Minggu, November 04, 2012

Pemikiran Tafsir Al-Qur’an di Abad Tengah; Selayang Pandang Bersama Tafsir-tafsir Imam Suyuthi

Oleh Tsalis Muttaqin

A. Pendahuluan
            Pemegang otoritas Tafsir terhadap Al-Qur’an yang pertama adalah Nabi Muhammad saw. Kedudukan hadits-hadits Nabi Muhammad saw sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an telah diyakini oleh ulama umat ini sejak masa-masa permulaan Islam. Namun dalam masa-masa selanjutnya penafsiran Al-Qur’an mengalami banyak perkembangan. Hal ini disebabkan oleh watak Al-Qur’an sendiri yang kandungannya mempunyai relevansi yang menembus ke segala batas ruang dan waktu.


            Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di kalangan ulama telah terjadi beberapa methode. Sebagian ulama membagi tafsir al-Qur’an menjadi 3 bagian:
1.      Penafsiran Al-Qur’an dengan penalaran, yang dikenal dengan Al-tafsir bi Al-Ra’yi. Tafsir bi Ar-Ra’yi ialah penafsiran yang menggunakan media ijtihad. Jika ijtihad telah sesuai aturan-aturan yang ditetapkan dan jauh dari kebodohan dan kesesatan, maka penafsiran menjadi tafsir yang terpuji dan jika tidak demikian, maka menjadi tafsir yang tercela.
2.      Penafsiran Al-Qur’an dengan isyarat-isyarat, yang dikenal dengan Al-tafsir Al-Isyaariy. Yaitu mena’wilkan al-Qur’an kepada ma’na yang tidak sesuai dengan ma’na lahiriyahnya karena ada isyarat yang tersembunyi yang diketahui oleh para ahli suluk dan tasawwuf  dan mungkin di kompromikan antara makna tersebut dengan makna lahiriyahnya[1]
3.      Penafsiran Al-Qur’an dengan riwayat-riwayat hadits maupun atsar, yang dikenal dengan Al-tafsir bi Al-Ma’tsuur.[2]
            Dalam makalah ini akan dikaji beberapa pemikiran-pemikiran Imam Suyuthi yang merupakan representasi tafsir di abad tengah.
            Nama asli Imam Suyuthi ialah: Abdurrahman, sedangkan As-Suyuthi merupakan nisbat dari kota Asyuth, kota tempat kelahirannya. Ia lahir pada tahun 849 H dan wafat pada tahun 911 H.
            Imam Suyuthi dikenal sebagai pribadi yang punya perhatian yang besar terhadap ilmu-ilmu hadits dalam berbagai cabangnya, baik secara dirayah maupun riwayah. Ilmunya sangat luas. Ia ahli dalam bidang tafsir, hadits, fiqih, nahwu, ma’aani, bayaan dan badii’ (tiga ilmu terakhir ini merupakan bagian dari ilmu balaghah).
            Karena perhatiannya terhadap hadits sedemikan besarnya, maka tidak mengherankan jika dalam pikiran-pikirannya terhadap Al-Qur’an, Imam Suyuthi sangat dekat dengan pemikiran tafsir bi Al-Ma’tsuur. Hal ini terlihat jelas dalam kitab tafsirnya “Al-Durru Al-Mantsuur fi Al-tafsiir Al-Ma’tsuur” dan kitab “Al-Itqaan” yang membahas tentang Uluum Al-Qur’an.

B. Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
            Tentang nasikh dan mansukh, Imam Suyuthi berpendapat dengan menyandarkan pada pernyataan ulama: bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an kecuali ia mengetahui yang nasikh dan mansukh dari Al-Qur’an.[3]
            Menurut Imam Suyuthi, nasikh mansukh merupakan hukum Allah yang dikhususkan untuk umat ini, karena di dalamnya terdapat hikmah, yang di antaranya ialah mempermudah (al-taysir). Kaum muslimin sepakat bahwa nasikh mansukh boleh terjadi pada sebagian ayat-ayat Al-Qur’an.[4]
            Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak boleh di-naskh kecuali dengan Al-Qur’an. Dasar pendapat ini ialah firman Allah:
ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya”. [5]
            Mereka berkata: “Tidak ada yang sebanding dengan Al-Qur’an atau yang lebih baik darinya, kecuali Al-Qur’an”.[6]
            Namun ada sebagian pendapat yang mengatakan: “Bahwa Al-Qur’am boleh di-naskh dengan As-Sunnah, karena sunnah pada dasarnya juga dari sisi Allah SWT. Firman Allah SWT:
وما ينطق عن الهوى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.”.[7]
            Menurut Imam Suyuthi, naskh tidak terjadi kecuali dalam ayat yang berupa perintah dan larangan, meskipun perintah dan larangan itu berbentuk berita. Berita yang tidak mempunyai kandungan tuntutan (thalab) tidak masuk dalam kategori naskh, di antaranya berita yang berupa janji dan ancaman. Kata Imam Suyuthi: “Jika engkau tahu ini, maka engkau tahu kerusakan perbuatan orang yang memasukkan dalam kategori naskh ayat-ayat yang berupa berita, janji dan ancaman”.[8]
            Macam-macam naskh menurut Imam Suyuthi:
1.      Me-naskh sesuatu yang diperintahkan, tetapi belum pernah dilaksanakan. Inilah naskh hakiki. Contohnya ialah surat Al-Mujaadilah:12
يا أيها الذين آمنوا إذا ناجيتم الرسول فقدموا بين يدي نجواكم صدقة ذلك خير لكم وأطهر فإن لم تجدوا فإن الله غفور رحيم
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.[9]
Ayat ini di-naskh oleh ayat sesudahnya yang berupa firman Allah:
أأشفقتم أن تقدموا بين يدي نجواكم صدقات فإذ لم تفعلوا وتاب الله عليكم فأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة وأطيعوا الله ورسوله والله خبير بما تعملون
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[10]
2.      Menaskh sesuatu yang menjadi syariat bagi umat yang sebelum kita, seperti menaskh menghadap baitul maqdis waktu shalat ke ka’bah.
3.      Menaskh sesuatu yang diperintahkan karena ada sebab yang kemudian sebab itu telah hilang, seperti perintah agar kaum muslimin tetap bersabar dan memaafkan ketika masih lemah dan jumlahnya sedikit yang terkandung dalam firman Allah:
ود كثير من أهل الكتاب لو يردونكم من بعد إيمانكم كفارا حسدا من عند أنفسهم من بعد ما تبين لهم الحق فاعفوا واصفحوا حتى يأتي الله بأمره إن الله على كل شيء قدير
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[11]
Ayat ini dinaskh dengan kewajiban perang dalam firman Allah:
قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر ولا يحرمون ما حرم الله ورسوله ولا يدينون دين الحق من الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.[12]

C. Pandangan Imam Suyuthi Tentang Kebebasan Beragama
            Pandangan Imam Suyuthi mengenai kebebasan beragama ini setidak-tidaknya dapat kita lacak dari tafsir beliau atas firman Allah SWT:
لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها والله سميع عليم

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.[13]
            Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Suyuthi menyitir beberapa riwayat yang nadanya hampir sama, meskipun dengan asbab An-Nuzul yang berbeda. Dan di antara riwayat tersebut ada juga yang beranggapan bahwa ayat ini mansukh.
            Demikianlah, kita kutip beberapa riwayat tersebut.
            Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Asy-Sya’biy, ia berkata: “Ada seorang perempuan dari kalangan Anshar waktu itu yang sedikit air susunya, tidak ada satupun anaknya yang hidup. Maka ia bernadzar, jika anaknya hidup, maka akan dijadikannya anak itu bersama-sama dengan Ahli Kitab dalam agama mereka. Kemudian datang agama Islam dan pemuda-pemuda Anshar telah memeluk agama Ahli Kitab. Maka kata para sahabat Anshar: Sesungguhnya kami telah menjadikan anak-anak itu memeluk agama mereka. Dan kami melihat agama mereka lebih utama dari pada agama kami (sebelum memeluk Islam). Dan kini Allah telah mendatangkan kepada kita agama Islam, maka sebaiknya kita paksa saja anak-anak itu untuk masuk Islam, maka turunlah ayat: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”.[14]
            Namun Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir, mempunyai riwayat dari Ibnu Abbas tentang pendapat beliau dalam ayat ini. Kata Ibnu Abbas: Ayat ini turun pada saat ada seorang lelaki Anshar dari kalangan Bani Salim bin Auf. Laki-laki tersebut bernama Hashiin. Ia mempunyai dua anak yang kedua-duanya beragama Nasrani, sedangkan dia sendiri telah memeluk Islam. Maka Hashiin berkata kepada Nabi Muhammad SAW: “Apakah sebaiknya tidak aku paksa saja mereka berdua, karena mereka telah enggan, kecuali memeluk agama Nasrani?”. Terkait dengan peristiwa ini, maka Allah menurunkan ayat “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”.[15]
            Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”: “Demikian itu ketika orang-orang (Arab) telah masuk Islam dan Ahli Kitab telah membayar Jizyah.[16]
            Sementara itu, dalam kaitannya dengan ayat ini, Qatadah mengatakan: “Waktu itu orang-orang Arab tidak mempunyai agama, maka mereka dipaksa untuk memeluk agama dengan pedang”. Masih kata Qatadah: “Dan Orang Yahudi, Nasrani dan Majusi tidak dipaksa ketika mereka telah membayar jizyah”.[17]
            Dari berbagai riwayat yang telah dikemukakan Imam Suyuthi di atas, dapat ditangkap dengan jelas bahwa Imam Suyuthi, dengan gaya penafsirannya yang mendahulukan riwayat-riwayat yang ma’tsur, memilih penafsiran bahwa pada dasarnya memang tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam.
            Sedangkan pendapat Qatadah yang mengatakan: “Waktu itu orang-orang Arab tidak mempunyai agama, maka mereka dipaksa untuk memeluk agama dengan pedang”, merupakan pendapat yang bisa diterima. Orang tidak beragama itu bisa berbahaya, apalagi orang-orang Arab waktu itu masih berbudaya Jahiliyyah. Tanpa Agama hukum dan norma tidak akan berlaku ditengah-tengah masyarakat. Karena itu, orang Arab yang Jahili waktu itu dipaksa untuk memeluk Islam. Hal ini bukan untuk memangkas hak-hak asasi mereka, justru untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya Ilahi. Agar mereka keluar dari kejahiliahannya.
            Sedangkan untuk Orang Yahudi, Nasrani dan Majusi tidak dipaksa ketika mereka telah membayar jizyah, ungkapan ini harus dipahami jizyah dalam arti yang sebenarnya yang telah dijadikan undang-undang di negeri Islam di masa lalu.
            Jizyah waktu itu, bukan upeti yang bersifat kesewenang-wenangan. Tapi dalam konteks persamaan dalam penyelengaraaan Negara. Di mana umat Islam wajib membayar zakat, biaya perang dan kewajiban-kewajiban lain. Untuk mengimbangi ini, maka orang-orang Ahli Kitab yang berada di negeri Muslim diwajibkan membayar jizyah, yang konpensasinya ia mendapat jaminan keamanan, perlindungan dan hak-hak lain.[18]
D. Benarkah Orang Yahudi dan Nasrani Masuk Surga?
            Allah SWT berfirman:
إن الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى والصابئين من آمن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”[19]
            Bacalah dengan tenang ayat di atas dan renungkan terjemahannya. Setelah itu marilah kita ikuti penjelasan Imam Suyuthi terhadap pengertian ayat tersebut. Berbagai riwayat yang dituturkan oleh Imam Suyuthi menyebutkan, bahwa ayat ini turun untuk sahabat-sahabat Salman yang beragama Nasrani.
            Berikut ini riwayat yang diceritakan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, ia berkata: Salmaan Al-Faarisiy bertanya kepada Nabi SAW tentang orang-orang Nasrani itu, dan tentang apa yang ia lihat dari amal-amal mereka. Jawab Nabi SAW: “Mereka tidak mati dalam keadaan beragama Islam”. Kata Salmam ra: “Maka bumi terasa gelap bagiku dan aku teringat dengan kesungguhan mereka dalam beribadah”. Kemudian turun ayat “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin….”. Maka Nabi SAW mengundang Salman dan berkata kepadanya: “Ayat ini turun tentang masalah sahabat-sahabatmu itu”. Kemudian Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang mati dengan beragama yang dibawa Nabi Isa As, sebelum ia mendengar seruanku, maka orang itu dalam kebaikan, dan barangsiapa mendengar seruanku dan tidak beriman kepadaku, maka binasalah ia”.[20]
            Salmaan adalah sahabat yang dari kalangan Non Arab (Ajam). Nama belakangnya yang menggunakan Al-Farisi menunjukkan bahwa ia memang pendatang dari parsi, tepatnya dari kota Naisabur. Sahabat-sahabat Salman yang beragama Nasrani yang diceritakan Salman kepada Nabi di atas bisa jadi mereka adalah pengikut Nabi Isa yang belum mendengar dakwah Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, setelah Nabi Muhammad saw memberitahu Salman tentang turunnya ayat ini. Nabi perlu menjelaskan dengan sabdanya: “Barangsiapa yang mati dengan beragama yang dibawa Nabi Isa As, sebelum ia mendengar seruanku, maka orang itu dalam kebaikan. dan barangsiapa mendengar seruanku dan tidak beriman kepadaku, maka binasalah ia”.
            Setelah secara panjang lebar Imam Suyuthi menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat ini. Imam Suyuthi juga menyebutkan sebuat riwayat dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa ayat ini mansukh.
            Abu Dawud, Ibnu Jarir dan Ibnu Iabi Haatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin….”. Kata Ibnu Abbas: “ Ayat ini di-naskh dengan firman Allah yang turun kemudian:
ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”[21]
            Adapun yang dimaksud dengan “Ash-Shaabiuun” dalam ayat yang kita kaji di atas, Imam Suyuthi meriwayatkan banyak pendapat.
            Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Mujahid: “Ash-Shaabiuun itu bukan termasuk kalangan Yahudi dan bukan pula Nasrani, mereka adalah bagian dari kaum musyrik yang tidak mempunyai kitab.[22]
            Sementara dalam riwayat lain Mujahid mengatakan: “Ash-Shabiuun adalah kaum yang berada ditengah-tengah masyarakat Yahudi, Majusi dan Nasrani dan mereka tidak mempunyai kitab”.[23]
            Ibnu Abbas pernah ditanya tentang Ash-Shabiuun. Jawab Ibnu abbas: “Mereka adalah kaum yang berada di antara masyarakat Yahudi, Nasrani dan Majusi. Mereka ini tidak halal sembelihannya dan pernikahannya”.[24]
            Sementara Abu Al-‘Aaliyah berkata: “Mereka adalah firqah dari ahli kitab, mereka membaca ktab Zabuur.[25]
            Sedangkan menurut riwayat dari Wahb bin Munabbih: “Ash-Sabi’ ialah orang yang mengakui Allah Yang Maha Satu, tetapi ia tidak mempunyai syariah yang harus diamalkan dan mereka tidak mengucapkan sesuatu yang menimbulkan kekufuran”.[26]
            Hanya Allah Yang Maha Tahu pendapat manakah yang paling dekat dengan kehendak Allah. Dari berbagai riwayat yang dipaparkan Imam suyuthi di atas kita jadi semakin tahu bahwa Imam Suyuthi merupakan sosok yang teguh dengan tafsir bi al-ma’tsuusr dalam pikiran-pikiran tafsirnya. Sehingga dalam menafsirkan kata Ash-Shabiuun saja sekian banyak pendapat dipaparkan semua oleh Imam Suyuthi. Yang menarik, setelah memaparkan banyak riwayat yang saling berbeda satu sama lain, Imam Suyuthi tidak melakukan tarjih atau pilihan sama sekali. Imam Suyuthi hanya memaparkan beragam pendapat dari berbagai riwayat. Keputusan selanjutnya terserah pembaca. Mungkin begitu yang dikehendaki oleh Imam Suyuthi.

E. Penutup
            Demikianlah sekilas pandang tentang kisi-kisi tafsir Imam Suyuthi terhadap Al-Qur’an. Sebagaimana umumnya ulama Ahli Naqli/Hadits, Imam Suyuthi terkesan sangat hati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Membaca Tafsir Imam Suyuthi terhadap Al-Qur’an, kita seolah diajak berdialog dengan pendapat-pendapat masa silam, baik itu barasal dari Rasulullah saw, para sahabat, maupun generasi ulama yang masih dekat dengan Rasulullah saw.
            So, tafsir bi Al-Ma’tsur Imam Suyuthi dan tafsir bi al-ma’tsuur yang lain tidak bisa kita anggap remeh di jaman yang serba tidak menentu ini. Tanpa landasan atsar yang jelas, salah-salah kita jadi rancu dalam memahami Al-Qur’an.
Bukankah banyak orang yang bingung ketika memahami ayat ini 
إن الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى والصابئين من آمن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون

            Coba anda bayangkan kalau kita tidak tahu bahwa ayat ini mansukh, pasti kita bertanya-tanya, kenapa harus capek-capek syahadat kalau yang lain pun bisa masuk surga? Kenapa harus capek-capek shalat 5 waktu sehari, kalau ada yang seminggu sekali atau setahun sekali bisa masuk surga?
            Pendapat Imam Suyuthi :bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an kecuali ia mengetahui yang nasikh dan mansukh dari Al-Qur’an, mungkin sangat relevan kita kaji dengan serius di masa kini, di mana ketika semua orang merasa berhak menafsirkan Al-Quran.
            Hanya Allah Yang maha tahu.

           


DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Kariim

Al-Zarkasyi, Al-Burhaan fi Uluumi Al-Qur’an, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah)

As-suyuthi, Al-Itqaan fi uluumi Al-Qur’aan, (Beirut: Muassasah Al-kutub Ats-Tsaqaafiyyah, 1996)

As-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsuur, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1990) cet 1.



[1] Al-Zarkasyi, Al-Burhaan fi Uluumi Al-Qur’an, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah) vol 2 hlm 181
[2] As-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsuur, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1990) cet 1, Vol 1, hlm 11.

[3] As-suyuthi, Al-Itqaan fi uluumi Al-Qur’aan, (Beirut: Muassasah Al-kutub Ats-Tsaqaafiyyah, 1996) jlid 2 hal 56.
[4] ibid
[5] Al-Baqarah: 106
[6] As-Suyuthi, Al-Itqaan fi uluumi Al-Qur’aan, (Beirut: Muassasah Al-kutub Ats-Tsaqaafiyyah, 1996) jlid 2 hal 56.

[7] An-Najm: 3
[8] As-Suyuthi, Al-Itqaan fi uluumi Al-Qur’aan, (Beirut: Muassasah Al-kutub Ats-Tsaqaafiyyah, 1996) vol 2, hal 56.

[9] Al-Mujaadilah: 12
[10] Al-Mujaadilah: 13
[11] Al-Baqarah: 109
[12] At-Taubah: 29
[13]  Al-Baqarah: 256
[14] As-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsuur, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1990) cet 1, Vol 1, hlm 582
[15] Ibid,
[16] Ibid,
[17] Ibid,.
[18] Lebih lengkapnya, baca Yusuf Al-Qardlawi dalam Ghairu Al muslimiin fi Al-Mujtama’ Al-Islamiy
[19] Al-Baqarah: 62
[20] As-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsuur, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1990) cet 1, Vol 1, hlm 145

[21] Ali Imran: 85
[22] As-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsuur, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1990) cet 1, Vol 1, hlm 145
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid, hlm 146
[26] Ibid

Tidak ada komentar:

Entri Populer