rekaman pemikiran yang diwarisi dari ulama-ulama pendahulunya. Namun
demikian, kapasitas Imam Suyuthi yang cukup detail dalam menerangkan ilmu
hadits dalam nadzam Alfiah-nya, dimana Imam Suyuthi berusaha merangkum
semua persoalan-persoalan ilmu hadits, maka kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar menjadi bagian yang sangat penting dalam
jajaran disiplin ilmu-ilmu hadits.
Dalam memberi penjelasan terhadap Nadham Alfiah, Manhaj Dzawi
An-Nadhar cukup memberi konstribusi yang besar untuk mendekati
pikiran-pikiran Imam Suyuthi tentang ulumul hadits. Setiap kata yang ditulis
Imam Suyuthi dijelaskan dan diuraikan sedemikian rupa sehingga menjadi gamblang
bagi pembacanya. Bahkan dalam memberi uraian, seringkali Syaikh Mahfudh merekam
persoalan-persoalan khilafiyah dalam bidang ini, sehingga memberi ruang
alternatif pemikiran bagi pengkaji ilmu-ilmu hadits. Demikian juga tentang
nama-nama ulama yang ditulis oleh Imam Suyuthi, Syaikh mahfudz berusaha
menjelaskan biografinya (tarjamah) dengan lengkap dan detail, dengan
bahasa yang ringkas dan padat.
Meskipun dalam pengantarnya Syaikh Mahfudh mengatakan bahwa referensi
utama kitab Manhaj Dzawi An-Nadhar adalah Muqaddimah karya Ibnu
shalah, Syarah Nukhbatul Fikar karya Ibnu Hajar Al-Asqalaaniy dan Tadriibur-Raawi
karya Imam As-Suyuthi, namun pemakalah punya keyakinan kuat bahwa kitab-kitab
lain pun tidak lepas dari tangan Syaikh mahfudh sebagai bahan rujukan. Hal ini
jika melihat begitu banyaknya riwayat-riwayat hadits dan berbagai pernyataan
ulama yang beliau paparkan dalam Manhaj
Dzawi An-Nadhar.
F. Antara
Syaikh Mahfudh, Syaikh Nawawi dan Syaikh Ihsan
Kesamaan ketiga ulama ini adalah sama-sama orang Jawa. Syaikh Mahfudh
lahir di Tremas Pacitan, Syaikh Nawawi lahir di Tanara Banten, sementara Syaikh
Ihsan lahir di Jampes Kediri. Mereka bertiga merupakan ulama Jawa yang
berkaliber internasional. Sumbangannya cukup besar dalam bidang keilmuan di
dunia Islam.
Syekh Nawawi lebih dikenal dengan ahli fiqih, meskipun kitab-kitab yang
dikarangnya meliputi berbagai bidang disiplin ilmu keislaman. Dengan
kapasitasnya sebagai ahli fiqih, Syaikh Nawawi merupakan yang paling dikenal di
Indonesia (jawa) di antara mereka bertiga. Hal ini karena pesantren-pesantren
dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia punya kecenderungan kuat untuk
mengembangkan bidang-bidang fiqih dari pada bidang-bidang ilmu keislaman lain.
Sementara Syaikh Ihsan Jampes, namanya melegenda dengan karyanya Siraj
At-Thalibiin yang merupakan syarh dari kitab Minhaajul Abidin
karya Imam Al-Ghazali. Siraj At-Thalibin ini merupakan kitab yang
menjelaskan tasawuf versi Al-Ghozali dan sekaligus meluruskan berbagai penyimpangan
tasawuf yang terjadi di Indonesia.
Bidang fiqh dan tasawuf memang mendapat porsi yang cukup besar dalam
tradisi ilmu-ilmu ke-Islam-an di Indonesia. Kita sering menemukan kitab karya Nawawi dan Syaikh Ihsan dibuat
kajian di Indonesia.
Sementara itu, Syaikh Mahfudh
merupakan seorang ulama yang menguasai bidang hadits dan ilmu-ilmu hadits.
Tentu saja kitab-kitabnya tidak begitu dikaji di Indonesia, karena bidang
hadits dan ilmu-ilmu hadits di Indonesia sampai dewasa ini masih menjadi “barang
mewah”.
G.
Penutup
Kitab Manhaj Dzawi
An-Nadhar merupakan salah satu karya terbaik dibidang ilmu-ilmu hadits yang
pernah dihasilkan oleh orang Indonesia, Muhammad Mahfudh bin Abdullah
At-Tirmasiy.
Manhaj Dzawi An-Nadhar tidak sekedar menjadi kebanggaan karena
ditulis dengan Bahasa Arab, lebih dari itu ia merupakan karangan tentang
ilmu-ilmu hadits yang memenuhi standar ilmiyah yang sesuai dengan
tradisi-tradisi keilmuan umat Islam di masa keemasannya di masa lalu.
Manhaj Dzawi An-Nadhar memang bukan khas karangan orang
Indonesia. Hampir bisa dikatakan, bahwa kitab ini tidak mengandung muatan lokal
keindonesiaan, kecuali bahwa penulisnya adalah seorang alim berkebangsaan
Indonesia. Oleh karenanya, tidak
mengherankan kalau kitab ini menjadi khazanah penting dalam pustaka
keilmuan dunia Islam, terutama dalam bidang ilmu-ilmu hadits. Kitab ini juga
menjadi referensi penting di perpustakaan Universitas Al-Azhar Kairo. Syaikh
Mahfudh dengan Manhaj Dzawi An-Nadhar-nya berhasil menempatkan diri
sebagai ulama yang sejajar dengan para ulama-ulama hadits di Tanah Arab dan
Dunia Islam.
Ada kisah menarik mengenai Kitab ini. Sebagian kalangan ulama di Timur
Tengah ada yang salah paham ketika membaca nisbat di belakang nama Syaikh
Makhfudh. Syaikh Jabir Al-Yamani misalnya, beliau membaca “At-Tirmasi”
dengan meng-kasrah mim-nya, menjadi “At-Tirmisiy”. Lucunya lagi
beliau menterjemahkan At-Tirmisiy dengan “Orang yang jualan buah
Tirmis”.
Kesalahan Syaikh Jabir Al-Yamani tersebut sebenarnya wajar. Pembaca Manhaj
Dzawi An-Nadhar mungkin menduga bahwa penulisnya lahir dari negeri yang
mempunyai tradisi ilmiyah yang mapan, seperti Baghdad, Kairo, atau Hadlramaut.
Siapa sangka kitab sepenting Manhaj Dzawi An-Nadhar lahir dari goresan
tangan emas anak negeri yang tidak begitu dikenal mempunyai tradisi ilmiyah
yang mapan. Itupun dari sebuah desa yang tidak begitu dikenal, kecuali oleh
kalangan tertentu. Desa Tremas, Kabupaten Pacitan.
Manhaj Dzawi An-Nadhar
memang karya emas. Wajar jika dia tampil begitu eksklusif dan elit
secara keilmuan. Namun sebagai layaknya sebuah karya bermutu, mestinya Manhaj
Dzawi An-Nadhar tidak hanya menjadi kebanggaan. Lebih jauh lagi, tradisi
ilmiyah Syaikh Mahfudh seharusnya ditiru dan diteladani.
Namun sayangnya, upaya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari untuk memasyarakatkan
hadits dan ilmu-ilmu hadits di tanah air seperti kandas di tengah jalan.
Masyarakat ilmu keislaman di Indonesia masih terus larut dalam
persoalan-persoalan tasawuf dan fiqih. Kita memang suka yang serba instant
dan praktis dalam mempelajari masalah-masalah keagamaan. Kita memilih menjadi
konsumen daripada menjadi produsen. Dengan begitu, induk ilmu pengetahuan Islam
terletak dalam Al-Qur’an dan hadits, seolah menjadi terlupakan.
Nampaknya kita harus terus bersabar menunggu kapan tradisi keilmuan
yang dikembangkan ulama hadits sekelas Syaikh Mahfudh menjadi trend di
Indonesia.
Semoga Allah merahmati Syakh Muhammad Mahfudh bin Abdullah At-Tirmasi.
DAFTAR
PUSTAKA
At-Tirmasiy, Muhammad Mahfudh bin Abdullah. Manhaj Dzawi An-Nadhar, (Beirut:
Dar El-Fikr) tahun 1981, cet IV
Dr. Ahmad Umar
Hasyim, Qawaa’idu Ushuuli l-Hadits, Beirut: Daru l-Fikri, tt
Dr. M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, (Jakarta: Paramadina)
tahun 1999
Dr. Muhammad Ali Farhaat, Muhaadlaraat
fi Uluumi l-Hadiits, Kairo: Dar Ath-Thibaa’ah Al-Muhammadiyyah, cet 1,
1408-1987
Dr. Shubhi Ash-Shaalih, Uluumu l-Hadiits wa
Musthalaahuh, Beirut: Daru l-ilmi li l-malaayiin, cet 13, Mei 1988
Ibnu Hajar Al-Asqalaaniy, Nuzhatun-nadhar syarh nuhbatu l-Fikar,
Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, cet 1, 1415
Ibnu Sh-Shalaah, Muqaddimah,
Beirut: Mu’assasatu l-Kutub Ats-Tsaqaafiyah, cet 2, 1413-1993
Jalaaluddin As-Suyuuthiy, Tadriibur
Raawi, Beirut: Daru l-Fikri, 1409-1988
Zainuddin Al-‘Iraaqiy, At-Taqyiid
wa Al-Iidlaah, Beirut: Mu’assasatu l-Kutub Ats-Tsaqaafiyah, cet 2,
1413-1993
Zamahhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES) 1982, cet
-1
[1] Zamahhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES) 1982, cet -1,
hlm 85.
[2] Saat Saudi Arabia masih belum dikuasai
oleh kelompok Wahabiyyah, di Masjidil-Haram masih banyak ditemukan majlis
pengajian dan halaqah-halaqah. Semenjak Wahabiyyah berkuasa kebiasaan ini
perlahan-lahan hilang, karena mendapat pengawasan ketat. Tetapi penulis
mendapat kabar, di pertengahan abad 20 Syaikh Yasin Padang masih aktif mengajar
di Masjidil Haram, meskipun beliau tidak mengikuti aliran Wahabiyyah.
[3] Kebiasaan mengelompok ini
masih terjadi sampai sekarang. Saat melakukan Ziarah ke Mekkah pada tahun 1995,
1997 dan tahun 1998, penulis menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian Syaikh
Jabir dari Yaman dan As-Sayyid Muhammad ‘Alawiy Al-Maliki. Dua ulama ini
dikenal luas di lingkungan pesantren di Indonesia. Pengajian kedua ulama besar dari
kalangan Sunni ini banyak diikuti oleh pelajar-pelajar dari Indonesia. Akan
tetapi, saat mengikuti pengajian di Madinah kepada Syaikh Muhammad Zakariya
Al-Bukhari dan Syaikh Muhammad ‘Awwaamah, penulis tidak menemukan satupun
peserta pengajian yang berwajah Melayu.
[4] Zamahhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES) 1982, cet
-1, hlm 91.
[5] Ibid,
hlm 91.
[6]
At-Tirmasiy, Muhammad Mahfudh bin Abdullah. Manhaj Dzawi An-Nadhar, (Beirut:
Dar El-Fikr) tahun 1981, cet IV hlm 301.
[7] Ibid,
hlm 302.
[8]
Ibid hlm 3
[9]
Ibid, hlm 3.
[10]
Ibid hlm 4
[11]
Dr. M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, (Jakarta: Paramadina) tahun
1999, hlm 9-10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar