Sabtu, Desember 22, 2012

Oh Tuhan, Tak Bisakah Dua Anak Manusia Ini Bersatu?

Oleh: Tsalis Muttaqin

Langit di timur mulai benderang ketika aku melangkah ke luar. Belum seorang pun di Dukuh Paruk yang sudah kelihatan. Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus, sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan. Tanah airku yang kecil itu tidak lagi kubenci meskipun dulu aku telah bersumpah tidak akan memaafkannya karena dia pernah merenggut Srintil dari tanganku. Bahkan lebih dari itu. Aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberi sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk: ronggeng!
(Ronggeng Dukuh Paruk – Ahmad Tohari)
Oh, Rasus tak sadarkah dirimu Srintil menantimu seumur hidupnya?
Oh, Rasus tak bisakah kaubuang dulu egomu sejenak demi dirinya?
Oh, Rasus tak bisakah kaulupakan bahwa kau pun anak Dukuh Paruk?
Oh, Rasus….

Hmmmm...
Bacanya bikin hati tersayat-sayat (ceilleeh). Apalagi di halaman 348. Ketika Rasus dan Srintil bertemu kembali.

Kebekuan. Tangisan tertahan. Cinta yang menggebu-gebu. Harapan. Namun mereka tidak juga bersatu.
(suuuittt... suuiitt)

Di situ, Saya sempat membayangkan bagaimana rasanya ketemu orang yang kita cintai sejak dulu, namun tidak pernah bisa kita miliki. Entah karena alasan apa. Yah bayangin saja. Saling mencintai, tetapi yang satu menulak untuk bersatu. Dan sudah lama berpisah, kemudian bertemu kembali. Aihhhh pasti rasanya sakit banget. Bercampur aduk gitu antara rindu, lega, dan perasaan pengen memiliki tapi gak bisa-bisa.
(Ahay... mulai sakit hati).

Nasib Srintil sebagai Ronggeng kebanggaan Dukuh Paruk membawanya ke sebuah takdir yang mengharuskannya menjadi sosok duta perempuan. Yang cantik dan memesona seluruh pria. Melayani para pria dalam petualangan berahinya. Membuat iri semua wanita yang menoleh ke arahnya.

Namun nasibnya menjadi seorang Ronggeng juga membawanya pada sebuah takdir yang menghancurkan Dukuh Paruk. Di tengah-tengah perubahan politik tahun 1960-an, Dukuh Paruk yang primitif, melarat, bodoh, dan miskin ini juga tidak luput dari hal tersebut. Karena kepolosannya, Dukuh Paruk tidak sengaja melakukan pelayanan jasa kepada para komunis (PKI). Hal tersebut mengakibatkan Dukuh Paruk dibakar, Srintil dipenjara.

Endingnya…. Duh bikin jedug jedug kepala….

Oh, Srintil tak bisakah kau menunggu sedetik lagi?
Rasus pasti datang membayar cintanya padamu. (Haddeeh...)

Mengapa oh mengapa dua insan ini tak kunjung bernasib baik?

(Trilogi Novel Ahmad Tohari; Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala)

Tahun 1995 saya membaca Trilogi ini. Tuntas. Dan saya sangat terkesan dan terpesona dengan gaya dongengan Ahmad Tohari yang menggiring pembacanya untuk masuk ke dalam persoalan sebuah desa yang sangat tertinggal "DUKUH PARUK"

Tidak ada komentar:

Entri Populer