Oleh Tsalis Muttaqin
Umat Islam sepakat bahwa sumber hukum Islam setelah
Al-Qur’an adalah Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sunnah Nabi merupakan tafsir hidup
terhadap isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Karena keyakinan ini, sejak awal
umat Islam punya kepentingan untuk menjaga, menghafal, menulis dan memberi
penjelasan dan menyebarluaskan sunnah-sunnah Nabi.
Untuk menegakkan agama Allah dan meneguhkan
sendi-sendi dakwah, Rasulullah SAW membangunnya dengan penuh kesabaran, merasakan
berbagai kesulitan dan bahkan siksaan. Dalam perkembangannya kesabaran
Rasulullah SAW ini menjadi motivasi yang kuat bagi kaum Muslimin untuk membela
diri dan menyatukan langkah untuk meneladani sunnah-sunnah Nabi. Mereka
berupaya untuk menjaga dan mempelajari sunnah-sunnah beliau SAW. Motivasi yang
paling utama dan terpenting yang mempengaruhi semangat para sahabat Nabi waktu
itu adalah keteladanan yang baik. Keteladanan yang baik ini tergambar dalam
diri Rasulullah SAW, sebagai jawaban dari firman Allah dalam surat Al-Ahzaab:
21:
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
mengingat Allah.
Keteladanan dari Rasulullah tidak akan
didapatkan seseorang, kecuali dengan mengetahui sabda-sabda Rasulullah,
perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat beliau. Sunnah Nabi dapat diketahui hanya dengan
cara mempelajari, menjaga dan memahaminya. Sedangkan pelajaran yang paling
berharga dari sunnah Nabi adalah mengamalkannya.
Al-Qur’an dan sunnah mendorong kaum Muslimin untuk mencari
ilmu dan mengamalkannya. Yaitu dengan melakukan perjalanan dan penelitian untuk
mendapatkan dan menyampaikan ilmu, menyebarkan sunnah, menjaga dan menyampaikannya
kepada manusia merupakan bagian dari perintah ajaran Islam.
Firman Allah SWT dalam Surat At-Taubah: 122:
“Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (Q.S. At-Taubah: 122)
Kaum Muslimin waktu itu mempunyai kesiapan fitrah
yang kuat, cita rasa Arab murni dan daya ingat kuat yang dapat
dipertanggungjawabkan yang menggerakkan keinginan mereka mengambil sunnah Nabi
dengan penuh antusias, semangat, cinta dan sukarela.
Beberapa motivasi di atas sangat berpengaruh pada
pribadai para sahabat Nabi dan mendorong mereka untuk selalu berkumpul di
sekitar Rasulullah SAW guna mendapatkan sunnah-sunnah beliau yang suci yang
didalamnya terdapat keteladanan yang sangat bermanfaat buat agama, dunia dan
akhirat mereka. Keteladanan yang menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat, karena
hukum-hukum dan pelajaran keluhuran budi pekerti yang ada pada sunnah sangat
erat kaitannya dengan masalah aqidah, syari’ah dan akhlak. Bahkan sangat
berkaitan dengan etika, perilaku dan pergaulan mereka. Bagi yang mau menelaah
sunnah-sunnah Rasulullah SAW niscaya mendapatkan keteladan yang dihiasi dengan
cahaya dan hidayah.
Rasulullah SAW sangat berharap dapat menyampaikan
sunnah-sunnahnya kepada kaum Muslimin dan memotivasi para sahabatnya untuk
menghafal hadis dan menyampaikannya. Beliau mengajarkan cara mengajarkan sunnah
dan menyampaikan hadis, serta meletakkan dasar-dasar tatacara mengklarifikasi
secara ilmiah dalam menguji keshahihan hadis yang beredar di antara mereka. Para
sahabat mengikuti arahan dan petunjuk Rasulullah SAW tersebut sebagai metode
dalam periwayatan hadis.
Para Sahabat
sangat antusias untuk mengikuti majlis-majlis Rasulullah SAW di samping mereka
harus pula mengurus persoalan-persoalan hidup mereka. Jika di antara mereka ada
yang berhalangan, mereka saling bergantian dengan yang lain untuk mengikuti
majlis-majlis Rasulullah. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin
al-Khaththab. Ia berkata:
“Aku dan tetanggaku dari Anshar berada di desa Bani
Umayyah bin Zaid. Dia termasuk orang kepercayaan di Madinah. Kami saling
bergantian menimba ilmu dari Rasul SAW. Sehari aku yang menemui Beliau dan pada
hari lain dia yang menemui Beliau. Jika giliranku tiba, aku menanyakan seputar
wahyu yang turun hari itu dan perkara lainnya. Dan jika giliran tetanggaku
tiba, ia pun melakukan hal yang sama…”
Tidak mudah bagi semua sahabat Nabi untuk selalu
dapat mendengarkan hadis dari Rasulullah SAW, karena mereka juga harus mengurus
berbagai pekerjaan. Jika berhalangan mendengarkan hadis dari Nabi, mereka
mencari informasi dari teman-temannya. Dalam mencari informasi, seleksi mereka
sangat ketat. Demikian ini juga terjadi pada suku-suku yang jauh. Mereka
mengutus perwakilan untuk belajar kepada Nabi mengenai hukum-hukum agama, untuk
kemudian mengajarkan kepada suku-suku tersebut setibanya perwakilan itu
kembali.
Beginilah cara hidup para sahabat bersama Rasulullah
SAW. Mereka menyaksikan segala perbuatan Rasulullah, baik di dalam ibadah,
mu’amalah dan lainnya. Ketika ada masalah yang tidak dipahami, mereka menghadap
bertanya dan minta penjelasan kepada Nabi.
Rasulullah juga mengajarkan masalah agama kepada
sahabat-sahabat perempuan. Beliau memberi waktu khusus untuk mengajar kepada
mereka. Isteri-isteri beliau merupakan wanita yang mendapat kedudukan yang
tinggi dalam hal ilmu. Karena itu, banyak dari kalangan sahabat perempuan yang
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada isteri-isteri Rasulullah, mengenai
masalah dan keadaan mereka yang tidak mungkin atau merasa malu jika diajukan
langsung kepada Rasulullah. Seperti masalah-masalah yang khusus terkait dengan
perempuan misalnya.
Hal lain yang menjadi sarana bagi tersebarnya sunnah
Nabi yaitu beberapa utusan yang dikirim untuk mengajar dan mengarahkan beberapa
suku dan surat-surat Rasulullah yang ditujukan kepada raja-raja di sekitar
Madinah yang berisi ajakan untuk masuk Islam.
Demikian halnya dengan perang fathu Makkah
(membebaskan tanah Mekkah) yang mempunyai pengaruh besar terhadap penyebaran
sunnah-sunnah Rasulullah. Waktu itu Rasulullah berpidato di depan ribun kaum
muslimin dan lainnya untuk mengumumkan pengampunan bagi orang-orang Mekkah yang
memusuhi Rasulullah dan beberapa penjelasan tentang hukum-hukum. Isi pidato itu
kemudian dihafal dan dibawa oleh para yang hadir untuk memberi mengarahkan dan
bimbingan kepada keluarga mereka.
Setelah keadaan Mekkah telah pulih kembali,
Rasulullah mengarahkan perjalanannya menuju Masjidil Haram untuk ibadah haji.
Waktu itu ada ribuan kaum Muslimin yang menyertai Rasulullah. Rasulullah
berkhuthbah di hadapan mereka dengan pidato komprehensif yang dianggap sebagai
landasan agung dakwah Islam beliau yang terakhir.
Pidato Rasulullah ini berisi beberapa hukum-hukum
dan sunnah-sunnah beliau. Di dalamnya Rasulullah menjelaskan hukum-hukum yang
terkait dengan manasik haji dan tradisi-tradisi jahiliyah yang dilarang Islam.
Khuthbah yang agung ini termasuk sarana yang besar bagi tersebarnya sunnah Nabi
ke segala suku dan keluarga.
Suatu hal yang pasti adalah bahwa tingkat kepandaian
dan pengetahuan terhadap sunnah Nabi di kalangan sahabat tidak sama. Mereka
beragam dalam kapasitas ilmiyah. Ada di antaranya yang banyak mendapatkan
hadis, ada yang hanya sedikit dan ada yang sedang. Sesuai dengan kondisi dan
kapasitas masing-masing.
Di antara mereka ada yang berasal dari desa dan ada
pula yang memang penduduk kota. Ada yang total menghabiskan waktunya untuk
beribadah dan ada pula yang sibuk dengan persoalan kehidupan. Sedangkan yang
paling banyak mendapatkan informasi tentang hadis tentu saja yang lebih dahulu
masuk Islam, seperti khalifah empat dan Abdullah bin Mas’ud. Kemudin yang
paling sering mengikuti Nabi, seperti Abu Hurairah atau paling rajin mencatat, seperti
Abdullah bin Amr bin al-‘Ash.
Waktu itu para sahabat sangat memohon kepada Allah
agar mendapat rejeki ilmu yang tidak mudah dilupakan. Mereka tidak sekedar
mengandalkan kemauan dan kekuatan dirinya. Disamping mengamalkan ilmunya mereka
juga banyak berdoa, kerena kuatnya keinginan agar dapat melestarikan sunnah
Nabi yang mulia dan memegang teguh hukum-hukum dan ilmu agama dengan berbagai
persoalannya.
Sahabat Nabi yang paling banyak menghafal dan
meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Di dalam kitab al-Mustadrak
dituturkan riwayat dari Zaid bin Tsabit, ia berkata: Waktu itu aku, Abu
Hurairah dan sahabat lain bersama Rasulullah SAW.
Kata Rasulullah SAW: “Berdoalah kalian”.
Maka aku dan temanku berdoa yang diamini oleh
Rasulullah.
Setelah itu giliran Abu Hurairah berdoa’ ia berkata:
“Ya Allah. Aku mohon kepadamu seperti apa yang telah dimohonkan oleh kedua
temanku ini. Dan aku memohon kepadamu ilmu yang tidak lupa”.
Doa Abu Hurairah ini diamini oleh Rasulullah pula.
Maka kami berkata kepada Rasulullah: “Kami juga
memohon hal yang sama ya Rasulullah”. Jawab Rasulullah SAW: “Kalian berdua
kalah dahulu dari orang dari suku Daus ini (maksudnya Abu Hurairah)”.
Dari berbagai paparan di atas, jelaslah bahwa
kecenderungan umum waktu itu dapat dijadikan petunjuk sebagai sarana-sarana
yang kuat yang mendorong para sahabat untuk mendapatkan berbagai sunnah Nabi
yang mulia, sehingga mereka merekamnya dalam halafan mereka yang kuat dan hati
mereka yang amanah. Hal ini telah menjadikan sunnah selalu terjaga beriringan
bersama Al-Qur’an.
*Disarikan dari Difaa` `an al-Hadits al-Nabawiy
karya Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim. Beliau
pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Lihat kitab
tersebut halaman 17-21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar