Selasa, Oktober 23, 2012

Aqidah Aswaja dan Pembangunan Manusia Upaya Menemukan Aqidah Alternatif bagi Kebangkitan Umat Islam.


Oleh: Moh. Najib Buchori, Lc

Kemunduran Islam oleh banyak kalangan sering dihubung-hubungkan dengan pandangan keagamaan yang bersumber dari aqidah. Aqidah yang dianut mayoritas Muslim saat itu dituduh sebagai tak mampu menyangga kejayaan Islam yang telah dibangun sejak lama. Atas dasar itulah sarjana-sarjana Muslim mulai mencari alternatif yang mampu menjadi penyangga kokoh bagi bangunan besar.
Pada masa Islam klasik, perdebatan Aqidah masih berada pada tingkat perdebatan filosofis. Aqidah diposisikan sebagai kewajiban I’tikady seorang hamba terhadap Tuhannya tanpa melihat implikasinya pada pembentukan mental manusia. 

Berbeda dengan dulu, sarjana-sarjana Muslim modern melihat aqidah tidak saja dalam kerangka penunaian kewajban tapi juga dalam fungsi Aqidah dalam membangun dalam membangun sebuah peradaban dengan mengatakan Sesung-guhnya Aqidah Islamiyah dalam pandangannya terhadap hakekat wujud, manusia dan alam merupakan ide bagi pembentukan peradaban Islam, karena peradaban adalah buah dari ide-ide manusia dalam memandang alam. Dan sepanjang masa aqidalah yang akan menggerakkan umat manusia menuju sebuah peradaban 1. Lebih dari itu, menurut Hasan Hanafi Aqidah bisa menjadi ide dasar bagi munculnya perilaku-perilaku manusia, Beliau menjelaskan: Tauhid menjadi kekuatan dalam kehidupan di bumi ini dan ia mempunyai fungsi praktis untuk melahirkan prilaku dan keyakinan yang kuat mentrasformasikan kehidupan sehari-hari dan sistem sosialnya. 2
Secara sosiologis, Aqidah yang dipersonifikasikan dalam ideal-ideal agama merupakan faktor diterminan bagi dinamika sosial. Dalam masyarakat relegius, prilaku manusia akan didasarkan pada pertimbangan agama. Begitu pula struktur politik, ekonomi dan kebudayaan ditentukan oleh prilaku mereka dalam mencapai cita-cita ideal agama. Penelitian Max Weber yang dituangkan dalam karya agungnya; The Protestan Ethic And Spirit Of Capitalism menunjukkan adanya konsistensi logis dan pengaruh motivisional yang bersifat mendukung secara timbal balik antara agama (etika Protestan) dan movifasi-motivasi ekonomi (semangat Kapitalisme). 3
Di kalangan sarjana muslim sendiri kebudayaan Islam yang tinggi pada zaman klasik disebut sebagai refleksi dinamika sosial yang lahir dari keyakinan serta pandangan keagamaan yang berpusat pada Aqidah. Temuan-temuan baru dibidang sains tekhnolgi dan pemikiran keagamaan semuanya lahir dalam iklim kondusif yang terbentuk oleh pandangan-pandangan keagamaan yang bersumber dari aqidah. Pada kutub berseberangan, Aqidah dalam bentuk keyakinan dan pandangan keagamaan juga bisa menjadi sumber utama statika sosial.
Di Eropa, pemberontakan terhadap dominasi agama pada abad pertengahan dilakukan karena agama, dalam bentuk yang dipahami penganutnya, dianggap membelenggu kreativitas, menghambat kreatifitas, menghambat produktifitas dan tidak mampu bertindak sebagai motivator bagi terciptanya kemajuan. Lahirlah gerakan sekulerisme untuk mengajarkan agama dalam tempat peribadatan dan menidaklayakkannya sebagai way of life. Lebih Ekstrim lagi, Feurbech dan Karl Marx menganggap agama sebagai “Candu bagi Manusia”.
Dalam dunia Islam, ketika keyakinan dan pandangan keagamaan disalah-pahami sebagai preferensi kehidupan akhirat dan ketiadaan hukum alam yang pasti terjadilah stagnasi. Keadaan ini diperparah dengan sikap dan mental umat Islam yang menerima hasil pemikiran pendahulunya sebagai taken for granted, dan karenanya tidak bisa diganggu gugat. Maka, selama berabad-abad umat Islam mengalami masa kegelapan, dan baru tersentak sadar ketika Eropa datang ke dunia dengan memperkenalkan peradaban modernnya. Jadi Aqidah disamping merupakan Ibadah Ilmiyah juga mempunyai fungsi strategis dalam pembentukan mental manusia yang progresif dinamis maupun regresif statis.
Pertanyaan yang lalu muncul adalah bagaimana aqidah -yang notabene adalah pemahaman manusia terhadap pesan-pesan Ilahi- dapat membentuk mental progresif dinamis dan karakteristik aqidah progresif. Manusia baik secara individual maupun kolektif, mempunyai sifat yang dinamis. Tuhan membekali manusia dengan watak “selalu ingin tahu” 4 Dengan watak tersebut akan selalu mengembara dengan akalnya untuk memenuhi hajat rohaninya. Bahkan ketika manusia sudah sampai derajat yang paling tinggi pun akan selalu haus dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Nabi Ibrahim yang sudah mencapai derajat kenabian masih memerlukan pengetahuan tentang bagaimana Allah menghidupkan kembali orang yang sudah mati.
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku perlihatkanlah kepadaku bagaimana engkau menghidupkan orang mati.’ Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya ?’ Ibrahim menjawab: ‘Saya telah percaya akan tetapi bertambah tetap hati saya...” 5’
Dalam perspektif filosofis, pernyataan Nabi Ibrahim keraguan positif yang menandai awal kegiatan falsafi seseorang, dan kegiatan falsafi adalah wujud dinamika intrinsik manusia. Dalam bentuknya yang kolektif, yaitu masyarakat, manusia senantiasa mengalami perubahan dan oleh karena itu juga bersifat dinamis. Dalam ilmu semantik disebut bahwa bahasa suatu bangsa tiap seratus tahun mengalami perubahan, dan perubahan dalam bahasa menggambarkan perubahan dalam masyarakat. 6
Jadi dalam diri manusia telah tersimpan potensi dinamis, dan untuk mengaktualisasikan potensi tersebut dibutuhkan aqidah yang dapat memberi-kan iklim kondusif bagi terciptanya dinamika yang intinya meniadakan hambatan-hambatan bagi berjalannya dinamika dan sekaligus merangsang pertumbuhannya. Dengan merujuk kepada arti etimologis dinamika yang berarti gerak, maka menumbuhkan dinamika adalah memberikan ruang dan keleluasaan bagi gerak manusia. Hal ini bisa terwujud jika manusia dibebaskan dari ikatan-ikatan, baik ikatan tradisi, dogma maupun ikatan kehendak yang mengikat. Dengan melepaskan diri dari ikatan- ikatan, maka akan lahir kreatifitas dan dari kreatifitas akan lahir produktifitas. Untuk membebaskan manusia dari ikatan dogma dan tradisi maka ajaran agama harus dipilah menjadi ajaran yang mutlak dan ajaran yang relatif. Ajaran yang kebenarannya bersifat mutlak yaitu ajaran yang didasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an atau Sunnah yang mutawatir. Selain itu juga, ajaran tersebut harus disikapi sebagai hasil kreatifitas manusia yang bersifat relatif. Dengan demikian sifat dinamis manusia tidak akan berhadapan dengan dogmatisme agama yang statis. Dan untuk membebaskan manusia dari ikatan kehendak yang memaksa, ia harus meyakini bahwa yang menentukan nasibnya adalah dirinya sendiri. Dengan demikian manusia akan bersifat dinamis karena adanya keyakinan bahwa ia menentukan masa depannya.
Terwujudnya dinamika juga menuntut syarat rasionalitas, yaitu penggunaan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan atau mendekati kebenaran-kebenaran. Sebab tanpa rasionalitas manusia akan terjebak ke dalam tradisi yang membelenggu kreatifitas. Dengan sikap rasional, manusia tidak pantas mengoreksi hasil pemikiran terdahulunya lalu merombaknya jika jelas- jelas ditemukan kesalahan di dalamnya. Begitu pula sebaliknya, jika dalam pemikiran tersebut terkandung nilai kebenaran maka dengan semangat rasional manusia akan meneruskan dan mengembangkannya. Dengan sikap demikian, maka manusia akan mencapai temuan-temuan baru tanpa harus terputus dari khazanah lama intelektual lama. Jika liberalisasi dan rasionalisasi telah terpenuhi maka hal yang mungkin terjanggal adalah cara pandang manusia yang mengutamakan kehidupan setelah mati. Cara pandang seperti ini akan membuat orang lebih mudah menyerah kepada kenyataan karena adanya harapan kebahagiaan setelah mati; bahkan kemiskinan, penindasan dan kesengsaraan akan dianggap sebagai nikmat yang tak perlu diubah. Dengan begitu dinamika interistik manusia akan terhambat. Oleh karena itu pandangan yang mengabaikan kehidupan dunia harus ditinggalkan. Jadi ada tiga hal yang perlu diperlukan untuk menumbuhkan dinamika yaitu liberalisasi, rasionalitas dan pandangan yang tidak mengabaikan dunia. Kemudian tiga syarat yang telah terpenuhi untuk menumbuhkan dinamika harus mengandung nilai spiritual yang mengantisipasi terjadinya krisis moral akibat dinamika yang tidak terkendali. Sebab tanpa nilai spiritual manusia tidak akan menemukan nilai kemanusiaannya. Seperti yang terjadi di Eropa, sekularisme mampu mengem-bangkan semangat rasional tapi tak mampu mengantisipasi krisis moral yang diakibatkannya. Manusia tidak mampu menemukan kepuasan spritual di balik gemerlapnya peradaban. Materialisme, anomi, alienasi, demoralisasi dan bunuh diri merupakan akibat rasionalitas inmoral yang menciptakan organisasi yang birokratis yang memenggal nilai-nilai kemanusiaan. Modernitas memang mampu menciptakan keajaiban alam, tapi ia tak mampu menemukan nilai kemanusiaan manusia.
Ketidak mampuan rasionalitas menyelesaikan masalah moral telah terbaca Max Weber.Tidak seperti beberapa teori yang optimis di zaman itu, pandangan Weber diwarnai oleh apa yang diistilahkan oleh Alvin Gouldner "Penderitaan metafisik". Sementara Weber jelas terkesima oleh perkembang-an-perkembangan instusional zamannya, rasa pesimisnya tertuju pada nilai-nilai modern, kesadaran sosial dan pengalaman subyektif suatu masyarakat rasional.
Persoalan yang dihadapi oleh manusia bahwa dunia sosial dan individunya pada dasarnya telah menjadi begitu kecil. Kodifikasi hukum, ilmu pengetahuan, organisasi rasional dapat membantu merumuskan sarana yang sesuai untuk mencapai sasaran sosial serta tujuan hidup, namun prosedur prosedur tersebut tidak dapat membantu untuk memilih di antara nilai-nilai yang absolut atau tujuan yang bersaing. lImu pengetahuan dapat membantu kita membuat keputusan moral bila dihadapkan kepada berbagai rangkaian tindakan, akhirnya ilmu pengetahuan tidak menjadi relevan pada masalah merumuskan hidup yang baik 7
Kecemasan Weber bukanlah satu-satunya di Eropa, Renedubos, seorang ahli biologi dari Amerika dalam bukunya So Human An Animal mengungkapkan hal yang senada, bahkan ia menuduh ilmu pengetahuan sebagai penghancur nilai agama dan nilai filosofis tanpa memberikan alternatif yang mampu memberikan pandangan rasional etis tentang alam.8 Demikianlah sejarah Eropa mengajarkan kepada umat manusia bagaimana nilai spiritual harus menjiwai seluruh aspek kehidupan manusia agar kemajuan yang dihasilkan oleh semangat rasional itu tidak berbalik membunuh tuannya sendiri.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa suatu peradaban agar menjadi kokoh harus disanggah aqidah yang mengakui adanya kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan tuhan yang mengatasi kekuasaan manusia. Ia harus diyakini telah menciptakan keteraturan alam yang dapat dipahami oleh akal manusia dan memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan nasib sendiri. Dan bahwa keimanan terhadap kekuasaan tertinggi harus dijabarkan secara implementatif dalam perbuatan manusia baik ritual maupun sosial. Dengan demikian perbuatan-perbuatan yang bersifat duniawi sebagai penistaan terhadap fitrah manusia justru sebaliknya ia dipretensikan sebagai investasi untuk kehidupan di akhirat kelak. Dalam kerangka keimanan dalam kekuasaan tertinggi tersebut dan dengan akal budi yang dianugerahkanya manusia akan bergerak menuju cita-cita ideal yang berdimensi moral dan kemanusiaan, yaitu pembangunan mental spritual dan material yang berimbang.

Paradigma Aswaja dan Pembangunan Manusia
Untuk memahami aswaja sebagai sebuah paradigma tidak mungkin hanya mengandalkan pemikiran-pemikiran yang mendominasi pandangan keagamaan orang sunni sepanjang sejarah. Aswaja sangat kaya dengan khazanah pemikiran di berbagai disiplin ilmu. Sedang doktrin yang berhasil ditanamkan dan diakui oleh kaum sunni sebagai hakikat aswaja hanya sebagian kecil dari keseluruhan yang ada. Di bidang akidah misalnya, ada Asy,ari, Maturudi, Ibnu Taimiyah, Imam Haramain dan sederet ulama lain .Tetapi dari sekian akidah yang berbeda-beda secara polarisatif maupun yang merupakan parian antara kedua polar hanya akidah Asy'ari yang berhasil mendominasi pandangan-pandangan keagamaan kaum sunny sepanjang sejarah, sementara aqidah lain harus puas berada dipinggiran jalan dan hanya sekali saja dilirik sebagai pembanding. Maka sangat tepat jika kaum Sunny yang ada selama ini disebut Sunny dengan embel-embel sifat dibelakangnya, yaitu Sunny Asy'ary.
Maksud paparan di atas bukan untuk mengkotak-kotak Aswaja, tetapi lebih kepada pengakuan terhadap pluralitas, dan bahwa istilah Sunny yang ada selama ini bukanlah mewakili Sunni secara keseluruhan. Karena untuk menyebut salah satu dari pemikiran yang ada sebagai mewakili aswaja, adalah hal yang sulit bahkan mustahil. Dengan pengakuan terhadap pluralitas kesempatan untuk menentukan pilihan yang terbaik akan menjadi lebih terbuka. Bila aqidah Asy'ari yang relevan pada masanya sudah tak relevan lagi dengan masa sekarang, maka aqidah lain bisa dipilih sebagai penggantinya tanpa menghilangkan identitas aswaja. Dengan mengacu kepada pengakuan terhadap pluralitas pembahasan terhadap aswaja di sini akan dibagi menjadi dua, yaitu: 'Aswaja superordinat' dan 'Aswaja Subordinat'. Yang dimaksud dengan yang pertama adalah pemikiran aswaja yang mendominasi pandangan keagamaan kaum Sunni selama ini dan yang dimaksud dengan yang terakhir adalah pemikiran aswaja yang tidak atau kurang diakomodir kaum Sunni selama ini.
Pembahasan Aswaja superordinat dalam kaitannya dengan pembangunan manusia yang berimbang dimaksudkan dengan pengkajian ulang terhadap sifat kesesuaiannya dengan kondisi yang ada sekarang. Tepatkah superordinasi aswaja yang ada sekarang ini dipertahankan? Dan pembahasan aswaja subordinat dimaksudkan untuk mencari formulasi aswaja superordinat baru yang sesuai dengan kondisi yang ada sekarang. Untuk pembahasan aswaja superordinat di sini akan ditekankan pada agidah Asy'ari yang ada relevansinya dengan prasayarat dengan pembangunan manusia yang seimbang seperti telah dibahas di atas; yaitu pengakuan akan adanya kekuasaan tertinggi yang mengatasi kekuasaan manusia, liberalisasi rasionalitas dan ketiadaan pengabaian kehidupan dunia.

Integritas Tasauf dan Aqidah Asy'ari bagi Pembentukan Mental
Kebebasan dan tanggung jawab manusia atas tindakannya merupakan persoalan yang senantiasa menghantui pikiran manusia. Adakah perbuatannya merupakan kehendak dan tindakannya sendiri dan karenanya dipertanggung jawabannya di hadapan tuhan didasarkan atas kehendak dan tindakan tersebut. Ataukah ada kekuatan lain yang memaksa tanpa bisa dielakkkan. Jika demikian atas dasar apa ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan tuhan. Dalam persoalan ini Asy'ari tidak berpihak pada Jabariah ataupun Qadariah. Jika Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan nasibnya sendiri dan Qadariah berpendapat sebaliknya, maka Asy'ari mencoba mencari sintesa dari kedua pendapat tersebut. Sebagai manifestasi pengakuannya terhadap adanya kekuasaan tertinggi, Asy'ari berpendapat bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu yang terjadi di dunia termasuk di antaranya nasib manusia. Dan ketentuan Allah bersifat mengikat dan tidak dapat berubah. Namun demikian manusia tetap layak mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia, karena ia mempunyai andil di dalamnya. Andil tersebut dijabarkan Asy'ari dalam teori 'kasb’-nya.Pengertian kasb versi Asy'ari adalah kekuasaan manusia yang diciptakan oleh Allah, yang muncul bersamaan dengan terjadinya sesuatu perbuatan tanpa adanya hubungan kausalitas antara keduanya. Adapun yang menentukan terjadinya perbuatan tersebut adalah Allah dan bukan kekuasaan manusia. Dengan kata lain perbuatan manusia mempunyai dua sisi. Sisi yang pertama adalah kekuasaan manusia yang hubungannya dengan perbuatan tersebut hanya hubungan kebersamaan waktu. Dan sisi kedua adalah kekuasaan Allah yang hubungannya dengan perbuatan adalah hubungan kausalitas. Dan kekuasaan manusia itulah yang dijadikan dasar pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa Asy'ari dalam upaya mengkompromikan dua pendapat terjabar kedalam paham fatalisme. Pendapat beliau lebih dekat dengan Jabariah. Perbedaannya hanya pada Justifikasi Asy'ari terhadap pertanggungjawaban manusia melalui teori kasb. Dan teori kasb itu sendiri tidak mampu mengeluarkan pendapat Asy'ari dari lingkaran paham Jabariah. Dalam perspektif aqidah Asy'ari manusia tidak saja mempunyai kebebasan dalam menentukan nasibnya. Semuanya telah ditentukan oleh Allah pada zaman azali. Satu-satunya yang dimiliki manusia hanya kekuasaan semu yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap perbuatannya.
Pendapat Asy'ari terhadap kebebasan manusia paralel dengan pendapatnya tentang hukum sebab-akibat. Menurutnya hubungan antara dua peristiwa yang selalu terjadi secara bersamaan bukannlah hubungan sebab akibat. Pergesekan api dengan benda yang bisa terbakar sebagai suatu peristiwa, tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan terjadinya pembakaran sebagai peristiwa lain. pembakaran terjadi karena Allah menghendakinya terjadi, sementara pergesekan api dengan benda yang dapat terbakar hanya peristiwa yang menyertainya tanpa mempunyai pengaruh apa-apa terhadap peristiwa pembakaran itu sendiri.10 Pendapat ini, seperti disebutkan di atas merupakan manifestasi pengakuan Asy'ari terhadap adanya kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan Allah dan kekuasaan tertinggi tersebut diterjemahkan sebagai satu-satunya kekuatan yang berpengaruh. Maka api tidak bisa membakar, karena membakar adalah kekuatan yang berpengaruh, sedang kekuatan yang berpengaruh hanyalah milik Allah.
Dengan doktrin ini, Asy'ari mampu memberikan gambaran yang utuh tentang kekuasaan tuhan, tapi gagal menjelaskan fenomena keteraturan alam yang diciptakannya. Kepastian hukum alam dalam perspektif aqidah Asy'ari menjadi kabur, dan ini melemahkan semangat rasionalitas. Sebab pengingkaran terhadap adanya hukum sebab akibat dalam keteraturan alam sama dengan mengebiri fungsi akal. Kedua pendapat Asy'ari tentang kekuasaan Allah yang mengekang kehendak manusia dan kekuasaan Allah yang meniadakan hukum sebab akibat, diterima kaum sunni sebagai doktrin yang dogmatis. Dan pada perkembangan selanjutnya doktrin tersebut diintegrasikan dengan tasawuf yang dipahami mayoritas Sunni untuk menjauhkan diri dari keduniaan.Akibat dari ketiga ajaran di atas yang kemudian dianggap sebagai doktrin yang dogmatis, pandangan keagamaan kaum sunni menjadi lebih banyak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rohani. Kaum Sunni menjadi apatis terhadap hal-hal yang bersifat keduniaan. Kegairahan intelektual dan semangat penelitian rasional yang tidak terikat dengan doktrin-doktrin dogmatis lenyap dan digantikan dengan kegiatan keilmuan yang sangat terbatas pada lingkup penjelasan terhadap pemikiran-pemikiran ulama terdahulu. Singkatnya manusia yang pada fitrahnya bersifat dinamis akhirnya menjadi statis karena pandangan keagamaan yang irasional, fatalistis, dogmatis, dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rohani.
Memang tidak dipungkiri bahwa pada level "khoowas" penyerahan diri mutlak kepada Allah dan pengakuan akan adanya kehendak azaly yang bersifat memaksa, tidak menghalangi aktivitas dunia. Apapun kehendak Allah pada saman azaly, mereka tetap giat beramal di dunia seakan-akan tidak tidak pernah ada kehendak tersebut. Prinsipnya, Kehendak Azaly Allah adalah hal yang belum diketahui manusia, dan karenanya manusia tetap berbuat tanpa harus terikat dengan takdir. Hal ini sebagai manifestasi ketaatan mereka terhadap firman Allah yang artinya : Dan katakanlah : “bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” 11 Dan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ali ra : Tak seorangpun dari kalian melainkan telah ditulis tempatnya di neraka dan tempatnya di surga. Mereka (sahabat) : bertanya, wahai Rasulullah apakah kita tidak berserah kepada catatan kita saja. Rasulullah menjawab ‘bekerjalah, karena setiap orang dimudahkan untuk hal-hal yang diciptakannya karenanya, adapun yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia maka akan menuju perbuatan-perbuatan yang sangat membahagiakan, dan termasuk golongan orang celaka, maka akan menuju amal yang mencelakakan. 12
Dengan berpegang kepada kedua nash tersebut, aqidah sebagai kewajiban i’tiqadih tidak akan menghalangi pekerjaan dunia sebagai kewajiban amali. Tetapi, ketika aqidah pada level “awam” harus diyakini dan diimplementasikan secara konsisten dalam pekerjaan, maka sulit dipahami bahwa adanya kehendak azali yang mengikat tidak akan melemahkan semangat bekerja di dunia. Dan seperti disebutkan di atas aqidah akan merefleksikan perbuatan, maka segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan, semangat bekerja cenderung melemah dan perintah bekerja tidak banyak membantu meningkatkan semangat bekerja. Dengan kata lain sulit memisahkan aqidah sebagai suatu kewajiban dengan bekerja sebagai suatu kewajiban lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aqidah Asy’ari yang mempunyai konsistensi logis dengan pandangan keagamaan yang irasional, fatalistis, dogmatis dan berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan rohani, tidak dapat menjadi landasan bagi kebangkitan umat Islam. Oleh karenanya, harus dicari landasan aqidah baru yang mampu menghantar kebangkitan umat Islam. Menumbuhkan sikap rasional dan liberal melalui aqidah Aswaja. Masa lalu bukanlah sejarah yang mati. Ia adalah benda hidup yang menjadi bahan pembentukan manusia dan masa depannya.13 Bertolak dari pernyataan Rene Dubos di atas, penulis mencoba menemukan landasan-landasan aqidah yang dapat membentuk mental manusia yang ideal bagi pembentukan masa depannya melalui penggalian warisan Aswaja. Upaya ini, dengan meminjam bahasa George Simmel 14 harus dilihat dalam kerangka proses subyektif manusia yang senantiasa berusaha mengungkapkan kreatifitasnya. Dan oleh karenanya, sudah barang tentu akan berhadapan dengan bentuk-bentuk kemapanan obyektif, yang dulunya juga merupakan hasil proses kehidupan subyektif manusia. Rasionalitas/Etis seperti telah disebutkan di atas, bahwa suatu peradaban harus dibangun di atas suatu keyakinan akan adanya kekuasaan tertinggi yang mengatasi kekuasaan manusia.
Dalam Islam keyakinan tersebut dijabarkan dalam kalimat haoqala yaitu La Haula Wa La Kuwwata Illâ Bil-Lâh al- ‘Aliyyi al-Adzîm. Dengan pengakuan tersebut manusia tidak akan pongah dan selalu menyadari bahwa dirinya adalah mahluk yang lemah. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya “........ dan manusia dijadikan bersifat lemah.” 15 Karena merasa lemah, maka manusia memerlukan bimbingan Allah melalui wahyu yang diturunkan kepada nabi. Akan tetapi wahyu tidak selamanya menyertai perjalanan manusia. Ia telah sempurna dengan berakhirnya masa kenabian; sedang permasalahan yang dihadapi manusia terus berkembang berbanding sejajar dengan sejarah perjalanannya. Maka diperlukan petunjuk akal pada masalah-masalah yang dapat terjangkau oleh kemampuannya. Hal ini tak bertentangan dengan kesempurnaan agama Islam sebagaimana yang difirmankan Allah : “Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmaku, dan telah kuridhai Islam sebagai agama bagimu” 16
Konsekuensi dengan berakhirnya kenabian adalah kesempurnaan agama Islam karena ia yang akan menjadi petunjuk bagi manusia. Dan makna kesempurnaan agama Islam adalah bahwa Allah telah menurunkan wahyu yang menunjukkan manusia kepada kebenaran mutlak yang tak terjangkau oleh akal dan wahyu yang memberikan otoritas kepada akal budi manusia untuk menemukan kebenaran-kebenaran relatif yang dapat terjangkau oleh kemampuannya.
Dalam Al-Qu’an akal mendapat tempat yang tinggi ia diduetkan dengan agama; suatu hal tak pernah dialami risalah agama sebelum Islam.17 Dan bukan kebetulan jika Al-Quran secara perspektif menyebutkan akal dengan berbagai kata. Dr. Ahmad al-Kufi menyebutkan bahwa asal kata al-Aql disebut dalam 49 ayat, al-Qalb dengan arti akal disebut dalam 133 ayat, an-Nuha dengan arti akal disebut dalam 16 ayat, dan asal kata al-Fikr disebut dalam 18 ayat. 18
Demikianlah, Islam menghargai akal dan memberikannya tempat dalam menemukan kebenaran di samping kebenaran wahyu. Dan tampaknya legalitas akal dalam Islam telah disepakati oleh ulama Aswaja, hanya porsinya dalam menemukan suatu kebenaran yang masih diperselisihkan mereka.Seperti telah dikemukakan di atas, aqidah Asy’ari kurang berhasil menumbuhkan semangat rasionalitas, meskipun ia mengakui legalitas akal, hal itu karena Asy’ari mengfungsikan hanya sebagai justifikasi bagi teks wahyu, sehingga akal diposisikan selalu berdiri di belakang naql. Untuk itu perlu dicari kiblat dalam menilai posisi akal. Dalam hal ini kiranya cukup menarik untuk meneladani Ar-Razi dalam memposisikan akal.Ar-Rasi membagai masalah ilmu kalam menjadi tiga yaitu : (1) Masalah hanya dapat dijangkau oleh akal. (2) Masalah yang hanyah dapat dijangkau oleh naql. (3) Masalah yang dapat dijangkau oleh keduanya.Masalah yang hanya dapat dijangkau oleh akal yaitu seluruh masalah pokok yang kebenarannya akan mengesahkan naql, seperti Allah mengutus nabi, menciptakan alam dan lain sebagainya. Sedang masalah yang hanya dapat dijangkau oleh nagl, masalah yang berhubungan dengan kebenaran atau pengingkaran hal yang akan melalui pengalaman inderanya, tidak mempunyai gambaran sama sekali tentang hal tersebut.
Kategori masalah kedua dicontoh oleh Ar-Razi dengan ghaibiyat. Dan masalah yang dapat dijangkau oleh keduanya hal yang kebenarannya tidak mempengaruhi keabsahan naql. Dan akal secara potensial dapat menjangkaunya seperti masalah ru’yah, sifat wahdaniyah dan lain sebagainya.Kemudian Ar-Razi menjelas kan pendapatnya bahwa naql tidak dapat dipakai untuk membuktikan kategori masalah pertama karena kategori masalah pertama dimaksudkan untuk mengesahkan naql itu sendiri. Jika naql harus digunakan untuk membuktikan naql itu sendiri maka akan terjadi vicius circles (lingkaran yang tak berujung pangkal) dan akal tidak dapat menjangkau kategori masalah kedua, karena akal sama sekali tidak mempunyai gambaran yang ditarik dari pengalaman indera tentang masalah kedua. Maka, pembenaran atau peningkatan akal terhadapnya adalah hal yang tidak logis, dan dalam hal ini hanya naql yang dapat menjangkaunya. Dalam kategori masalah ketiga meskipun akal dan naql bisa menjangkaunya tetapi Ar-Razi -berbeda dengan Asy’ari- lebih mengedapankan akal ketimbang naql.Ar-Razi memberikan alasan bagi sikapnya dengan menjelaskan bahwa jika diasumsikan adanya dalil aqli yang pasti karena didasarkan atas premis aksiomatis, lalu bertentangan dengan dalil naql maka dalil naql harus ditakwil. Sebab jika kedua dalil tersebut berten-tangan tidak mungkin dikompromikan, maka hanya ada dua kemungkinan : mentakwil dalil naql atau menyalahkan dalil aql. Jika kemungkinan kedua dipa kai, maka akan berujung menyalahkan dalil naql pula. Sebab kebenaran dalil naqli, seperti telah dikemukakan di atas didasarkan atas dalil aqli : dan kalau dalil aqli diragukan kebenarannya, berarti dalil naqli didasarkan atas dalil yang meragukan. Karena itu pembenaran naql dengan menolak akal berimpilikasi penolakan naql itu sendiri. Jika kemungkinan kedua berakibat penyalahan terhadap naql, maka tidak ada jalan lain kecuali mentakwil naql sesuai dengan dalil akal. 19
Demikianlah sikap Ar-Razi dalam memandang akal. Ia tidak me-nomordua-kan akal dalam menemukan kebenaran. Akal seperti juga naql, secara independen dapat menjangkau kebenaran, bahkan akal pula yang membuktikan kebenaran naql. Tetapi akal bukan kebenaran mutlak yang menggantikan kekuasaan tuhan seperti dipahami abad modern Eropa. Naql mempunyai wilayah khusus yang tidak dapat ditembus kemampuan akal. Dengan demikian Ar- Razi mengambil sikap moderat yang tidak menuhankan akal tapi juga tidak membunuh kreatifitas akal (open minded)
Jika pemikiran Ar-Razi dikembangkan dalam masyarakat, maka akan tumbuh budaya berpikir rasional. Budaya semacam ini pada gilirannya juga akan melahirkan keterbukaan yang tak terikat oleh tradisi dan dogma. Sebab kebenaran tidak lagi diukur oleh tradisi yang sudah mapan ataupun hasil pemikiran manusia yang didogmakan melainkan dengan rasio. Al-Quran sendiri tidak membenarkan cara berpikir yang didasarkan atas tradisi yang sudah mapan : “Dan apabila dikatakan kepada mereka : Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah, mereka menjawab tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapai dari perbuatan nenek moyang kami (apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat suatu petunjuk.” 20 Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang didapati seseorang dalam komunitasnya sebagai tradisi dan budaya yang dihasilkan oleh orang terdahulu bukan ukuran kebenaran.
Al-Quran juga mengingatkan bahwa popularitas kebesaran nama bukan ukuran kebenaran : Dan mereka berkata : Ya Tuhan kami sesunggguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar- pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar. Ya Tuhan kami, berilah kepada mereka azab yang dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar. 21 Begitulah Al-Quran tidak membenarkan hasil pemikiran manusia yang karena kebesaran namanya lalu dijadikan ukuran kebenaran.
Dengan demikian Al-Quran telah menghindarkan akal dari cara berpikir yang menjadikan kemapanan obyektif dari hasil kreatifitas subyektif manusia sebagai barometer kebenaran.Urain ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti jerih payah ulama terdahulu dalam menemukan kebenaran justru sebaliknya, dengan tidak menjadikan hasil pemikiran manusia sebagai kebenaran mutlak, maka ulama secara profesional telah ditempatkan sesuai sifat kemanusiaannya yang mungkin salah dan mungkin benar. Jika pemikiran mereka jelas-jelas salah maka harus diakui sebagai kesalahan dan jika pemikiran mereka mengandung kebenaran, maka kebenaran akan diteruskan dan dikembangkan ; bukan karena ia sudah pemikiran yang mapan, tapi secara rasional ia benar. Dengan begitu akal manusia bersikap open minded, mudah menerima hal baru dan selalu memelihara warisan lama selama ia mengandung kebenaran, dan tidak menganggap bahwa kebenaran adalah monopoli suatu golongan.

Urgensi Wahyu Mendampingi Rasionalitas
Seperti telah dikemukakan di atas, rasionalitas Ar-Razi bukan berarti menuhankan rasio. Karena rasio mempunyai wilayah sendiri dan tidak mungkin menyeberang ke wilayah kekuasaan “petunjuk tuhan”. Berarti manusia rasional dalam perspektif rasionalitas Ar-Razi tetap memerlukan petunjuk tuhan dalam hal yang tidak dimampui oleh akal.
Hal ini berbeda dengan rasionalitas Marxis atau rata-rata rasionalitas barat lainnya. Rasionalitas barat adalah rasionalitas arogan. Ia tidak mengakui otoritas tuhan, bahkan Auguste Comte, seorang sosiolog yang di-bapak sosiologi-kan orang, ingin mengganti agama tuhan dengan agama humanitasnya. tentu saja ia gagal, karena agama menyangkut masalah moralitas dan bagaimana merumuskan kehidupan yang baik. Kebaikan dan keburukan tidak bisa diketaui manusia dengan fitrah akalnya. Hal ini bisa dibuktikan dengan perbedaan antara masyarakat lainnya dalam menilai kebaikan dan keburukan. Seandainya kebaikan dan keburukan dapat ditangkap fitrah akal manusia, tentu tidak terjadi perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Memang tidak dipungkiri, orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat berperadaban akan dapat menangkap kebaikan dan keburukan dengan akalnya. Tetapi hal itu bukan karena akal secara potensial mampu menangkapnya, melainkan karena mereka hidup di dalam masyarakat yang telah menganut norma-norma tertentu. Buktinya, jika ada orang hidup yang tak pernah berinteraksi dengan orang lain, tentu ia tidak akan menangkap kebenaran dan keburukan seperti halnya orang yang hidup di tengah masyarakat. Bukankah ini membuktikan bahwa manusia dengan akalnya tidak mampu menyelesaikan masalah moral-itas apalagi merumuskan kehidupan yang sempurna.
Ketika kita mengamati Al-Quran sebenarnya ia telah mengisyaratkan bahwa manusia memerlukan petunjuk tuhan dalam hal moralitas. Al-Quran membagi petunjuk ini menjadi dua, yaitu pertama disebut al-Ma’ruf dan yang kedua disebut al-Khair. Untuk menyeru al-Ma’ruf digunakan kalimat al-Amr, seperti “wa’mur bil ma’ruf”. Kata al-Amr yang berarti perintah menunjukkan adanya al-ma’mur bih (sesuatu yang diperintahkan) yang sudah diketahui al- ma’mur (orang yang diperintah). Sebab jika al-ma’mur bih belum diketahui al-ma’mur sebagai perintah maka arti perintah menjadi tidak berguna. Dengan demikian al-ma’ruf yang selalu berpasangan dengan al’amr adalah kebaikan yang sudah diketahui masyarakat. Sedang untuk menyeru al-khair digunakan kalimat ad-Da’wah seperti “yad’u ilal khair”. Kata ad-Da’wah yang berarti ajakan, mengandung makna meyakinkan orang lain secara verbal untuk melakukan al- mad’u ilaih (hal yang dianjurkan). 22 Adanya perbuatan yang berfungsi meyakinkan orang lain menunjukkan bahwa al-mad’u ilaih belum diketahui kebaikannya oleh al-mad’u (orang yang diajak). Berarti al-Khair yang selalu berpasangan dengan ad-da’wah adalah kebaikan yang belum dikenal oleh manusia. Untuk mengenalnya memerlu-kan petunjuk Allah melalui rasul-Nya.
Jadi urgensi petunjuk tuhan dalam merumuskan masalah-masalah moral telah diisyaratkan al-Quran dan mendapat legitimasi akal. Dalam perspektif rasional-itas ar-Razi, masalah moral dikategorikan dalam masalah yang tak dapat dijangkau akal. Dengan demikian rasionalitas tidak akan menyesatkan manusia karena ia mendapat petunjuk dalam hal-hal pokok yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menumbuhkan rasionalitas kiranya tidak berlebihan jika Ar-Razi dalam mensikapi dalil aqli dan naqli diteladani. Rasionalitas yang berkembang, pada gilirannya akan membebaskan manusia dari ikatan tradisi yang mapan ataupun pemikiran manusia yang dogmatis. Dengan terbebas dari ikatan, manusia akan mudah menerima hal-hal yang dianggap benar.
Walaupun manusia mengakui dominannya kekuasaan rasionalitas dan kebebasan, namun ia tidak akan terge-lincir dalam sikap arogan, karena yang dikembangkan adalah rasionalitas moderat yang mengakui urgensi petunjuk-petunjuk tuhan. Justru sebalik nya, dengan rasionalitas moderat ia akan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan, karena masalah moral dan kemanusiaan datang dari petunjuk tuhan yang mutlak kebenaran nya. Bila sikap semacam ini sudah berkembang di kalangan Sunni maka tinggal membudayakan “keseimbangan dunia akhirat”.

Kebebesan Kehendak Manusia Versi Ibnu Taimiyah, Al-Juwaini dan Mahmud Syaltut
Dalam agama terdapat dua ajaran yang berkaitan erat dengan produktifitas. Pertama, soal kehidupan spritual di akhirat setelah berakhirnya kehidupan. Apabila kehidupan di dunia dianggap penting maka produktifitas akan meningkat. Tetapi sebaliknya, bila kehidupan dunia dianggap tidak penting maka produktifitas akan rendah sekali. Kedua, mengenai ketentuan nasib manusia. Kalau nasib manusia ditentu-kan oleh kehendak azali, maka produktifitas akan rendah sekali, sebalik-nya, bila manusia punya kebebasan dalam menentukan nasib sendir, maka produktifitas akan tinggi. 23.
Sebagai mana yang dikemukakan di atas aqidah Asy’ari yang berupaya memoderasi ekstrim Jabariah dan ekstrim Qadariah akhirnya tergelincir ke dalam paham fatalistis. Kemudian , ketika aqidah Asy’ari diintegrasikan dengan ajaran tasawuf di kalangan Sunni berkembang pandangan keagamaan yang mengabai kan kehidupan dunia. Oleh karena itu perlu ditemukan landasan aqidah yang baru yang dapat menghidup-kan sema-ngat kehidupan kaum Sunni.
Sebenarnya, semua aqidah Islam yang mengakui adanya kekuasaan tertinggi, yang mengatasi kekuasaan manusia -termasuk di antaranya mu’tazilah- akan meyakini sesuatu yang akan terjadi. Apapun yang terjadi di dunia tidak pernah meleset dari sesuatu yang pasti terjadi. Setelah terjadi kekafiran Abu Jahal orang dengan menggunakan perspektif aqidah mana pun akan meyakini kekafiran Abu Jahal sesuatu yang pasti . Dalam perspektif Mu’tazilah keyakinan tentang adanya sesuatu yang pasti terjadi muncul dari keyakinan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi. Dan sesuatu yang diketahui Allah pasti terjadi. Dalam perspektif non-mu’tazilah keyakinan tersebut lahir dari keyakinan bahwa Allah mengetahui dan memastikan segala kejadian di dunia akan terjadi. Persoalan yang muncul, sejauh mana manusia mempunyai kebebasan dalam memilih? Menurut Ibnu Taimiyah, alam dan isinya, termasuk di dalamnya pekerjaan manusia adalah milik dan ciptaan Allah. Allah pada zaman azali telah mengetahui dan memastikan segala peristiwa yang akan terjadi di dunia nanti. Namun demikian manusia tetap mempunyai kemampuan, kehendak dan pilihan yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Selanjutnya ia menjelaskan pula bahwa manusia mempunyai kemampuan yang diciptakan Allah. Dan kemampuan dimaksud adalah perantara atau sebab yang melahirkan pekerjaan yang disesuaikan dengan hukum kualitas yang diciptakan oleh Allah. Jadi, perbuatan manusia tidak berbeda dengan fenomena alam lainnya yang mengikuti hukum kualitas. Manusia berjalan karena ia menggerakkan kedua kakinya. Begitu pun, pepohonan tumbuh karena ia ditanam pada tanah yang subur. Tetapi kekuatan menggerakkkan kaki dan kesuburan tanah adalah ciptaan Allah. Demikian juga kemampuan gerakan kedua kaki melahirkan pekerjaan berjalan; dan kemampuan kesuburan tanah menumbuhkan pepohonan adalah hukum kualitas yang diciptakan Allah. 24. Dengan kata lain manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya karena ia mempunyai kebebasan memilih berkehendak dan akhirnya menjalankan-nya dengan kekuatan yang diciptakan oleh Allah.
Begitu juga halnya pernyataan Al-Juwaini mengatakan bahwa kekuatan manusia dalam berbuat adalah salah satu sebab dari beberapa sebab yang diciptakan Allah di dunia. Dan dengan perantaraan sebab manusia melakukan perbuatannya. Oleh karena itu suatu pekerjaan dinisbatkan kepada Allah karena Ia pencipta sebab. 25
Di samping kedua pendapat di atas perlu juga kiranya mengambil pendapat Mahmud Syaltut, mantan Syeikh Azhar tentang qadla dan qadar. Ia berpendapat bahwa qadla dan qadar tidak lain adalah tatanan yang landasannya penciptaan Allah terhadap alam. Dan dalam tatanan itu pula Allah menghubungkan antara sebab dan akibat, konklusi dan premis nya sebagai hukum alam yang pasti dan tak mungkin berubah. Termasuk hukum alam tersebut bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang bebas menentu-kan pekerjaan tanpa ada yang memaksa-nya. Menurutnya, Allah memang tahu apa yang akan dilakukan oleh manusia berdasarkan pilihannya. Tetapi ilmu Allah tentang hal tersebut sama sekali tidak mengandung arti pemaksaan. Sesung guhnya ia hanya menyingkapkan hal-hal yang telah dan akan terjadi sesuai dengan hukum alam. Dalam hal ini hukum alam dimaksud adalah kebebasan manusia dalam memilih berdasarkan taklif dan kemampuannya. (26)
Dari dua uraian pendapat di atas dapat dilihat bahwa Mahmud Syaltut rupanya memberikan porsi kebebasan yang lebih besar bila dibanding dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Al-Juwaini. Tetapi keduanya tetap menggambarkan free will and free act. Dengan mengikuti pendapat free will and free act, manusia akan merasa memiliki perbuatannya, karena ia diyakini muncul dari pilihan, kehendak dan pekerjaannya sendiri. Manusia juga akan merasa bebas menentukan nasibnya karena ia memiliki kehendak dan pilihan. Bila self determination telah diyakini, maka manusia tidak akan menganggap penderitaan di dunia sebagai nikmat. Karena ia yakin bahwa penderitaan dapat berubah menjadi kebahagiaan dengan usahanya. Dengan demikian, tasawuf tidak akan dipahami sebagai pemenuhan kebutuhan spritual dengan mengabaikan kebutuhan material.

Kesimpulan
Sebagai akhir dari tulisan ini, bisa disimpulkan bahwa kemajuan dan kemunduran suatu umat tergantung dari perspektif keagamaan. Jika aqidah melahirkan pandangan keagamaan yang regresif, maka yang terjadi adalah kemunduran. Dan jika sebaliknya (lahir dari perspektif progresif), maka yang terjadi adalah kemajuan.
Suatu aqidah agar dapat menumbuhkan pandangan keagamaan yang progresif, harus memiliki lima karakteristik. Pertama, pengakuan terha-dap kekuasaan tertinggi yang mengatasi kekuasaan manusia. Kedua, pengakuan terhadap kemampuan akal dalam melacak dan menemukan kebenaran relatif. Ketiga, pengakuan terhadap kebebasan manusia dari ikatan tradisi dan hasil pemikiran orang terdahulu. Keempat, pengakuan terhadap kebebas an manusia dalam menentukan nasibnya. Kelima, pengakuan terhadap urgensi kehidupan dunia dan keperluan material. Dengan mengacu kepada lima karakteris-tik di atas, nampaknya aqidah Asy’ari yang berintegrasi dengan tasawuf -dalam praktek negatifnya- tidak bisa memberi-kan iklim kondusif bagi terciptanya pandangan keagamaan modern.
Berangkat dari kenyataan ini perlu kiranya ditemukan landasan aqidah baru bagi kaum Sunni agar dapat tercipta pandangan keagamaan yang progresif. Hal ini dapat dilakukan dengan menggali warisan intelektual yang ditinggalkan para ulama Aswaja. Untuk menumbuhkan rasionalitas, pendapat Ar-Razi tentang kemampuan akal akan dapat dijadikan sebagai alternatif. Sebab rasionalitas yang berangkat dari pendapat Ar-Razi tidak sampai mengingkari kekuasaan tertinggi (baca;tuhan), sehingga akal tidak dipaksakan untuk menembus wilayah kekuasaan petunjuk tuhan. Rasionalitas yang tumbuh dari pendapat Ar-Razi pada gilirannya akan melepakan manusia dari tradisi dan hasil pemikiran manusia yang didogmakan. Dengan demikian manusia mudah menerima hal-hal yang baru selama ia diyakini benar, dan tidak enggan membuang hal-hal lama jika memang jelas-jelas salah. Dan untuk memberikan kebebasan manusia dalam menentukan nasibnya sendiri dapat diajukan pendapat Mahmud Syaltut, Ibnu Taimiyah atau Al-Juwaini, sebagai alternatif. Dengan meyakini qadla dan qadar seperti yang digambarkan oleh Mahmud Syaltut bahwa manusia akan terhindar dari sikap fatalistis. Dan pada gilirannya akan menghindarkan manusia dari pandangan keagamaan yang hanya mementingkan hajat spritual dan ukhrawi belaka. Jika keyakinan semacam ini berkembang, maka aqidah Aswaja belum bisa menjadi aqidah pembangunan, aqidah pembebasan dan aqidah keseim-bangan di masa yang akan datang.

Daftar Acuan

              1.        An Najjar, Abdul Majid, “Darul Islah al-Aqdi Fi An-Nahdah al-Islamiyah”, Islamiyat al-Ma’rifah, (Juni 1995), hal. 57
    1. Shimogaki, Kazuo, Between Modernity And Postmodernity The Islamic Left And Dr. Hasan Hanafi’s Thought : A Critical Reading, atau Kiri Islam Antara Modernisme Dan Postmodernisme (Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi), terj. M. Imam Abdul Aziz, M. Jadul Maula.
    2. Jhonson,Doyle Paul, Shociologocal Theory Cassical Founders and Contemporary Perspectives, atau Teori Sosiolgi Kasik Dan Modern, terj. Tobert M. Z. Lawang, I, 238.
    3. Thoha, Dr. Abdul Ghoni Al-Ghorib, Muhadlarat Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah, diktat Fak. Usyhuluddin Univ. Al-Azhar Zagazig, hal 5
    4. Al-Quran, Surat Albaqarah : 260.
    5. Nasution, Prof. Dr. Harun, Islam Rasional Gagasan dan pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, ed. Lukman Ali.
    6. Turner,Bryan S., Weber And Islam, atau Sosiologi Islam Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber, terj. G.A. Ticoalu, hal. 289
    7. Dubos, Rene, So Human An Animal, atau Insaniyyat Al-Insan, terj. bhs. Arab, Dr. Nabil Subhi At-Thawil, hal 63 Lihat, Prof. Dr. Sa’duddin As-Sayyid Shalih, Afaal Allah Wa Afaal Al-Ibad Bahts Fi Musykilat Al-Insan, (Selanjutnya disebut Sa’duddin, Afal Allah) hal. 45, 46, 47



Tidak ada komentar:

Entri Populer