Oleh: Moh. Najib Buchori, Lc
Kemunduran Islam oleh banyak kalangan sering dihubung-hubungkan dengan pandangan keagamaan yang bersumber dari aqidah. Aqidah yang dianut mayoritas Muslim saat itu dituduh sebagai tak mampu menyangga kejayaan Islam yang telah dibangun sejak lama. Atas dasar itulah sarjana-sarjana Muslim mulai mencari alternatif yang mampu menjadi penyangga kokoh bagi bangunan besar.
Pada masa Islam klasik, perdebatan
Aqidah masih berada pada tingkat perdebatan filosofis. Aqidah diposisikan
sebagai kewajiban I’tikady seorang hamba terhadap Tuhannya tanpa melihat
implikasinya pada pembentukan mental manusia.
Berbeda dengan dulu, sarjana-sarjana
Muslim modern melihat aqidah tidak saja dalam kerangka penunaian kewajban tapi
juga dalam fungsi Aqidah dalam membangun dalam membangun sebuah peradaban
dengan mengatakan Sesung-guhnya Aqidah Islamiyah dalam pandangannya terhadap
hakekat wujud, manusia dan alam merupakan ide bagi pembentukan peradaban Islam,
karena peradaban adalah buah dari ide-ide manusia dalam memandang alam. Dan
sepanjang masa aqidalah yang akan menggerakkan umat manusia menuju sebuah
peradaban 1. Lebih dari itu, menurut Hasan Hanafi Aqidah bisa menjadi ide dasar
bagi munculnya perilaku-perilaku manusia, Beliau menjelaskan: Tauhid menjadi
kekuatan dalam kehidupan di bumi ini dan ia mempunyai fungsi praktis untuk
melahirkan prilaku dan keyakinan yang kuat mentrasformasikan kehidupan
sehari-hari dan sistem sosialnya. 2
Secara sosiologis, Aqidah yang
dipersonifikasikan dalam ideal-ideal agama merupakan faktor diterminan bagi
dinamika sosial. Dalam masyarakat relegius, prilaku manusia akan didasarkan
pada pertimbangan agama. Begitu pula struktur politik, ekonomi dan kebudayaan
ditentukan oleh prilaku mereka dalam mencapai cita-cita ideal agama. Penelitian
Max Weber yang dituangkan dalam karya agungnya; The Protestan Ethic And Spirit
Of Capitalism menunjukkan adanya konsistensi logis dan pengaruh motivisional
yang bersifat mendukung secara timbal balik antara agama (etika Protestan) dan
movifasi-motivasi ekonomi (semangat Kapitalisme). 3
Di kalangan sarjana muslim sendiri
kebudayaan Islam yang tinggi pada zaman klasik disebut sebagai refleksi
dinamika sosial yang lahir dari keyakinan serta pandangan keagamaan yang
berpusat pada Aqidah. Temuan-temuan baru dibidang sains tekhnolgi dan pemikiran
keagamaan semuanya lahir dalam iklim kondusif yang terbentuk oleh
pandangan-pandangan keagamaan yang bersumber dari aqidah. Pada kutub
berseberangan, Aqidah dalam bentuk keyakinan dan pandangan keagamaan juga bisa
menjadi sumber utama statika sosial.
Di Eropa, pemberontakan terhadap
dominasi agama pada abad pertengahan dilakukan karena agama, dalam bentuk yang
dipahami penganutnya, dianggap membelenggu kreativitas, menghambat kreatifitas,
menghambat produktifitas dan tidak mampu bertindak sebagai motivator bagi
terciptanya kemajuan. Lahirlah gerakan sekulerisme untuk mengajarkan agama
dalam tempat peribadatan dan menidaklayakkannya sebagai way of life. Lebih
Ekstrim lagi, Feurbech dan Karl Marx menganggap agama sebagai “Candu bagi
Manusia”.
Dalam dunia Islam, ketika keyakinan dan
pandangan keagamaan disalah-pahami sebagai preferensi kehidupan akhirat dan
ketiadaan hukum alam yang pasti terjadilah stagnasi. Keadaan ini diperparah
dengan sikap dan mental umat Islam yang menerima hasil pemikiran pendahulunya
sebagai taken for granted, dan karenanya tidak bisa diganggu gugat. Maka,
selama berabad-abad umat Islam mengalami masa kegelapan, dan baru tersentak
sadar ketika Eropa datang ke dunia dengan memperkenalkan peradaban modernnya.
Jadi Aqidah disamping merupakan Ibadah Ilmiyah juga mempunyai fungsi strategis
dalam pembentukan mental manusia yang progresif dinamis maupun regresif statis.
Pertanyaan yang lalu muncul adalah
bagaimana aqidah -yang notabene adalah pemahaman manusia terhadap pesan-pesan
Ilahi- dapat membentuk mental progresif dinamis dan karakteristik aqidah
progresif. Manusia baik secara individual maupun kolektif, mempunyai sifat yang
dinamis. Tuhan membekali manusia dengan watak “selalu ingin tahu” 4 Dengan
watak tersebut akan selalu mengembara dengan akalnya untuk memenuhi hajat rohaninya.
Bahkan ketika manusia sudah sampai derajat yang paling tinggi pun akan selalu
haus dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Nabi Ibrahim yang sudah mencapai
derajat kenabian masih memerlukan pengetahuan tentang bagaimana Allah
menghidupkan kembali orang yang sudah mati.
Dan (ingatlah) ketika
Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku perlihatkanlah kepadaku bagaimana engkau
menghidupkan orang mati.’ Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya ?’
Ibrahim menjawab: ‘Saya telah percaya akan tetapi bertambah tetap hati saya...”
5’
Dalam perspektif filosofis, pernyataan
Nabi Ibrahim keraguan positif yang menandai awal kegiatan falsafi seseorang,
dan kegiatan falsafi adalah wujud dinamika intrinsik manusia. Dalam bentuknya
yang kolektif, yaitu masyarakat, manusia senantiasa mengalami perubahan dan
oleh karena itu juga bersifat dinamis. Dalam ilmu semantik disebut bahwa bahasa
suatu bangsa tiap seratus tahun mengalami perubahan, dan perubahan dalam bahasa
menggambarkan perubahan dalam masyarakat. 6
Jadi dalam diri manusia telah tersimpan
potensi dinamis, dan untuk mengaktualisasikan potensi tersebut dibutuhkan
aqidah yang dapat memberi-kan iklim kondusif bagi terciptanya dinamika yang
intinya meniadakan hambatan-hambatan bagi berjalannya dinamika dan sekaligus
merangsang pertumbuhannya. Dengan merujuk kepada arti etimologis dinamika yang
berarti gerak, maka menumbuhkan dinamika adalah memberikan ruang dan
keleluasaan bagi gerak manusia. Hal ini bisa terwujud jika manusia dibebaskan
dari ikatan-ikatan, baik ikatan tradisi, dogma maupun ikatan kehendak yang
mengikat. Dengan melepaskan diri dari ikatan- ikatan, maka akan lahir
kreatifitas dan dari kreatifitas akan lahir produktifitas. Untuk membebaskan
manusia dari ikatan dogma dan tradisi maka ajaran agama harus dipilah menjadi
ajaran yang mutlak dan ajaran yang relatif. Ajaran yang kebenarannya bersifat
mutlak yaitu ajaran yang didasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an atau Sunnah yang
mutawatir. Selain itu juga, ajaran tersebut harus disikapi sebagai hasil
kreatifitas manusia yang bersifat relatif. Dengan demikian sifat dinamis
manusia tidak akan berhadapan dengan dogmatisme agama yang statis. Dan untuk
membebaskan manusia dari ikatan kehendak yang memaksa, ia harus meyakini bahwa
yang menentukan nasibnya adalah dirinya sendiri. Dengan demikian manusia akan
bersifat dinamis karena adanya keyakinan bahwa ia menentukan masa depannya.
Terwujudnya dinamika juga menuntut
syarat rasionalitas, yaitu penggunaan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan
atau mendekati kebenaran-kebenaran. Sebab tanpa rasionalitas manusia akan
terjebak ke dalam tradisi yang membelenggu kreatifitas. Dengan sikap rasional,
manusia tidak pantas mengoreksi hasil pemikiran terdahulunya lalu merombaknya
jika jelas- jelas ditemukan kesalahan di dalamnya. Begitu pula sebaliknya, jika
dalam pemikiran tersebut terkandung nilai kebenaran maka dengan semangat
rasional manusia akan meneruskan dan mengembangkannya. Dengan sikap demikian,
maka manusia akan mencapai temuan-temuan baru tanpa harus terputus dari
khazanah lama intelektual lama. Jika liberalisasi dan rasionalisasi telah
terpenuhi maka hal yang mungkin terjanggal adalah cara pandang manusia yang
mengutamakan kehidupan setelah mati. Cara pandang seperti ini akan membuat
orang lebih mudah menyerah kepada kenyataan karena adanya harapan kebahagiaan
setelah mati; bahkan kemiskinan, penindasan dan kesengsaraan akan dianggap
sebagai nikmat yang tak perlu diubah. Dengan begitu dinamika interistik manusia
akan terhambat. Oleh karena itu pandangan yang mengabaikan kehidupan dunia
harus ditinggalkan. Jadi ada tiga hal yang perlu diperlukan untuk menumbuhkan
dinamika yaitu liberalisasi, rasionalitas dan pandangan yang tidak mengabaikan
dunia. Kemudian tiga syarat yang telah terpenuhi untuk menumbuhkan dinamika
harus mengandung nilai spiritual yang mengantisipasi terjadinya krisis moral
akibat dinamika yang tidak terkendali. Sebab tanpa nilai spiritual manusia
tidak akan menemukan nilai kemanusiaannya. Seperti yang terjadi di Eropa,
sekularisme mampu mengem-bangkan semangat rasional tapi tak mampu
mengantisipasi krisis moral yang diakibatkannya. Manusia tidak mampu menemukan
kepuasan spritual di balik gemerlapnya peradaban. Materialisme, anomi,
alienasi, demoralisasi dan bunuh diri merupakan akibat rasionalitas inmoral
yang menciptakan organisasi yang birokratis yang memenggal nilai-nilai
kemanusiaan. Modernitas memang mampu menciptakan keajaiban alam, tapi ia tak
mampu menemukan nilai kemanusiaan manusia.
Ketidak mampuan rasionalitas
menyelesaikan masalah moral telah terbaca Max Weber.Tidak seperti beberapa
teori yang optimis di zaman itu, pandangan Weber diwarnai oleh apa yang
diistilahkan oleh Alvin Gouldner "Penderitaan metafisik". Sementara
Weber jelas terkesima oleh perkembang-an-perkembangan instusional zamannya,
rasa pesimisnya tertuju pada nilai-nilai modern, kesadaran sosial dan
pengalaman subyektif suatu masyarakat rasional.
Persoalan yang dihadapi oleh manusia
bahwa dunia sosial dan individunya pada dasarnya telah menjadi begitu kecil.
Kodifikasi hukum, ilmu pengetahuan, organisasi rasional dapat membantu
merumuskan sarana yang sesuai untuk mencapai sasaran sosial serta tujuan hidup,
namun prosedur prosedur tersebut tidak dapat membantu untuk memilih di antara
nilai-nilai yang absolut atau tujuan yang bersaing. lImu pengetahuan dapat
membantu kita membuat keputusan moral bila dihadapkan kepada berbagai rangkaian
tindakan, akhirnya ilmu pengetahuan tidak menjadi relevan pada masalah
merumuskan hidup yang baik 7
Kecemasan Weber bukanlah satu-satunya
di Eropa, Renedubos, seorang ahli biologi dari Amerika dalam bukunya So Human
An Animal mengungkapkan hal yang senada, bahkan ia menuduh ilmu pengetahuan
sebagai penghancur nilai agama dan nilai filosofis tanpa memberikan alternatif
yang mampu memberikan pandangan rasional etis tentang alam.8 Demikianlah
sejarah Eropa mengajarkan kepada umat manusia bagaimana nilai spiritual harus
menjiwai seluruh aspek kehidupan manusia agar kemajuan yang dihasilkan oleh
semangat rasional itu tidak berbalik membunuh tuannya sendiri.
Dari uraian di atas dapatlah
disimpulkan bahwa suatu peradaban agar menjadi kokoh harus disanggah aqidah
yang mengakui adanya kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan tuhan yang
mengatasi kekuasaan manusia. Ia harus diyakini telah menciptakan keteraturan
alam yang dapat dipahami oleh akal manusia dan memberikan kebebasan kepada
manusia untuk menentukan nasib sendiri. Dan bahwa keimanan terhadap kekuasaan
tertinggi harus dijabarkan secara implementatif dalam perbuatan manusia baik
ritual maupun sosial. Dengan demikian perbuatan-perbuatan yang bersifat duniawi
sebagai penistaan terhadap fitrah manusia justru sebaliknya ia dipretensikan
sebagai investasi untuk kehidupan di akhirat kelak. Dalam kerangka keimanan
dalam kekuasaan tertinggi tersebut dan dengan akal budi yang dianugerahkanya
manusia akan bergerak menuju cita-cita ideal yang berdimensi moral dan
kemanusiaan, yaitu pembangunan mental spritual dan material yang berimbang.
Paradigma Aswaja dan Pembangunan Manusia
Untuk memahami aswaja sebagai sebuah
paradigma tidak mungkin hanya mengandalkan pemikiran-pemikiran yang mendominasi
pandangan keagamaan orang sunni sepanjang sejarah. Aswaja sangat kaya dengan
khazanah pemikiran di berbagai disiplin ilmu. Sedang doktrin yang berhasil
ditanamkan dan diakui oleh kaum sunni sebagai hakikat aswaja hanya sebagian
kecil dari keseluruhan yang ada. Di bidang akidah misalnya, ada Asy,ari,
Maturudi, Ibnu Taimiyah, Imam Haramain dan sederet ulama lain .Tetapi dari
sekian akidah yang berbeda-beda secara polarisatif maupun yang merupakan parian
antara kedua polar hanya akidah Asy'ari yang berhasil mendominasi
pandangan-pandangan keagamaan kaum sunny sepanjang sejarah, sementara aqidah
lain harus puas berada dipinggiran jalan dan hanya sekali saja dilirik sebagai
pembanding. Maka sangat tepat jika kaum Sunny yang ada selama ini disebut Sunny
dengan embel-embel sifat dibelakangnya, yaitu Sunny Asy'ary.
Maksud paparan di atas bukan untuk
mengkotak-kotak Aswaja, tetapi lebih kepada pengakuan terhadap pluralitas, dan
bahwa istilah Sunny yang ada selama ini bukanlah mewakili Sunni secara
keseluruhan. Karena untuk menyebut salah satu dari pemikiran yang ada sebagai
mewakili aswaja, adalah hal yang sulit bahkan mustahil. Dengan pengakuan
terhadap pluralitas kesempatan untuk menentukan pilihan yang terbaik akan
menjadi lebih terbuka. Bila aqidah Asy'ari yang relevan pada masanya sudah tak
relevan lagi dengan masa sekarang, maka aqidah lain bisa dipilih sebagai
penggantinya tanpa menghilangkan identitas aswaja. Dengan mengacu kepada
pengakuan terhadap pluralitas pembahasan terhadap aswaja di sini akan dibagi
menjadi dua, yaitu: 'Aswaja superordinat' dan 'Aswaja Subordinat'. Yang
dimaksud dengan yang pertama adalah pemikiran aswaja yang mendominasi pandangan
keagamaan kaum Sunni selama ini dan yang dimaksud dengan yang terakhir adalah
pemikiran aswaja yang tidak atau kurang diakomodir kaum Sunni selama ini.
Pembahasan Aswaja superordinat dalam
kaitannya dengan pembangunan manusia yang berimbang dimaksudkan dengan
pengkajian ulang terhadap sifat kesesuaiannya dengan kondisi yang ada sekarang.
Tepatkah superordinasi aswaja yang ada sekarang ini dipertahankan? Dan
pembahasan aswaja subordinat dimaksudkan untuk mencari formulasi aswaja
superordinat baru yang sesuai dengan kondisi yang ada sekarang. Untuk
pembahasan aswaja superordinat di sini akan ditekankan pada agidah Asy'ari yang
ada relevansinya dengan prasayarat dengan pembangunan manusia yang seimbang
seperti telah dibahas di atas; yaitu pengakuan akan adanya kekuasaan tertinggi
yang mengatasi kekuasaan manusia, liberalisasi rasionalitas dan ketiadaan
pengabaian kehidupan dunia.
Integritas Tasauf dan Aqidah Asy'ari bagi Pembentukan Mental
Kebebasan dan tanggung jawab manusia
atas tindakannya merupakan persoalan yang senantiasa menghantui pikiran
manusia. Adakah perbuatannya merupakan kehendak dan tindakannya sendiri dan
karenanya dipertanggung jawabannya di hadapan tuhan didasarkan atas kehendak
dan tindakan tersebut. Ataukah ada kekuatan lain yang memaksa tanpa bisa
dielakkkan. Jika demikian atas dasar apa ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya di hadapan tuhan. Dalam persoalan ini Asy'ari tidak berpihak pada
Jabariah ataupun Qadariah. Jika Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kekuasaan untuk menentukan nasibnya sendiri dan Qadariah berpendapat
sebaliknya, maka Asy'ari mencoba mencari sintesa dari kedua pendapat tersebut.
Sebagai manifestasi pengakuannya terhadap adanya kekuasaan tertinggi, Asy'ari
berpendapat bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu yang terjadi di dunia termasuk
di antaranya nasib manusia. Dan ketentuan Allah bersifat mengikat dan tidak
dapat berubah. Namun demikian manusia tetap layak mempertanggungjawabkan
perbuatannya di dunia, karena ia mempunyai andil di dalamnya. Andil tersebut
dijabarkan Asy'ari dalam teori 'kasb’-nya.Pengertian kasb versi Asy'ari adalah
kekuasaan manusia yang diciptakan oleh Allah, yang muncul bersamaan dengan
terjadinya sesuatu perbuatan tanpa adanya hubungan kausalitas antara keduanya.
Adapun yang menentukan terjadinya perbuatan tersebut adalah Allah dan bukan
kekuasaan manusia. Dengan kata lain perbuatan manusia mempunyai dua sisi. Sisi
yang pertama adalah kekuasaan manusia yang hubungannya dengan perbuatan
tersebut hanya hubungan kebersamaan waktu. Dan sisi kedua adalah kekuasaan Allah
yang hubungannya dengan perbuatan adalah hubungan kausalitas. Dan kekuasaan
manusia itulah yang dijadikan dasar pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa
Asy'ari dalam upaya mengkompromikan dua pendapat terjabar kedalam paham
fatalisme. Pendapat beliau lebih dekat dengan Jabariah. Perbedaannya hanya pada
Justifikasi Asy'ari terhadap pertanggungjawaban manusia melalui teori kasb. Dan
teori kasb itu sendiri tidak mampu mengeluarkan pendapat Asy'ari dari lingkaran
paham Jabariah. Dalam perspektif aqidah Asy'ari manusia tidak saja mempunyai
kebebasan dalam menentukan nasibnya. Semuanya telah ditentukan oleh Allah pada
zaman azali. Satu-satunya yang dimiliki manusia hanya kekuasaan semu yang tidak
mempunyai pengaruh apa-apa terhadap perbuatannya.
Pendapat Asy'ari terhadap kebebasan
manusia paralel dengan pendapatnya tentang hukum sebab-akibat. Menurutnya
hubungan antara dua peristiwa yang selalu terjadi secara bersamaan bukannlah
hubungan sebab akibat. Pergesekan api dengan benda yang bisa terbakar sebagai
suatu peristiwa, tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan terjadinya
pembakaran sebagai peristiwa lain. pembakaran terjadi karena Allah
menghendakinya terjadi, sementara pergesekan api dengan benda yang dapat terbakar
hanya peristiwa yang menyertainya tanpa mempunyai pengaruh apa-apa terhadap
peristiwa pembakaran itu sendiri.10 Pendapat ini, seperti disebutkan di atas
merupakan manifestasi pengakuan Asy'ari terhadap adanya kekuasaan tertinggi,
yaitu kekuasaan Allah dan kekuasaan tertinggi tersebut diterjemahkan sebagai
satu-satunya kekuatan yang berpengaruh. Maka api tidak bisa membakar, karena
membakar adalah kekuatan yang berpengaruh, sedang kekuatan yang berpengaruh
hanyalah milik Allah.
Dengan doktrin ini, Asy'ari mampu
memberikan gambaran yang utuh tentang kekuasaan tuhan, tapi gagal menjelaskan
fenomena keteraturan alam yang diciptakannya. Kepastian hukum alam dalam
perspektif aqidah Asy'ari menjadi kabur, dan ini melemahkan semangat
rasionalitas. Sebab pengingkaran terhadap adanya hukum sebab akibat dalam
keteraturan alam sama dengan mengebiri fungsi akal. Kedua pendapat Asy'ari
tentang kekuasaan Allah yang mengekang kehendak manusia dan kekuasaan Allah
yang meniadakan hukum sebab akibat, diterima kaum sunni sebagai doktrin yang
dogmatis. Dan pada perkembangan selanjutnya doktrin tersebut diintegrasikan
dengan tasawuf yang dipahami mayoritas Sunni untuk menjauhkan diri dari
keduniaan.Akibat dari ketiga ajaran di atas yang kemudian dianggap sebagai
doktrin yang dogmatis, pandangan keagamaan kaum sunni menjadi lebih banyak
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rohani. Kaum Sunni menjadi apatis
terhadap hal-hal yang bersifat keduniaan. Kegairahan intelektual dan semangat
penelitian rasional yang tidak terikat dengan doktrin-doktrin dogmatis lenyap
dan digantikan dengan kegiatan keilmuan yang sangat terbatas pada lingkup
penjelasan terhadap pemikiran-pemikiran ulama terdahulu. Singkatnya manusia
yang pada fitrahnya bersifat dinamis akhirnya menjadi statis karena pandangan
keagamaan yang irasional, fatalistis, dogmatis, dan berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan rohani.
Memang tidak dipungkiri bahwa pada
level "khoowas" penyerahan diri mutlak kepada Allah dan pengakuan
akan adanya kehendak azaly yang bersifat memaksa, tidak menghalangi aktivitas
dunia. Apapun kehendak Allah pada saman azaly, mereka tetap giat beramal di
dunia seakan-akan tidak tidak pernah ada kehendak tersebut. Prinsipnya,
Kehendak Azaly Allah adalah hal yang belum diketahui manusia, dan karenanya manusia
tetap berbuat tanpa harus terikat dengan takdir. Hal ini sebagai manifestasi
ketaatan mereka terhadap firman Allah yang artinya : Dan katakanlah :
“bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu.” 11 Dan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Ali ra : Tak seorangpun dari kalian melainkan telah ditulis tempatnya di
neraka dan tempatnya di surga. Mereka (sahabat) : bertanya, wahai Rasulullah
apakah kita tidak berserah kepada catatan kita saja. Rasulullah menjawab
‘bekerjalah, karena setiap orang dimudahkan untuk hal-hal yang diciptakannya
karenanya, adapun yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia maka akan
menuju perbuatan-perbuatan yang sangat membahagiakan, dan termasuk golongan
orang celaka, maka akan menuju amal yang mencelakakan. 12
Dengan berpegang kepada kedua nash
tersebut, aqidah sebagai kewajiban i’tiqadih tidak akan menghalangi pekerjaan
dunia sebagai kewajiban amali. Tetapi, ketika aqidah pada level “awam” harus
diyakini dan diimplementasikan secara konsisten dalam pekerjaan, maka sulit
dipahami bahwa adanya kehendak azali yang mengikat tidak akan melemahkan
semangat bekerja di dunia. Dan seperti disebutkan di atas aqidah akan
merefleksikan perbuatan, maka segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah
ditentukan, semangat bekerja cenderung melemah dan perintah bekerja tidak
banyak membantu meningkatkan semangat bekerja. Dengan kata lain sulit
memisahkan aqidah sebagai suatu kewajiban dengan bekerja sebagai suatu
kewajiban lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa aqidah Asy’ari yang mempunyai konsistensi logis dengan pandangan
keagamaan yang irasional, fatalistis, dogmatis dan berorientasi kepada
pemenuhan kebutuhan rohani, tidak dapat menjadi landasan bagi kebangkitan umat
Islam. Oleh karenanya, harus dicari landasan aqidah baru yang mampu menghantar
kebangkitan umat Islam. Menumbuhkan sikap rasional dan liberal melalui aqidah
Aswaja. Masa lalu bukanlah sejarah yang mati. Ia adalah benda hidup yang
menjadi bahan pembentukan manusia dan masa depannya.13 Bertolak dari pernyataan
Rene Dubos di atas, penulis mencoba menemukan landasan-landasan aqidah yang
dapat membentuk mental manusia yang ideal bagi pembentukan masa depannya
melalui penggalian warisan Aswaja. Upaya ini, dengan meminjam bahasa George
Simmel 14 harus dilihat dalam kerangka proses subyektif manusia yang senantiasa
berusaha mengungkapkan kreatifitasnya. Dan oleh karenanya, sudah barang tentu
akan berhadapan dengan bentuk-bentuk kemapanan obyektif, yang dulunya juga merupakan
hasil proses kehidupan subyektif manusia. Rasionalitas/Etis seperti telah
disebutkan di atas, bahwa suatu peradaban harus dibangun di atas suatu
keyakinan akan adanya kekuasaan tertinggi yang mengatasi kekuasaan manusia.
Dalam Islam keyakinan tersebut
dijabarkan dalam kalimat haoqala yaitu La Haula Wa La Kuwwata Illâ Bil-Lâh al-
‘Aliyyi al-Adzîm. Dengan pengakuan tersebut manusia tidak akan pongah dan
selalu menyadari bahwa dirinya adalah mahluk yang lemah. Hal ini sesuai dengan
firman Allah yang artinya “........ dan manusia dijadikan bersifat lemah.” 15
Karena merasa lemah, maka manusia memerlukan bimbingan Allah melalui wahyu yang
diturunkan kepada nabi. Akan tetapi wahyu tidak selamanya menyertai perjalanan
manusia. Ia telah sempurna dengan berakhirnya masa kenabian; sedang
permasalahan yang dihadapi manusia terus berkembang berbanding sejajar dengan
sejarah perjalanannya. Maka diperlukan petunjuk akal pada masalah-masalah yang
dapat terjangkau oleh kemampuannya. Hal ini tak bertentangan dengan kesempurnaan
agama Islam sebagaimana yang difirmankan Allah : “Pada hari ini telah
kusempurnakan untukmu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmaku, dan telah
kuridhai Islam sebagai agama bagimu” 16
Konsekuensi dengan berakhirnya kenabian
adalah kesempurnaan agama Islam karena ia yang akan menjadi petunjuk bagi
manusia. Dan makna kesempurnaan agama Islam adalah bahwa Allah telah menurunkan
wahyu yang menunjukkan manusia kepada kebenaran mutlak yang tak terjangkau oleh
akal dan wahyu yang memberikan otoritas kepada akal budi manusia untuk
menemukan kebenaran-kebenaran relatif yang dapat terjangkau oleh kemampuannya.
Dalam Al-Qu’an akal mendapat tempat
yang tinggi ia diduetkan dengan agama; suatu hal tak pernah dialami risalah
agama sebelum Islam.17 Dan bukan kebetulan jika Al-Quran secara perspektif
menyebutkan akal dengan berbagai kata. Dr. Ahmad al-Kufi menyebutkan bahwa asal
kata al-Aql disebut dalam 49 ayat, al-Qalb dengan arti akal disebut dalam 133
ayat, an-Nuha dengan arti akal disebut dalam 16 ayat, dan asal kata al-Fikr
disebut dalam 18 ayat. 18
Demikianlah, Islam menghargai akal dan
memberikannya tempat dalam menemukan kebenaran di samping kebenaran wahyu. Dan
tampaknya legalitas akal dalam Islam telah disepakati oleh ulama Aswaja, hanya
porsinya dalam menemukan suatu kebenaran yang masih diperselisihkan
mereka.Seperti telah dikemukakan di atas, aqidah Asy’ari kurang berhasil
menumbuhkan semangat rasionalitas, meskipun ia mengakui legalitas akal, hal itu
karena Asy’ari mengfungsikan hanya sebagai justifikasi bagi teks wahyu,
sehingga akal diposisikan selalu berdiri di belakang naql. Untuk itu perlu
dicari kiblat dalam menilai posisi akal. Dalam hal ini kiranya cukup menarik
untuk meneladani Ar-Razi dalam memposisikan akal.Ar-Rasi membagai masalah ilmu
kalam menjadi tiga yaitu : (1) Masalah hanya dapat dijangkau oleh akal. (2)
Masalah yang hanyah dapat dijangkau oleh naql. (3) Masalah yang dapat dijangkau
oleh keduanya.Masalah yang hanya dapat dijangkau oleh akal yaitu seluruh
masalah pokok yang kebenarannya akan mengesahkan naql, seperti Allah mengutus
nabi, menciptakan alam dan lain sebagainya. Sedang masalah yang hanya dapat
dijangkau oleh nagl, masalah yang berhubungan dengan kebenaran atau
pengingkaran hal yang akan melalui pengalaman inderanya, tidak mempunyai
gambaran sama sekali tentang hal tersebut.
Kategori masalah kedua dicontoh oleh
Ar-Razi dengan ghaibiyat. Dan masalah yang dapat dijangkau oleh keduanya hal
yang kebenarannya tidak mempengaruhi keabsahan naql. Dan akal secara potensial
dapat menjangkaunya seperti masalah ru’yah, sifat wahdaniyah dan lain
sebagainya.Kemudian Ar-Razi menjelas kan pendapatnya bahwa naql tidak dapat
dipakai untuk membuktikan kategori masalah pertama karena kategori masalah
pertama dimaksudkan untuk mengesahkan naql itu sendiri. Jika naql harus
digunakan untuk membuktikan naql itu sendiri maka akan terjadi vicius circles
(lingkaran yang tak berujung pangkal) dan akal tidak dapat menjangkau kategori
masalah kedua, karena akal sama sekali tidak mempunyai gambaran yang ditarik
dari pengalaman indera tentang masalah kedua. Maka, pembenaran atau peningkatan
akal terhadapnya adalah hal yang tidak logis, dan dalam hal ini hanya naql yang
dapat menjangkaunya. Dalam kategori masalah ketiga meskipun akal dan naql bisa
menjangkaunya tetapi Ar-Razi -berbeda dengan Asy’ari- lebih mengedapankan akal
ketimbang naql.Ar-Razi memberikan alasan bagi sikapnya dengan menjelaskan bahwa
jika diasumsikan adanya dalil aqli yang pasti karena didasarkan atas premis
aksiomatis, lalu bertentangan dengan dalil naql maka dalil naql harus ditakwil.
Sebab jika kedua dalil tersebut berten-tangan tidak mungkin dikompromikan, maka
hanya ada dua kemungkinan : mentakwil dalil naql atau menyalahkan dalil aql.
Jika kemungkinan kedua dipa kai, maka akan berujung menyalahkan dalil naql
pula. Sebab kebenaran dalil naqli, seperti telah dikemukakan di atas didasarkan
atas dalil aqli : dan kalau dalil aqli diragukan kebenarannya, berarti dalil
naqli didasarkan atas dalil yang meragukan. Karena itu pembenaran naql dengan
menolak akal berimpilikasi penolakan naql itu sendiri. Jika kemungkinan kedua
berakibat penyalahan terhadap naql, maka tidak ada jalan lain kecuali mentakwil
naql sesuai dengan dalil akal. 19
Demikianlah sikap Ar-Razi dalam
memandang akal. Ia tidak me-nomordua-kan akal dalam menemukan kebenaran. Akal
seperti juga naql, secara independen dapat menjangkau kebenaran, bahkan akal
pula yang membuktikan kebenaran naql. Tetapi akal bukan kebenaran mutlak yang
menggantikan kekuasaan tuhan seperti dipahami abad modern Eropa. Naql mempunyai
wilayah khusus yang tidak dapat ditembus kemampuan akal. Dengan demikian Ar-
Razi mengambil sikap moderat yang tidak menuhankan akal tapi juga tidak
membunuh kreatifitas akal (open minded)
Jika pemikiran Ar-Razi dikembangkan
dalam masyarakat, maka akan tumbuh budaya berpikir rasional. Budaya semacam ini
pada gilirannya juga akan melahirkan keterbukaan yang tak terikat oleh tradisi
dan dogma. Sebab kebenaran tidak lagi diukur oleh tradisi yang sudah mapan
ataupun hasil pemikiran manusia yang didogmakan melainkan dengan rasio.
Al-Quran sendiri tidak membenarkan cara berpikir yang didasarkan atas tradisi
yang sudah mapan : “Dan apabila dikatakan kepada mereka : Ikutilah apa yang
diturunkan oleh Allah, mereka menjawab tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapai dari perbuatan nenek moyang kami (apakah mereka akan
mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun
dan tidak mendapat suatu petunjuk.” 20 Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang
didapati seseorang dalam komunitasnya sebagai tradisi dan budaya yang
dihasilkan oleh orang terdahulu bukan ukuran kebenaran.
Al-Quran juga mengingatkan bahwa
popularitas kebesaran nama bukan ukuran kebenaran : Dan mereka berkata : Ya
Tuhan kami sesunggguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-
pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar. Ya Tuhan
kami, berilah kepada mereka azab yang dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan
kutukan yang besar. 21 Begitulah Al-Quran tidak membenarkan hasil pemikiran
manusia yang karena kebesaran namanya lalu dijadikan ukuran kebenaran.
Dengan demikian Al-Quran telah
menghindarkan akal dari cara berpikir yang menjadikan kemapanan obyektif dari
hasil kreatifitas subyektif manusia sebagai barometer kebenaran.Urain ini sama
sekali tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti jerih payah ulama terdahulu
dalam menemukan kebenaran justru sebaliknya, dengan tidak menjadikan hasil
pemikiran manusia sebagai kebenaran mutlak, maka ulama secara profesional telah
ditempatkan sesuai sifat kemanusiaannya yang mungkin salah dan mungkin benar.
Jika pemikiran mereka jelas-jelas salah maka harus diakui sebagai kesalahan dan
jika pemikiran mereka mengandung kebenaran, maka kebenaran akan diteruskan dan
dikembangkan ; bukan karena ia sudah pemikiran yang mapan, tapi secara rasional
ia benar. Dengan begitu akal manusia bersikap open minded, mudah menerima hal
baru dan selalu memelihara warisan lama selama ia mengandung kebenaran, dan
tidak menganggap bahwa kebenaran adalah monopoli suatu golongan.
Urgensi Wahyu Mendampingi Rasionalitas
Seperti telah dikemukakan di atas,
rasionalitas Ar-Razi bukan berarti menuhankan rasio. Karena rasio mempunyai
wilayah sendiri dan tidak mungkin menyeberang ke wilayah kekuasaan “petunjuk
tuhan”. Berarti manusia rasional dalam perspektif rasionalitas Ar-Razi tetap
memerlukan petunjuk tuhan dalam hal yang tidak dimampui oleh akal.
Hal ini berbeda dengan rasionalitas
Marxis atau rata-rata rasionalitas barat lainnya. Rasionalitas barat adalah
rasionalitas arogan. Ia tidak mengakui otoritas tuhan, bahkan Auguste Comte,
seorang sosiolog yang di-bapak sosiologi-kan orang, ingin mengganti agama tuhan
dengan agama humanitasnya. tentu saja ia gagal, karena agama menyangkut masalah
moralitas dan bagaimana merumuskan kehidupan yang baik. Kebaikan dan keburukan
tidak bisa diketaui manusia dengan fitrah akalnya. Hal ini bisa dibuktikan
dengan perbedaan antara masyarakat lainnya dalam menilai kebaikan dan
keburukan. Seandainya kebaikan dan keburukan dapat ditangkap fitrah akal
manusia, tentu tidak terjadi perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat
lainnya.
Memang tidak dipungkiri, orang yang
hidup di tengah-tengah masyarakat berperadaban akan dapat menangkap kebaikan
dan keburukan dengan akalnya. Tetapi hal itu bukan karena akal secara potensial
mampu menangkapnya, melainkan karena mereka hidup di dalam masyarakat yang
telah menganut norma-norma tertentu. Buktinya, jika ada orang hidup yang tak
pernah berinteraksi dengan orang lain, tentu ia tidak akan menangkap kebenaran
dan keburukan seperti halnya orang yang hidup di tengah masyarakat. Bukankah
ini membuktikan bahwa manusia dengan akalnya tidak mampu menyelesaikan masalah
moral-itas apalagi merumuskan kehidupan yang sempurna.
Ketika kita mengamati Al-Quran
sebenarnya ia telah mengisyaratkan bahwa manusia memerlukan petunjuk tuhan
dalam hal moralitas. Al-Quran membagi petunjuk ini menjadi dua, yaitu pertama
disebut al-Ma’ruf dan yang kedua disebut al-Khair. Untuk menyeru al-Ma’ruf digunakan
kalimat al-Amr, seperti “wa’mur bil ma’ruf”. Kata al-Amr yang berarti perintah
menunjukkan adanya al-ma’mur bih (sesuatu yang diperintahkan) yang sudah
diketahui al- ma’mur (orang yang diperintah). Sebab jika al-ma’mur bih belum
diketahui al-ma’mur sebagai perintah maka arti perintah menjadi tidak berguna.
Dengan demikian al-ma’ruf yang selalu berpasangan dengan al’amr adalah kebaikan
yang sudah diketahui masyarakat. Sedang untuk menyeru al-khair digunakan
kalimat ad-Da’wah seperti “yad’u ilal khair”. Kata ad-Da’wah yang berarti
ajakan, mengandung makna meyakinkan orang lain secara verbal untuk melakukan
al- mad’u ilaih (hal yang dianjurkan). 22 Adanya perbuatan yang berfungsi
meyakinkan orang lain menunjukkan bahwa al-mad’u ilaih belum diketahui kebaikannya
oleh al-mad’u (orang yang diajak). Berarti al-Khair yang selalu berpasangan
dengan ad-da’wah adalah kebaikan yang belum dikenal oleh manusia. Untuk
mengenalnya memerlu-kan petunjuk Allah melalui rasul-Nya.
Jadi urgensi petunjuk tuhan dalam
merumuskan masalah-masalah moral telah diisyaratkan al-Quran dan mendapat
legitimasi akal. Dalam perspektif rasional-itas ar-Razi, masalah moral
dikategorikan dalam masalah yang tak dapat dijangkau akal. Dengan demikian
rasionalitas tidak akan menyesatkan manusia karena ia mendapat petunjuk dalam
hal-hal pokok yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa untuk menumbuhkan rasionalitas kiranya tidak berlebihan jika
Ar-Razi dalam mensikapi dalil aqli dan naqli diteladani. Rasionalitas yang
berkembang, pada gilirannya akan membebaskan manusia dari ikatan tradisi yang
mapan ataupun pemikiran manusia yang dogmatis. Dengan terbebas dari ikatan,
manusia akan mudah menerima hal-hal yang dianggap benar.
Walaupun manusia mengakui dominannya
kekuasaan rasionalitas dan kebebasan, namun ia tidak akan terge-lincir dalam
sikap arogan, karena yang dikembangkan adalah rasionalitas moderat yang
mengakui urgensi petunjuk-petunjuk tuhan. Justru sebalik nya, dengan
rasionalitas moderat ia akan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan
nilai-nilai kemanusiaan, karena masalah moral dan kemanusiaan datang dari
petunjuk tuhan yang mutlak kebenaran nya. Bila sikap semacam ini sudah
berkembang di kalangan Sunni maka tinggal membudayakan “keseimbangan dunia akhirat”.
Kebebesan Kehendak Manusia Versi Ibnu Taimiyah, Al-Juwaini dan Mahmud Syaltut
Dalam agama terdapat dua ajaran yang
berkaitan erat dengan produktifitas. Pertama, soal kehidupan spritual di
akhirat setelah berakhirnya kehidupan. Apabila kehidupan di dunia dianggap
penting maka produktifitas akan meningkat. Tetapi sebaliknya, bila kehidupan
dunia dianggap tidak penting maka produktifitas akan rendah sekali. Kedua,
mengenai ketentuan nasib manusia. Kalau nasib manusia ditentu-kan oleh kehendak
azali, maka produktifitas akan rendah sekali, sebalik-nya, bila manusia punya
kebebasan dalam menentukan nasib sendir, maka produktifitas akan tinggi. 23.
Sebagai mana yang dikemukakan di atas
aqidah Asy’ari yang berupaya memoderasi ekstrim Jabariah dan ekstrim Qadariah
akhirnya tergelincir ke dalam paham fatalistis. Kemudian , ketika aqidah
Asy’ari diintegrasikan dengan ajaran tasawuf di kalangan Sunni berkembang
pandangan keagamaan yang mengabai kan kehidupan dunia. Oleh karena itu perlu
ditemukan landasan aqidah yang baru yang dapat menghidup-kan sema-ngat
kehidupan kaum Sunni.
Sebenarnya, semua aqidah Islam yang
mengakui adanya kekuasaan tertinggi, yang mengatasi kekuasaan manusia -termasuk
di antaranya mu’tazilah- akan meyakini sesuatu yang akan terjadi. Apapun yang
terjadi di dunia tidak pernah meleset dari sesuatu yang pasti terjadi. Setelah
terjadi kekafiran Abu Jahal orang dengan menggunakan perspektif aqidah mana pun
akan meyakini kekafiran Abu Jahal sesuatu yang pasti . Dalam perspektif
Mu’tazilah keyakinan tentang adanya sesuatu yang pasti terjadi muncul dari
keyakinan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi. Dan sesuatu yang
diketahui Allah pasti terjadi. Dalam perspektif non-mu’tazilah keyakinan
tersebut lahir dari keyakinan bahwa Allah mengetahui dan memastikan segala
kejadian di dunia akan terjadi. Persoalan yang muncul, sejauh mana manusia
mempunyai kebebasan dalam memilih? Menurut Ibnu Taimiyah, alam dan isinya,
termasuk di dalamnya pekerjaan manusia adalah milik dan ciptaan Allah. Allah
pada zaman azali telah mengetahui dan memastikan segala peristiwa yang akan
terjadi di dunia nanti. Namun demikian manusia tetap mempunyai kemampuan,
kehendak dan pilihan yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah.
Selanjutnya ia menjelaskan pula bahwa manusia mempunyai kemampuan yang
diciptakan Allah. Dan kemampuan dimaksud adalah perantara atau sebab yang
melahirkan pekerjaan yang disesuaikan dengan hukum kualitas yang diciptakan
oleh Allah. Jadi, perbuatan manusia tidak berbeda dengan fenomena alam lainnya
yang mengikuti hukum kualitas. Manusia berjalan karena ia menggerakkan kedua
kakinya. Begitu pun, pepohonan tumbuh karena ia ditanam pada tanah yang subur.
Tetapi kekuatan menggerakkkan kaki dan kesuburan tanah adalah ciptaan Allah.
Demikian juga kemampuan gerakan kedua kaki melahirkan pekerjaan berjalan; dan
kemampuan kesuburan tanah menumbuhkan pepohonan adalah hukum kualitas yang
diciptakan Allah. 24. Dengan kata lain manusia harus bertanggung jawab atas
perbuatannya karena ia mempunyai kebebasan memilih berkehendak dan akhirnya
menjalankan-nya dengan kekuatan yang diciptakan oleh Allah.
Begitu juga halnya pernyataan
Al-Juwaini mengatakan bahwa kekuatan manusia dalam berbuat adalah salah satu
sebab dari beberapa sebab yang diciptakan Allah di dunia. Dan dengan
perantaraan sebab manusia melakukan perbuatannya. Oleh karena itu suatu
pekerjaan dinisbatkan kepada Allah karena Ia pencipta sebab. 25
Di samping kedua pendapat di atas perlu
juga kiranya mengambil pendapat Mahmud Syaltut, mantan Syeikh Azhar tentang
qadla dan qadar. Ia berpendapat bahwa qadla dan qadar tidak lain adalah tatanan
yang landasannya penciptaan Allah terhadap alam. Dan dalam tatanan itu pula
Allah menghubungkan antara sebab dan akibat, konklusi dan premis nya sebagai
hukum alam yang pasti dan tak mungkin berubah. Termasuk hukum alam tersebut
bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang bebas menentu-kan pekerjaan tanpa
ada yang memaksa-nya. Menurutnya, Allah memang tahu apa yang akan dilakukan
oleh manusia berdasarkan pilihannya. Tetapi ilmu Allah tentang hal tersebut
sama sekali tidak mengandung arti pemaksaan. Sesung guhnya ia hanya
menyingkapkan hal-hal yang telah dan akan terjadi sesuai dengan hukum alam.
Dalam hal ini hukum alam dimaksud adalah kebebasan manusia dalam memilih
berdasarkan taklif dan kemampuannya. (26)
Dari dua uraian pendapat di atas dapat
dilihat bahwa Mahmud Syaltut rupanya memberikan porsi kebebasan yang lebih
besar bila dibanding dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Al-Juwaini. Tetapi
keduanya tetap menggambarkan free will and free act. Dengan mengikuti pendapat
free will and free act, manusia akan merasa memiliki perbuatannya, karena ia
diyakini muncul dari pilihan, kehendak dan pekerjaannya sendiri. Manusia juga
akan merasa bebas menentukan nasibnya karena ia memiliki kehendak dan pilihan.
Bila self determination telah diyakini, maka manusia tidak akan menganggap
penderitaan di dunia sebagai nikmat. Karena ia yakin bahwa penderitaan dapat
berubah menjadi kebahagiaan dengan usahanya. Dengan demikian, tasawuf tidak
akan dipahami sebagai pemenuhan kebutuhan spritual dengan mengabaikan kebutuhan
material.
Kesimpulan
Sebagai akhir dari tulisan ini, bisa
disimpulkan bahwa kemajuan dan kemunduran suatu umat tergantung dari perspektif
keagamaan. Jika aqidah melahirkan pandangan keagamaan yang regresif, maka yang
terjadi adalah kemunduran. Dan jika sebaliknya (lahir dari perspektif
progresif), maka yang terjadi adalah kemajuan.
Suatu aqidah agar dapat menumbuhkan
pandangan keagamaan yang progresif, harus memiliki lima karakteristik. Pertama,
pengakuan terha-dap kekuasaan tertinggi yang mengatasi kekuasaan manusia.
Kedua, pengakuan terhadap kemampuan akal dalam melacak dan menemukan kebenaran
relatif. Ketiga, pengakuan terhadap kebebasan manusia dari ikatan tradisi dan
hasil pemikiran orang terdahulu. Keempat, pengakuan terhadap kebebas an manusia
dalam menentukan nasibnya. Kelima, pengakuan terhadap urgensi kehidupan dunia
dan keperluan material. Dengan mengacu kepada lima karakteris-tik di atas,
nampaknya aqidah Asy’ari yang berintegrasi dengan tasawuf -dalam praktek
negatifnya- tidak bisa memberi-kan iklim kondusif bagi terciptanya pandangan
keagamaan modern.
Berangkat dari kenyataan ini perlu
kiranya ditemukan landasan aqidah baru bagi kaum Sunni agar dapat tercipta
pandangan keagamaan yang progresif. Hal ini dapat dilakukan dengan menggali
warisan intelektual yang ditinggalkan para ulama Aswaja. Untuk menumbuhkan
rasionalitas, pendapat Ar-Razi tentang kemampuan akal akan dapat dijadikan
sebagai alternatif. Sebab rasionalitas yang berangkat dari pendapat Ar-Razi
tidak sampai mengingkari kekuasaan tertinggi (baca;tuhan), sehingga akal tidak
dipaksakan untuk menembus wilayah kekuasaan petunjuk tuhan. Rasionalitas yang
tumbuh dari pendapat Ar-Razi pada gilirannya akan melepakan manusia dari
tradisi dan hasil pemikiran manusia yang didogmakan. Dengan demikian manusia
mudah menerima hal-hal yang baru selama ia diyakini benar, dan tidak enggan
membuang hal-hal lama jika memang jelas-jelas salah. Dan untuk memberikan kebebasan
manusia dalam menentukan nasibnya sendiri dapat diajukan pendapat Mahmud
Syaltut, Ibnu Taimiyah atau Al-Juwaini, sebagai alternatif. Dengan meyakini
qadla dan qadar seperti yang digambarkan oleh Mahmud Syaltut bahwa manusia akan
terhindar dari sikap fatalistis. Dan pada gilirannya akan menghindarkan manusia
dari pandangan keagamaan yang hanya mementingkan hajat spritual dan ukhrawi
belaka. Jika keyakinan semacam ini berkembang, maka aqidah Aswaja belum bisa
menjadi aqidah pembangunan, aqidah pembebasan dan aqidah keseim-bangan di masa
yang akan datang.
Daftar Acuan
1.
An
Najjar, Abdul Majid, “Darul Islah al-Aqdi Fi An-Nahdah al-Islamiyah”, Islamiyat
al-Ma’rifah, (Juni 1995), hal. 57
- Shimogaki, Kazuo, Between Modernity And Postmodernity The Islamic Left And Dr. Hasan Hanafi’s Thought : A Critical Reading, atau Kiri Islam Antara Modernisme Dan Postmodernisme (Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi), terj. M. Imam Abdul Aziz, M. Jadul Maula.
- Jhonson,Doyle Paul, Shociologocal Theory Cassical Founders and Contemporary Perspectives, atau Teori Sosiolgi Kasik Dan Modern, terj. Tobert M. Z. Lawang, I, 238.
- Thoha, Dr. Abdul Ghoni Al-Ghorib, Muhadlarat Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah, diktat Fak. Usyhuluddin Univ. Al-Azhar Zagazig, hal 5
- Al-Quran, Surat Albaqarah : 260.
- Nasution, Prof. Dr. Harun, Islam Rasional Gagasan dan pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, ed. Lukman Ali.
- Turner,Bryan S., Weber And Islam, atau Sosiologi Islam Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber, terj. G.A. Ticoalu, hal. 289
- Dubos, Rene, So Human An Animal, atau Insaniyyat Al-Insan, terj. bhs. Arab, Dr. Nabil Subhi At-Thawil, hal 63 Lihat, Prof. Dr. Sa’duddin As-Sayyid Shalih, Afaal Allah Wa Afaal Al-Ibad Bahts Fi Musykilat Al-Insan, (Selanjutnya disebut Sa’duddin, Afal Allah) hal. 45, 46, 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar