Oleh Tsalis
Muttaqin
A. Pendahuluan
Pemegang otoritas Tafsir terhadap
Al-Qur’an yang pertama adalah Nabi Muhammad saw. Kedudukan hadits-hadits Nabi Muhammad
saw sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an telah diyakini oleh ulama umat ini
sejak masa-masa permulaan Islam. Namun dalam masa-masa selanjutnya penafsiran
Al-Qur’an mengalami banyak perkembangan. Hal ini disebabkan oleh watak Al-Qur’an
sendiri yang kandungannya mempunyai relevansi yang menembus ke segala batas ruang
dan waktu.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di
kalangan ulama telah terjadi beberapa methode. Sebagian ulama membagi tafsir
al-Qur’an menjadi 3 bagian:
1.
Penafsiran Al-Qur’an dengan
penalaran, yang dikenal dengan Al-tafsir bi Al-Ra’yi. Tafsir bi Ar-Ra’yi
ialah penafsiran yang menggunakan media ijtihad. Jika ijtihad telah sesuai
aturan-aturan yang ditetapkan dan jauh dari kebodohan dan kesesatan, maka
penafsiran menjadi tafsir yang terpuji dan jika tidak demikian, maka menjadi
tafsir yang tercela.
2.
Penafsiran Al-Qur’an dengan
isyarat-isyarat, yang dikenal dengan Al-tafsir Al-Isyaariy. Yaitu
mena’wilkan al-Qur’an kepada ma’na yang tidak sesuai dengan ma’na lahiriyahnya
karena ada isyarat yang tersembunyi yang diketahui oleh para ahli suluk
dan tasawwuf dan mungkin di
kompromikan antara makna tersebut dengan makna lahiriyahnya[1]
3.
Penafsiran Al-Qur’an dengan
riwayat-riwayat hadits maupun atsar, yang dikenal dengan Al-tafsir bi
Al-Ma’tsuur.[2]
Dalam makalah ini akan dikaji
beberapa pemikiran-pemikiran Imam Suyuthi yang merupakan representasi tafsir di
abad tengah.
Nama asli Imam Suyuthi ialah:
Abdurrahman, sedangkan As-Suyuthi merupakan nisbat dari kota Asyuth, kota tempat kelahirannya. Ia lahir pada tahun
849 H dan wafat pada tahun 911 H.
Imam Suyuthi dikenal sebagai pribadi
yang punya perhatian yang besar terhadap ilmu-ilmu hadits dalam berbagai
cabangnya, baik secara dirayah maupun riwayah. Ilmunya sangat
luas. Ia ahli dalam bidang tafsir, hadits, fiqih, nahwu, ma’aani, bayaan
dan badii’ (tiga ilmu terakhir ini merupakan bagian dari ilmu balaghah).
Karena perhatiannya terhadap hadits
sedemikan besarnya, maka tidak mengherankan jika dalam pikiran-pikirannya
terhadap Al-Qur’an, Imam Suyuthi sangat dekat dengan pemikiran tafsir bi Al-Ma’tsuur.
Hal ini terlihat jelas dalam kitab tafsirnya “Al-Durru Al-Mantsuur fi
Al-tafsiir Al-Ma’tsuur” dan kitab “Al-Itqaan” yang membahas tentang
Uluum Al-Qur’an.
B. Nasikh-Mansukh
dalam Al-Qur’an
Tentang nasikh dan mansukh, Imam
Suyuthi berpendapat dengan menyandarkan pada pernyataan ulama: bahwa seseorang
tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an kecuali ia mengetahui yang nasikh dan mansukh
dari Al-Qur’an.[3]
Menurut Imam Suyuthi, nasikh mansukh
merupakan hukum Allah yang dikhususkan untuk umat ini, karena di dalamnya
terdapat hikmah, yang di antaranya ialah mempermudah (al-taysir). Kaum
muslimin sepakat bahwa nasikh mansukh boleh terjadi pada sebagian ayat-ayat
Al-Qur’an.[4]
Sebagian ulama berpendapat bahwa
Al-Qur’an tidak boleh di-naskh kecuali dengan Al-Qur’an. Dasar pendapat
ini ialah firman Allah:
ما
ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن الله على كل شيء
قدير
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya”. [5]
Mereka berkata: “Tidak ada yang
sebanding dengan Al-Qur’an atau yang lebih baik darinya, kecuali Al-Qur’an”.[6]
Namun ada sebagian pendapat yang
mengatakan: “Bahwa Al-Qur’am boleh di-naskh dengan As-Sunnah, karena
sunnah pada dasarnya juga dari sisi Allah SWT. Firman Allah SWT:
وما ينطق عن الهوى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.”.[7]
Menurut Imam Suyuthi, naskh tidak
terjadi kecuali dalam ayat yang berupa perintah dan larangan, meskipun perintah
dan larangan itu berbentuk berita. Berita yang tidak mempunyai kandungan
tuntutan (thalab) tidak masuk dalam kategori naskh, di antaranya berita
yang berupa janji dan ancaman. Kata Imam Suyuthi: “Jika engkau tahu ini, maka
engkau tahu kerusakan perbuatan orang yang memasukkan dalam kategori naskh
ayat-ayat yang berupa berita, janji dan ancaman”.[8]
Macam-macam naskh menurut Imam
Suyuthi:
1.
Me-naskh sesuatu yang
diperintahkan, tetapi belum pernah dilaksanakan. Inilah naskh hakiki. Contohnya
ialah surat
Al-Mujaadilah:12
يا
أيها الذين آمنوا إذا ناجيتم الرسول فقدموا بين يدي نجواكم صدقة ذلك خير لكم وأطهر
فإن لم تجدوا فإن الله غفور رحيم
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih
bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.[9]
Ayat ini di-naskh oleh ayat sesudahnya yang berupa firman Allah:
أأشفقتم
أن تقدموا بين يدي نجواكم صدقات فإذ لم تفعلوا وتاب الله عليكم فأقيموا الصلاة
وآتوا الزكاة وأطيعوا الله ورسوله والله خبير بما تعملون
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan
sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya
dan Allah telah memberi tobat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”.[10]
2.
Menaskh sesuatu yang menjadi
syariat bagi umat yang sebelum kita, seperti menaskh menghadap baitul maqdis
waktu shalat ke ka’bah.
3.
Menaskh sesuatu yang diperintahkan
karena ada sebab yang kemudian sebab itu telah hilang, seperti perintah agar
kaum muslimin tetap bersabar dan memaafkan ketika masih lemah dan jumlahnya
sedikit yang terkandung dalam firman Allah:
ود
كثير من أهل الكتاب لو يردونكم من بعد إيمانكم كفارا حسدا من عند أنفسهم من بعد ما
تبين لهم الحق فاعفوا واصفحوا حتى يأتي الله بأمره إن الله على كل شيء قدير
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang
(timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka
maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[11]
Ayat ini dinaskh dengan kewajiban perang dalam firman Allah:
قاتلوا
الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر ولا يحرمون ما حرم الله ورسوله ولا يدينون
دين الحق من الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.[12]
C. Pandangan
Imam Suyuthi Tentang Kebebasan Beragama
Pandangan Imam Suyuthi mengenai
kebebasan beragama ini setidak-tidaknya dapat kita lacak dari tafsir beliau
atas firman Allah SWT:
لا
إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك
بالعروة الوثقى لا انفصام لها والله سميع عليم
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.[13]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam
Suyuthi menyitir beberapa riwayat yang nadanya hampir sama, meskipun dengan
asbab An-Nuzul yang berbeda. Dan di antara riwayat tersebut ada juga yang
beranggapan bahwa ayat ini mansukh.
Demikianlah, kita kutip beberapa
riwayat tersebut.
Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir meriwayatkan
dari Asy-Sya’biy, ia berkata: “Ada
seorang perempuan dari kalangan Anshar waktu itu yang sedikit air susunya,
tidak ada satupun anaknya yang hidup. Maka ia bernadzar, jika anaknya hidup,
maka akan dijadikannya anak itu bersama-sama dengan Ahli Kitab dalam agama
mereka. Kemudian datang agama Islam dan pemuda-pemuda Anshar telah memeluk
agama Ahli Kitab. Maka kata para sahabat Anshar: Sesungguhnya kami telah
menjadikan anak-anak itu memeluk agama mereka. Dan kami melihat agama mereka
lebih utama dari pada agama kami (sebelum memeluk Islam). Dan kini Allah telah
mendatangkan kepada kita agama Islam, maka sebaiknya kita paksa saja anak-anak
itu untuk masuk Islam, maka turunlah ayat: “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam)”.[14]
Namun Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir,
mempunyai riwayat dari Ibnu Abbas tentang pendapat beliau dalam ayat ini. Kata
Ibnu Abbas: Ayat ini turun pada saat ada seorang lelaki Anshar dari kalangan
Bani Salim bin Auf. Laki-laki tersebut bernama Hashiin. Ia mempunyai dua anak yang
kedua-duanya beragama Nasrani, sedangkan dia sendiri telah memeluk Islam. Maka
Hashiin berkata kepada Nabi Muhammad SAW: “Apakah sebaiknya tidak aku paksa
saja mereka berdua, karena mereka telah enggan, kecuali memeluk agama Nasrani?”.
Terkait dengan peristiwa ini, maka Allah menurunkan ayat “Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam)”.[15]
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat”: “Demikian itu ketika orang-orang (Arab) telah masuk
Islam dan Ahli Kitab telah membayar Jizyah.[16]
Sementara itu, dalam kaitannya
dengan ayat ini, Qatadah mengatakan: “Waktu itu orang-orang Arab tidak
mempunyai agama, maka mereka dipaksa untuk memeluk agama dengan pedang”. Masih
kata Qatadah: “Dan Orang Yahudi, Nasrani dan Majusi tidak dipaksa ketika mereka
telah membayar jizyah”.[17]
Dari berbagai riwayat yang telah
dikemukakan Imam Suyuthi di atas, dapat ditangkap dengan jelas bahwa Imam
Suyuthi, dengan gaya penafsirannya yang mendahulukan riwayat-riwayat yang
ma’tsur, memilih penafsiran bahwa pada dasarnya memang tidak ada paksaan dalam
memeluk agama Islam.
Sedangkan pendapat Qatadah yang mengatakan:
“Waktu itu orang-orang Arab tidak mempunyai agama, maka mereka dipaksa untuk
memeluk agama dengan pedang”, merupakan pendapat yang bisa diterima. Orang
tidak beragama itu bisa berbahaya, apalagi orang-orang Arab waktu itu masih
berbudaya Jahiliyyah. Tanpa Agama hukum dan norma tidak akan berlaku
ditengah-tengah masyarakat. Karena itu, orang Arab yang Jahili waktu itu
dipaksa untuk memeluk Islam. Hal ini bukan untuk memangkas hak-hak asasi
mereka, justru untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya Ilahi.
Agar mereka keluar dari kejahiliahannya.
Sedangkan untuk Orang Yahudi,
Nasrani dan Majusi tidak dipaksa ketika mereka telah membayar jizyah,
ungkapan ini harus dipahami jizyah dalam arti yang sebenarnya yang telah
dijadikan undang-undang di negeri Islam di masa lalu.
Jizyah waktu itu, bukan upeti yang
bersifat kesewenang-wenangan. Tapi dalam konteks persamaan dalam
penyelengaraaan Negara. Di mana umat Islam wajib membayar zakat, biaya perang
dan kewajiban-kewajiban lain. Untuk mengimbangi ini, maka orang-orang Ahli
Kitab yang berada di negeri Muslim diwajibkan membayar jizyah, yang
konpensasinya ia mendapat jaminan keamanan, perlindungan dan hak-hak lain.[18]
D. Benarkah
Orang Yahudi dan Nasrani Masuk Surga?
Allah SWT berfirman:
إن
الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى والصابئين من آمن بالله واليوم الآخر وعمل
صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima
pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.”[19]
Bacalah dengan tenang ayat di atas
dan renungkan terjemahannya. Setelah itu marilah kita ikuti penjelasan Imam
Suyuthi terhadap pengertian ayat tersebut. Berbagai riwayat yang dituturkan
oleh Imam Suyuthi menyebutkan, bahwa ayat ini turun untuk sahabat-sahabat
Salman yang beragama Nasrani.
Berikut ini riwayat yang diceritakan
oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, ia berkata: Salmaan Al-Faarisiy bertanya kepada
Nabi SAW tentang orang-orang Nasrani itu, dan tentang apa yang ia lihat dari
amal-amal mereka. Jawab Nabi SAW: “Mereka tidak mati dalam keadaan beragama Islam”.
Kata Salmam ra: “Maka bumi terasa gelap bagiku dan aku teringat dengan
kesungguhan mereka dalam beribadah”. Kemudian turun ayat “Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin….”. Maka Nabi SAW mengundang Salman dan berkata kepadanya: “Ayat ini
turun tentang masalah sahabat-sahabatmu itu”. Kemudian Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa yang mati dengan beragama yang dibawa Nabi Isa As, sebelum ia
mendengar seruanku, maka orang itu dalam kebaikan, dan barangsiapa mendengar
seruanku dan tidak beriman kepadaku, maka binasalah ia”.[20]
Salmaan adalah sahabat yang dari
kalangan Non Arab (Ajam). Nama belakangnya yang menggunakan Al-Farisi
menunjukkan bahwa ia memang pendatang dari parsi, tepatnya dari kota Naisabur.
Sahabat-sahabat Salman yang beragama Nasrani yang diceritakan Salman kepada
Nabi di atas bisa jadi mereka adalah pengikut Nabi Isa yang belum mendengar
dakwah Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, setelah Nabi Muhammad saw
memberitahu Salman tentang turunnya ayat ini. Nabi perlu menjelaskan dengan
sabdanya: “Barangsiapa yang mati dengan beragama yang dibawa Nabi Isa As,
sebelum ia mendengar seruanku, maka orang itu dalam kebaikan. dan barangsiapa
mendengar seruanku dan tidak beriman kepadaku, maka binasalah ia”.
Setelah secara panjang lebar Imam
Suyuthi menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat ini. Imam Suyuthi juga
menyebutkan sebuat riwayat dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa ayat ini
mansukh.
Abu Dawud, Ibnu Jarir dan Ibnu Iabi
Haatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: “Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin….”. Kata Ibnu Abbas: “ Ayat ini di-naskh dengan firman Allah yang turun
kemudian:
ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل
منه وهو في الآخرة من الخاسرين
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.”[21]
Adapun yang dimaksud dengan “Ash-Shaabiuun”
dalam ayat yang kita kaji di atas, Imam Suyuthi meriwayatkan banyak
pendapat.
Ibnu Mundzir meriwayatkan dari
Mujahid: “Ash-Shaabiuun itu bukan termasuk kalangan Yahudi dan bukan
pula Nasrani, mereka adalah bagian dari kaum musyrik yang tidak mempunyai
kitab.[22]
Sementara dalam riwayat lain Mujahid
mengatakan: “Ash-Shabiuun adalah kaum yang berada ditengah-tengah masyarakat
Yahudi, Majusi dan Nasrani dan mereka tidak mempunyai kitab”.[23]
Ibnu Abbas pernah ditanya tentang
Ash-Shabiuun. Jawab Ibnu abbas: “Mereka adalah kaum yang berada di antara
masyarakat Yahudi, Nasrani dan Majusi. Mereka ini tidak halal sembelihannya dan
pernikahannya”.[24]
Sementara Abu Al-‘Aaliyah berkata:
“Mereka adalah firqah dari ahli kitab, mereka membaca ktab Zabuur.[25]
Sedangkan menurut riwayat dari Wahb
bin Munabbih: “Ash-Sabi’ ialah orang yang mengakui Allah Yang Maha Satu, tetapi
ia tidak mempunyai syariah yang harus diamalkan dan mereka tidak mengucapkan
sesuatu yang menimbulkan kekufuran”.[26]
Hanya Allah Yang Maha Tahu pendapat
manakah yang paling dekat dengan kehendak Allah. Dari berbagai riwayat yang
dipaparkan Imam suyuthi di atas kita jadi semakin tahu bahwa Imam Suyuthi
merupakan sosok yang teguh dengan tafsir bi al-ma’tsuusr dalam pikiran-pikiran
tafsirnya. Sehingga dalam menafsirkan kata Ash-Shabiuun saja sekian banyak
pendapat dipaparkan semua oleh Imam Suyuthi. Yang menarik, setelah memaparkan
banyak riwayat yang saling berbeda satu sama lain, Imam Suyuthi tidak melakukan
tarjih atau pilihan sama sekali. Imam Suyuthi hanya memaparkan beragam pendapat
dari berbagai riwayat. Keputusan selanjutnya terserah pembaca. Mungkin begitu
yang dikehendaki oleh Imam Suyuthi.
E. Penutup
Demikianlah sekilas pandang
tentang kisi-kisi tafsir Imam Suyuthi terhadap Al-Qur’an. Sebagaimana umumnya
ulama Ahli Naqli/Hadits, Imam Suyuthi terkesan sangat hati-hati dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Membaca Tafsir Imam Suyuthi terhadap
Al-Qur’an, kita seolah diajak berdialog dengan pendapat-pendapat masa silam,
baik itu barasal dari Rasulullah saw, para sahabat, maupun generasi ulama yang
masih dekat dengan Rasulullah saw.
So, tafsir bi Al-Ma’tsur Imam
Suyuthi dan tafsir bi al-ma’tsuur yang lain tidak bisa kita anggap remeh di
jaman yang serba tidak menentu ini. Tanpa landasan atsar yang jelas,
salah-salah kita jadi rancu dalam memahami Al-Qur’an.
Bukankah banyak
orang yang bingung ketika memahami ayat ini
إن
الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى والصابئين من آمن بالله واليوم الآخر وعمل
صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
Coba anda bayangkan kalau kita tidak
tahu bahwa ayat ini mansukh, pasti kita bertanya-tanya, kenapa harus
capek-capek syahadat kalau yang lain pun bisa masuk surga? Kenapa harus
capek-capek shalat 5 waktu sehari, kalau ada yang seminggu sekali atau setahun
sekali bisa masuk surga?
Pendapat Imam Suyuthi :bahwa
seseorang tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an kecuali ia mengetahui yang nasikh
dan mansukh dari Al-Qur’an, mungkin sangat relevan kita kaji dengan serius
di masa kini, di mana ketika semua orang merasa berhak menafsirkan Al-Quran.
Hanya Allah Yang maha tahu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Kariim
Al-Zarkasyi, Al-Burhaan fi Uluumi Al-Qur’an, (Beirut : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah)
As-suyuthi, Al-Itqaan fi uluumi Al-Qur’aan, (Beirut: Muassasah
Al-kutub Ats-Tsaqaafiyyah, 1996)
As-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsuur, (Beirut: Daar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 1990) cet 1.
[1]
Al-Zarkasyi, Al-Burhaan fi Uluumi Al-Qur’an, (Beirut : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah) vol 2 hlm
181
[2]
As-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsuur, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
1990) cet 1, Vol 1, hlm 11.
[3]
As-suyuthi, Al-Itqaan fi uluumi Al-Qur’aan, (Beirut: Muassasah Al-kutub
Ats-Tsaqaafiyyah, 1996) jlid 2 hal 56.
[4] ibid
[5]
Al-Baqarah: 106
[6]
As-Suyuthi, Al-Itqaan fi uluumi Al-Qur’aan, (Beirut: Muassasah Al-kutub
Ats-Tsaqaafiyyah, 1996) jlid 2 hal 56.
[7] An-Najm:
3
[8]
As-Suyuthi, Al-Itqaan fi uluumi Al-Qur’aan, (Beirut: Muassasah Al-kutub
Ats-Tsaqaafiyyah, 1996) vol 2, hal 56.
[9]
Al-Mujaadilah: 12
[10]
Al-Mujaadilah: 13
[11]
Al-Baqarah: 109
[12]
At-Taubah: 29
[13] Al-Baqarah: 256
[14] As-Suyuthi,
Ad-Durr Al-Mantsuur, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1990) cet 1, Vol
1, hlm 582
[15] Ibid,
[16] Ibid,
[17] Ibid,.
[18] Lebih
lengkapnya, baca Yusuf Al-Qardlawi dalam Ghairu Al muslimiin fi Al-Mujtama’
Al-Islamiy
[19]
Al-Baqarah: 62
[20]
As-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsuur, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
1990) cet 1, Vol 1, hlm 145
[21] Ali
Imran: 85
[22]
As-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsuur, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
1990) cet 1, Vol 1, hlm 145
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid,
hlm 146
[26] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar