Sungguh teramat luar bisa pengaruh kitab Pararaton terhadap cerita
sejarah kebangsaan di negeri ini, padahal bukti-bukti sejarah belum bisa
menjastifikasi kebenarannya. Pramoedya Ananta Toer mengangkat cerita Ken Arok
dan Ken Dedes melalui judul bukunya Arok Dedes, walaupun dibuat serealistik
mungkin dengan bersandarkan ke kenyataan kehidupan yang manusiawi, tapi ada
satu hal yang terlupakan, yaitu kebenaran dari sosok Ken Arok atau Ken Dedes
itu sendiri, bahwa apakah meraka pernah ada dan nyata dalam sejarah. Soalnya
nama Ken Arok yang selalu dicocok-cocokan dan dianggap sama dengan Sri Rajasa
Sang Amurwabhumi raja kerajaan Tumapel (Singhasari versi kitab Pararaton).
Ken Dedes dengan beberapa tokoh tambahan lainnya seperti Tunggul
Ametung dan Mpu Gandring yang terkenal dengan keris saktinya, apakah mereka
juga adalah benar-benar para pelaku sejarah? Bukti-bukti sejarah yaitu
prasati-prasati yang ditemukan, mempunyai kemiripan tahun dan tempat yang sama
dengan Ken Arok, mungkin bisa jadi itu sosok Sri Rajasa Sang Amurwabhumi yang
dimaksud Ken Arok disana, mengingat dijelaskan juga gelaran dari Ken Arok yang
diangkat raja pada waktu itu dan sama dengan yang disampaikan kitab Pararaton,
tapi apakah Ken Dedes dengan yang lainnya ada juga bukti sejarahnya? Apakah
benar pula cerita yang menghiasi latar belakang dan kehidupan Ken Arok itu
seperti itu adanya? (Manusia berandalan, seorang kriminal, yang akhirnya
menjadi raja besar pendiri Wangsa Rajasa leluhurnya raja-raja Majapahit).
Satu hal yang pasti adalah bahwa nama tokoh-tokoh beken seperti Ken
Arok, Ken Dedes, Tunggul Ametung dan Mpu Gandring, akan selalu menghiasi
bingkai cerita-cerita masyarakat dalam segala bentuk dan versi terbarunya, dan
mereka itu hanyalah nama-nama yang cuma ada dalam Kitab Pararaton, tidak ada
sumber sejarah lain yang memunculkan nama mereka.
Keris Mpu Gandring dibuat seolah-olah keris yang mempunyai manuat,
teramat sakti, berisi kutukan dan menjadi misteri bagi mereka yang terobsesi
oleh hal-hal mistis, bahkan sering dijadikan bahan penipuan untuk kepentingan
memperoleh keuntungan bisnis semata dengan membawa-bawa nama besar mistis dari
keris itu sendiri. Sungguh merupakan kebohongan dan kesesatan yang teramat
nyata, tetapi mengapa sebagian masyarakat menerima begitu saja mitos yang tidak
ada dasar logikanya. Penerimaan itu tentu saja bisa terjadi karena kitab
Pararaton sendiri secara keseluruhan sudah diterima dalam pola pikir kehidupan
masyarakat luas.
Pertanyaan selanjutnya, apakah tidak salah kaprah bangsa ini dalam
membesar-besarkan kisah mereka? padahal dalam setiap penayangan-penayangan atau
tulisan-tulisan yang dibuat selalu ada unsur-unsur sejarah yang dimasukan, pada
akhirnya sesuatu yang asalnya dari fantasi menjadi menjelma sebagai bentuk
sejarah kebangsaan, malah menjadi kebanggan pula.
Sri Rajasa Sang Amurwabhumi alias Ken Arok adalah raja besar kerajaan
Tumapel pendiri dinasti raja-raja Wangsa Rajasa, yang merupakan cikal bakal
dari lahirnya kerajaan besar sebagai penerusnya yaitu kerajaan Majapahit. Sri
Rajasa Sang Amurwabhumi alias Ken Arok dikerdilkan sedemikian rupa oleh cerita
kitab Pararaton sebagai manusia hina dalam pandangan masyarakat, brandalan,
kriminal, yang tumbuh jadi serorang raja besar.
Padahal untuk menjadi seorang negarawan, apalagi seorang raja besar
yang mampu menyatukan wilayah sebegitu luasnya, mulai dari perbatasan Kali
Brebes di Jawa Tengah sampai ke penghujung Jawa Timur, haruslah seorang yang
punya visi dan misi kenegarawanan, terlebih harus dapat diterima dan didukung
masyarakat luas untuk tempo lama.
Kitab Pararaton adalah buku yang tidak jelas siapa penulisnya, yang berisikan informasi sejarah, ada
penandaan tahun, tempat dan nama para pelaku itu sendiri, tetapi buku ini
dirangkai dengan cerita fiksi, ada narasi atau pengkisahan yang memicu dan
mempengaruhi emosi pembaca. Kepintaran dalam memberikan lemparan-lemparan kisah
yang dramastis, yang sangat cocok dengan nuansa perasaan dan rasa sentimentil
masyarakat pada umumnya.
Terdapat kisah yang digambarkan secara mistis, erotis, konflik dan
lain sebagainya walau tidak sedetail dan segamblang novel, tapi cukup
memberikan berbagai polemik pertanyaan pada akhirnya. Ini juga yang memicu
orang untuk selalu mengembangkannya.
Keglobalan dari cerita inilah yang menjadi bahan inspirasi bagi para
penulis lainnya. Penandaan tahun atau waktu peristiwa tidak selamanya cocok
dengan bukti-bukti sejarah, tapi setidaknya ini dianggap cukup menjadi bahan
referensi bagi perjalanan sejarah bangsa ini yang teramat minim dengan
dokumentasi sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar