Senin, September 17, 2012

Peran Pendidikan Islam Di Tengah Sinkretisme Agama


Oleh: Tsalis Muttaqin
Keberhasilan Islam menembus dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, serta menjadikan dirinya sebagai suatu agama mayoritas bangsa ini merupakan prestasi yang menakjubkan. Hal ini mengingat, bahwa secara geografis jarak antara Indonesia dan Jazirah Arab sebagai tempat kelahiran Islam cukup jauh. Apalagi jika diperhatikan bahwa sejak proses penyebaran Islam di kepulauan nusantara yang waktu itu dikuasai kerajaan Hindu-Budha,  belum dapat ditemukan suatu organisani dakwah yang boleh dikatakan mapan dalam merencanakan proyek besar ini, yakni memperkenalkan Islam kepada masyarakan luas.
            Proses tersebarnya Islam kala itu semata-mata mengandalkan kemampuan dan ketekunan tenaga da’i pedagang atau guru sufi. Karena itu dapat dipahami jika proses penyebaran Islam di Indonesia membutuhkan proses cukup panjang, rumit dan waktu berabad-abad.
            Dalam kasus masyarakat Jawa, penyebaran Islam tidak bisa dilepaskan dari peran Walisongo, yaitu suatu gerakan dakwah Islam yang beranggotakan sembilan orang saleh. Jika ada seorang anggota Walisongo meninggal dunia, atau kembali ke negeri seberang, maka akan diganti dengan anggota baru. Songo atau sembilan adalah angka paling tinggi, gerakan  dakwah ini sengaja dinamakan Walisongo untuk menarik simpati masyarakat yang waktu itu masih belum terdidik dengan baik, dan juga belum mengerti hakikat agama Islam (Rahimsyah, 1998: 5).
            Pergantian ini terjadi seperti ketika Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik yang merupakan sesepuh Walisongo meninggal dunia, sehingga wali tertua waktu itu pindah ke Sunan Ampel. Sebagai pengganti Sunan Gresik, Raden Patah atau Sunan Kota Praja Demak Bintoro direkrut ke dalam anggota Walisongo (Rahimsyah, 1998: 5).
            Demikian juga setelah Syekh Siti Jenar dihukum mati. Sunan Kalijogo diutus dewan wali untuk mengajak Ki Pandhanaran (Sunan Bayat) menjadi anggota dewan wali menggantikan posisi Syekh Siti Jenar (Rahimsyah, 1998: 57). Akan tetapi harus dicatat pula di sini, bahwa status keanggotaan Sunan Bayat sebagai kelompok Walisongo masih menjadi kontroversi sejarah.
            Dalam perkembangan Islam di Jawa, Walisongo memainkan peran cukup dominan. Mereka diterima secara luas dalam masyarakat Jawa karena pandai menggunakan daya lentur ajaran Islam dengan tetap meneguhkan tradisi-tradisi setempat, terutama ajaran mistikisme yang berasal dari ajaran Hindu, yang memang mempunyai banyak persamaan dengan ajaran mistikisme Islam (Fachry Ali, 1992: 35). Tragisnya, watak inilah yang justru menjadi faktor dominan bagi penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
Sebagai indikasi diterimanya kehadiran Walisongo dalam kehidupan keagamaan masyarakat Jawa adalah adanya pengaruh mereka yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat. Pengaruh itu tidak saja terungkap dalam bidang keagamaan, tetapi juga mencakup bidang lain, seperti ekonomi dan kekuasaan. Hal ini terbukti dengan masuknya beberapa kesultanan Jawa ke dalam agama Islam, seperti: Pajang, Mataram, Cirebon dan lain sebagainya.

            Sinkretisme Islam dalam masyarakat Jawa
            Proses penyebaran Islam di Jawa dalam perkembangannya ternyata banyak terjadi suatu proses sinkretisme cukup tajam antara Islam dan ajaran-ajaran Hindu, serta tradisi-tradisi setempat. Hal ini terjadi karena waktu Islam masuk ke tanah Jawa, pengaruh-pengaruh Hindu-Budha masih kuat di pegang teguh mayarakat. Sikap masyarakat Jawa ini bisa dipahami, karena pengaruh-pengaruh kejayaan Majapahit masih kuat di alam pikiran masyarakat, serta kenyataan bahwa  secara geografis, Indonesia terletak sangat jauh dari daerah asal Islam. Karena itu, sulit terbayangkan bahwa dari jarak yang sedemikian jauh, kemurnian Islam masih dapat dipertahankan hingga sampai ke Indonesia. Selain itu ada realitas historis bahwa Islam hadir di Indonesia tidak dibawa langsung oleh pemeluk Islam asal Jazirah Arab, melainkan melalui pedagang dari Persia dan India, semakin menunjukkan adanya sinkretisme Islam sejak pertama kali hadir di Indonesia (Fachry Ali, 1992: 37).
            Sampai saat ini Islam sinkretis masih berkembang pesat di Jawa dan menjadi problem sangat rumit. Islam telah menjadi agama yang dianut dengan kuat masyarakat Jawa di satu sisi, namun di sisi lain kepercayaan-kepercayaan tradisional juga masih membayangi perilaku masyarakat sehari-hari. Ironisnya, masyarakat Jawa sendiri yang pada umumnya sudah memeluk Islam, tidak begitu menyadari bahwa kepercayaan-kepercayaan tradisional ini seringkali mengganggu eksistensi keimanan dan pemahaman mereka terhadap syari’at-syari’at Islam yang fundamental. Hal ini terjadi, diantaranya, karena data-data sejarah tentang Jawa seringkali di campuradukkan dengan legenda dan mitologi yang berkembang.
            Lihat saja soal kepercayaan tentang adanya ratu pantai selatan, yang dengan penuh takzim dipanggil dengan Nyai Roro Kidul Atau Ratu Kidul. Pantai Parang Kusumo diyakini konon tempat pertemuan legendaris antara Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam pertama) dengan Ratu kidul. Di sekitar Pantai Parangtritis dan Parangkusumo sampai dewasa ini masih dijumpai praktik-praktik masyarakat Jawa yang melakukan wisata bukan dalam arti rekreasi, tetapi untuk mengharapkan memperoleh titah dhawuh. Biasanya, lewat seorang perantara, beberapa wisatawan ini berharap  menerima berbagai berkah untuk dirinya dan keluarganya. Perjalanan tersebut mereka anggap sebagai  suatu pengalaman mistis, yang mungkin hanya sekali seumur hidup, untuk mendapatkan pertanda dari laut. Berupa suatu titah dhawuh dari Ratu Kidul, satu kenaikan puncak dalam status spiritual (John Pemberton, 2003: 406). Ratu Kidul dipercaya bisa dipanggil, seakan-akan dia terkubur, dibingkai dalam struktur pemujaan yang tidak lagi mampu mengakui potensi sarana-sarana kekuatan lain.
Legenda kekuatan dan keperkasaan Ratu Kidul ini sampai sekarang masih luas diperbincangkan di hampir semua lapisan masyarakat Jawa di berbagai kalangan, termasuk di antaranya kalangan masyarakat Islam santri, atau yang telah terdidik ajaran Islam secara teratur. Bahkan cerita-cerita yang berlebihan seperti hasil bidikan kamera yang diambil di Parangtritis, setelah dicetak ternyata gambar yang muncul berubah dari obyek pemotretan menjadi penampakan wujud Ratu Kidul, masih beredar secara luas di dalam masyarakat Jawa. Setidak-tidaknya hujan turun di tengah terik sinar matahari (udan wewe) diyakini masyarakat sekitar Yogyakarta dan Surakarta sebagai pertanda Ratu Kidul sedang melakukan kirab atau pawai. 
            Lain lagi di Surakarta. Pada malam satu Sura, tahun baru kalender Jawa temuan Aji Saka (kebetulan pula tahun baru Hijriah), Keraton memperingati datangnya tahun baru Jawa dengan kirab pusaka tahunan. Sebuah upacara yang keramat. Pusaka-pusaka simpanan keraton yang paling keramat, berupa keris dan tombak diarak. Menurut perhitungan kalender Jawa, malam ini adalah malam paling sakral sepanjang tahun. Tepat pada tengah malam, pintu-pintu keraton dibuka dan keluarlah barisan panjang terdiri dari payung-payung upacara, pelita-pelita minyak yang kuno, sesaji-sesaji bunga dan kepulan asap dupa. Kemudian para abdi dalem mengiringi anggota-anggota keluarga kerajaan yang ditugasi membawa senjata-senjata pusaka. Yang berjalan pelan-pelan di muka barisan adalah Kiai Slamet, kerbau putih (kebo bule) keraton yang dikeramatkan.
            Sepanjang perjalanan kerumunan penonton dengan diam menunggu arak-arakan lewat. Sebagian penonton melakukan gerakan penghormatan ketika pusaka-pusaka tersebut lewat. Para perempuan tua di antara kerumunan tersebut berusaha meraup berkah dengan menciduk kotoran (tahi) Kiai Slamet, karena kotoran kerbau tersebut dipercaya memiliki kekuatan yang bisa menyembuhkan penyakit, memberi kesuburan pada tanaman dan penglaris barang dagangan.
وَلاَ تَسُبُّ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْا اللهَ عَدْوُا بِغَيْرِ عِلْمٍ , كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ  ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, sehingga mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” (Surat al-An’aam: 108)
Tidak. Mereka tidak menyembah kebo. Mereka kaum muslimin, menyembah Allah juga, hanya mereka ingin “yang lebih jelas”, yang mudah “dipegang”. Dan Kiai Slamet gampang dipegang-pegang. 
Cerita-cerita seputar kesaktian Kiai Slamet serta pusaka-pusaka keraton tersebut beredar luas di Surakarta. Sebenarnya upacara ini baru muncul tahun 1971 dan diselenggarakan oleh para sesepuh keraton atas usul dari Soedjono Humardhani, pada waktu itu ia menjabat sebagai Inspektur Jenderal Pembangunan dan merupakan kawan dekat keluarga Presiden Soeharto (John Pemberton, 2003: 221). Kirab Pusaka berkembang menjadi ramai sejak itu. Tetapi ketika ditanyakan kepada penduduk setempat tentang asal muasal Kirab Pusaka ini, jawabannya, bahwa arak-arakan ini telah berlangsung “sejak zaman kuno”.
            Lebih jauh lagi, ke desa-desa. Kepercayaan dan keyakinan yang aneh-aneh dan rumit banyak dijumpai di hampir seluruh desa di Jawa. Terutama yang penulis ketahui di Jawa tengah. Bahkan di beberapa desa pesisir utara yang notabene dianggap basis Islam santri, kepercayaan ini masih saja dianut penduduknya. Di desa-desa masih banyak kita jumpai acara sedekah bumi (atau sedekah laut bagi yang wilayahnya di pinggiran pantai). Meskipun praktik-praktik semacam ini sudah terpinggirkan, namun pengaruh eksistensinya masih sangat terasa.
            Sedekah bumi adalah bentuk upacara yang dipersembahkan kepada dhanyang sebagai penjaga (sing mbau rekso) desa. Upacara ini biasanya berbentuk kirim sesaji atau menyelenggarakan slametan di dekat tempat-tempat angker dan menyeramkan yang ada di desa tersebut. Umumnya berbentuk sumur tua, pohon besar dan tanah pekuburan. Masyarakat desa setempat mempercayai bahwa tempat-tempat tersebut dihuni oleh dhanyang (biasanya dipanggil dengan sebutan yang sangat familiar sebagai mbah (kakek/nenek). Dhanyang dalam presepsi masyarakat Jawa adalah berbentuk roh halus yang mengisyaratkan kebaikan. Di desa satu dan di desa lain, cerita tentang penampakan dhanyang sangat beragam, ada yang berupa macan putih, kuda, nenek-nenek tua bongkok, kakek-kakek atau yang lainnya. Jika dhanyang ini melakukan penampakan, maka diyakini sebagai firasat akan terjadi sesuatu di desa setempat. Dhanyang ini merupakan kebalikan dari hantu-hantu jahat yang mengerikan dan menyengsarakan manusia. Karena dhanyang ini merupakan roh halus, maka tiap tahun harus diberi persembahan, agar desa setempat, dan bahkan “Negara Indonesia”, selalu mendapat perlindungan dan rasa aman.
            Selain cerita-cerita di atas, masih banyak lagi mitos-mitos yang berkembang di dalam masyarakat Jawa. Meskipun terjadi absurditas, irasional dan alasan yang terkesan mengada-ada, sejauh ini mitos-mitos tersebut masih berkembang. Misalnya saja di seputar perkawinan, masyarakat  Jawa  (terutama daerah-daerah yang masih dibawah pengaruh kerajaan) menganggap pantangan menyelenggarakan resepsi perkawinan di bulan Asyuraa’ atau Suro, karena bulan ini diyakini sebagai bulan bala’.
Anak laki-laki pertama tidak boleh  nikah dengan anak perempuan nomer tiga, atau sebaliknya. Yang lahir pada pasaran Wage tidak boleh nikah dengan yang lahir pada pasaran Pahing. Selain yang disebutkan, masih banyak lagi mitos-mitos Jawa yang rumit dan berbelit-belit, sehingga justru menyulitkan hidup masyarakat Jawa secara umum.
            Tradisi-tradisi di atas, sebagian memang sudah mulai pudar dalam kepercayaan masyarakat, namun masih banyak pula yang masih tertanam kuat dalam diri mereka.
            Situasi sinkretisme Islam dalam masyarakat Jawa yang kurang menggembirakan ini, niscaya membutuhkan suatu transformasi kongkrit ke arah penyempurnaan Iman dan Islam.  Masyarakat harus di antarkan kepada iman yang mampu melepaskan dari “tirani tradisi”, sehingga pemahaman kepada Islam menjadi sempurna, sebagaimana digariskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Karena larangan mencampur antara yang hak dan yang bathil, terutama dalam hal akidah, merupakan ajaran yang fundamental dalam Islam.
Firman Allah dalam Surat Az-Zumar:
إِنَّا أنْزَلْنَآ إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ .
أَلاَ ِللهِ الِّيْنُ الْخَالِصُ , وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللهِ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُنَّا زُلْفَى , إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِىْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ,  إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِىْ مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
            “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya.
            Ingatlah ! Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.  Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang sesuatu yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memeberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” (Surat Az-Zumar: 2, 3).   
Memang upaya ini memerlukan kerja keras dan kesabaran. Bagaimanapun perasaan orang Jawa yang dikenal halus dan banyak unggah-ungguh harus diperhitungkan, jika tidak ingin justru mereka bersikap antipati terhadap Islam sebagai agamanya.
            Dan di antara langkah-langkah yang telah lama diyakini paling efektif untuk melakukan perubahan menuju penyempurnaan ajaran Islam oleh kalangan intelektual, adalah dengan meletakkan pendidikan sebagai proses dalam pembaharuan kebudayaan (Abdurrahman wahid, 1984:7). Pendidikan harus ditempatkan sebagai wahana terpenting untuk mencapai kemerdekaan manusia dari mitos-mitos yang tidak beralasan dan melepaskan menusia dari belenggu “tradisi” yang menyesatkan. Dalam kaitannya dengan tarbiyyah islamiyyah, maka pendidikan harus mampu mengarahkan pemeluk Islam untuk melepaskan diri dari kepercayaan-keperacayan dan mitos yang dapat mengganggu keimanan dan pengabdiannya kepada Allah.
Dalam makalah ini penulis sengaja memakai istilah tarbiyah islamiyyah, bukan pendidikan Islam. Menurut presepsi penulis, tarbiyah mempunyai dimensi yang sangat luas dari sekedar pendidikan, meskipun secara harfiyah tarbiyah dapat diterjemahkan dengan pendidikan. Akan tetapi, kita sudah terlalu lama terjebak dengan term pendidikan yang terlalu formalistik.
            Presepsi penulis ini didasarkan bahwa kata tarbiyyah berakar dari kata Ar-Rabb, yang dapat berarti memperbaiki, mengurusi, mengatur, menjaga dan memperhatikan. Kata Ar-Rab ketika ditujukan kepada Allah “Rabbul-‘aalamiin”, artinya adalah Tuhan segala alam, raja dan pemiliknya, Tuhan yang ditaati dan Tuhan yang memberbaiki alam (Tim BPA UNS, 2003: 137).
Menurut DR. Ali Abdul Halim Mahmud, tarbiyah juga memiliki pengertian, “Cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung (dengan kata-kata) ataupun secara tidak langsung (dengan keteladanan), untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebuh baik” (Tim BPA UNS, 2003: 137).
Sementara para ahli pendidikan Islam menyatakan bahwa tarbiyah islamiyyah adalah proses menyadarkan manusia agar dapat mewujudkan penghambaan diri kepada Allah swt, baik secara mandiri maupun kolektif.
Jadi tarbiyah islamiyah merupakan proses penyiapan menumbuhkan dan membentuk manusia yang saleh dalam setiap aspeknya (jasmani, ruhani dan akal), sehingga tercipta suatu keseimbangan dalam potensi, tujuan , ucapan dan tindakannya dengan tanpa menghilangkan setiap potensi yang dimiliki manusia, karena hakekat tarbiyah islamiyah adalah kesatuan antara ilmu, iman dan amal.
Dalam rangka menyiapkan masyarakat Jawa untuk menuju kepada hakikat iman dan pemurnian ajaran Islam, maka proyek tarbiyah islamiyah harus mengacu kepada cara-cara yang diajarkan Al-Qur’an dan keteladanan Nabi Muhammad saw dalam melakukan perubahan di Tanah Arab, dari masyarakat yang percaya terhadap mitos berhala-berhala menuju masyarakat yang penuh dengan kemurnian iman dan Islam.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak berdzikir kepada Allah”. (Surat Al-Ahzab: 21)

 Pertama-tama yang harus menjadi bidang garapan tarbiyahi islamiyah adalah meluruskan pengertian iman kepada Allah. Iman yang dibelakangnya tidak ada kesesatan dan kebatilan. Iman bahwa Allah Maha Agung, tiada tuhan selain Dia. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dari Allah swt. Di dunia ini semuanya tunduk kepada Allah.
Allah telah memberi kehormatan yang sedemikian besarnya kepada manusia, sehingga sejak penciptaannya, Allah telah menetapkannya sebagai khalifahNya di muka bumi. Dan kala itu pula Allah mengutus kepada para malaikat untuk hormat kepada Adam.
Selanjutnya dalam rangka membentuk presepsi yang benar tentang eksistensi manusia di bumi ini, tarbiyah islamiyyah harus tegas dalam meluruskan presepsi-presepsi tentang takhayul yang secara nyata merusak akidah umat Islam. Takhayul-takhayul ini sudah saatnya dihentikan dan dienyahkan dalam alam pikiran masyarakat Jawa, karena selain mengganggu akidah, ia mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam mengganggu cara pandang dan cara berfikir masyarakat Jawa tentang hidup.        Bayangkan saja jika setiap generasi masyarakat selalu mempertahankan “tradisi” yang pada kenyataannya menjadi penghalang bangsa Indonesia untuk menuju cita-citanya yang bermartabat, bermoral, dan dilandasi iman yang tulus kepada Allah ta’aalaa. Untuk itu, tirani-tirani takhayul yang menjadi “hantu” masyarakat Jawa ini harus secepatnya dilakukan pemecahan dengan memakai pentujuk, ajaran dan tuntunan Allah dan RasulNya.
Berikut ini salah satu alternatif tarbiyah Islamiyah dalam rangka membentuk pesepsi manusia tentang hakekat dunia dan penghuninya.  

Alam yang tak terlihat
Tidak diragukan lagi bahwa di dunia ini manusia tidak sendirian, ada makhluk-makluk Allah yang lain yang menyertainya. Dan ternyata di antara makhluk-makhluk lain ini ada juga yang berakal seperi manusia.
Tentang makhluk-makhluk yang berakal ini, Al-qur’an menyebutkannya ada dua macam:
Pertama, para malaikat. Malaikat termasuk makhluk Allah yang berakal. Mereka diciptakan Allah dari cahaya, tidak bisa diindera dan tidak pula bertubuh, meskipun Allah menganugerahinya dapat menjelma kepada bentuk tertentu, saat melakukan tugas-tugas tertentu. Sebagaimana kisah kedua tamu Nabi Ibrahim yang sebenarnya adalah para malaikat. Malaikat tidak berwujud materi, tidak makan dan minum. Tidak nikah dan beranak-pinak. Tidak pula berjenis kelamin, laki-laki atau perempuan.. Mereka mempunyai fitrah selalu taat dan berbakti kepada Allah, selalu bertasbih, berzikir dan beribadah kepada Allah. Percaya kepada malaikat merupakan kewajiban Islam dan dianggap bagian dari rukun Iman.
Di antara kabar kembira yang dibawa Nabi Muhammad saw berkaitan dengan para malaikat  adalah sebuah hadits dari Shafwaan bin ‘Assaal ra, yaitu sabda beliau saw:
مَا مِنْ خَارِجٍ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ فِىْ طَلَبِ الْعِلْمِ إِلاَّ وَضَعَتْ لَهُ الْمَلاَئِكَةُ أَجْنِحَهَا رِضًا بِمَا يَصْنَعُ . رواه الترمذى
“Tidak ada orang yang keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu (agama), kecuali para malaikat meletakkan sayap-sayapnya buat orang tersebut karena suka dengan apa yang dikerjakannya”. (Riwayat Tirmidzy)   
Kedua, jin. Al-Qur’an menyebutkan bahwa jin terbuat dari api. Al-Qur’an menyebutkan pula bahwa makhluk jenis jin ini mukallaf seperti manusia, firman Allah SWT:
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyambahku” (Surat Adz-Dzaariyaat: 56)       
Seperti manusia, dari golongan jin ini ada yang beriman dan ada yang kafir, ada yang taat kepada Allah dan ada pula yang durhaka. Sekelompok jin pernah ada yang mendengarkan Rasulullah saw membaca Al-Qur’an, setelah mendengarkan kebenaran yang dibaca oleh beliau, golongan jin ini dengan serta merta menyatakan iman. Lalu mereka berdakwah kepada agama Islam sekembalinya ke tempat tinggal mereka. Allah menceritakan peristiwa ini dalam surat Al-Jin. Firman Allah SWT:
قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا , يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا .
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya; sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur’an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman keadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami”. (Surat Al-Jinn: 1,2)
Dalam Surat ini pula Allah SWT menceritakan pengakuan keberadaan para Jin tentang diri mereka:
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَمِنَّا دُوْنَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَئِقَ قِدَدًا
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda”. (Surat Al-Jinn: 11).
Pengakuan jin selanjutnya.
وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَمِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُوْلَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا , وَأَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْ لِجَهَنَّمَ حَطَبًا.
“Dan di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu bakar bagi neraka Jahanam”. (Surat Al-Jinn: 14).
Demikianlah, seperti manusia, jin ada yang taat kepada Allah dan ada pula yang durhaka. Jin yang selalu berada di jalan kekafiran dan kemaksiatan, dinamakan: Setan, pemimpin mereka dinamakan: Iblis –Semoga Allah melaknatinya-.
Firman Allah SWT:
وَإذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوْا لِأَدَمَ فَسَجَدُوْآ إِلاَّ إِبْلِيْسَ , كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَآءَ مِنْ دُوْنِيْ وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis, dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruk iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim”. (Surat Al-Kahfi: 50)
Ayat tentang penolakan jin kafir -yang bernama iblis- untuk hormat kepada Adam banyak diulang beritanya oleh Al-Qur’an. Dengan kesombongan, mereka merasa lebih tinggi kedudukannya karena terbuat dari api, sementara manusia terbuat dari tanah liat. Mereka kemudian membuat tipu daya agar Adam terhempas dari surga sehingga Adam dan keturunannya menghuni bumi dunia ini, sebagaimana cerita yang kita dengar.
Dalam perkembangannya cerita tentang jin kafir ini menjadi berlebihan, seperti beberapa fenomena yang terjadi dalam masyarakat Jawa. Dalam presepsi masyarakat Jawa, seolah-olah ada yang maha kuat selain Allah yang harus dihormati, ditakuti, diberi persembahan sesaji dan lain sebagainya.
Karena itu benarlah apa yang dikatakan sebagian jin muslim yang diceritakan Allah dalam firmanNya:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki dari golongan manusia meminta perlindungan kepada laki-laki dari golongan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (Surat Al-jin: 6)

Uraian-uraian tentang makhluk berakal yang ada di sekitar kita ini, setidaknya dapat memberikan persepsi yang benar terhadap substansi alam yang kita huni pada dasarnya tidak diserahkan kepada siapapun selain manusia. Manusialah yang diberi amanah dan kekuasaan oleh Allah untuk mengelola alam ini untuk kesejahteraan hidupnya. Sementara Jin, setan dan iblis tidak berhak apa-apa di alam ini, karena mereka bukan khalifah Allah di bumi.
Ketakutan manusia terhadap makhluk halus sebagaimana fenomena yang kami paparkan di atas tidak perlu terjadi. Hanya Allah tempat berserah diri,  menyembah, mohon perlidungan dan mohon pertolongan.
Demikian tarbiah islamiyyah memberi pencerahan terhadap akal manusia terhadap eksistensi dirinya. Akal yang terbebas dari belenggu khayalan, angan-angan dan ilusi yang menjadi tirani kemanusiaan. Akal yang hanya menyandarkan iman yang hakiki, yaitu tunduk kepada Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa.
Akan tetapi tarbiyah islamiyah tidak berhenti pada pencerahan akal. Persepsi yang benar terhadap eksistensi diri manusia ini harus selalu dirawat dan dipelihara. Tidak jarang kebenaran persepsi yang telah didapatkan akal, tereliminasi oleh hati yang mati. Hati yang sama sekali tidak mengikatkan diri kepada Allah SWT.
Akal yang lurus harus disertai dengan hati yang dikelola dengan baik. Dan untuk mencapai kepada harapan tersebut, sebagaimana yang dituturkan Said Hawa, manusia harus terus-menerus mendidik jiwanya untuk selalu dekat kepada Allah.
Langkah menuju pada pendidikan ruhani, oleh Said Hawa dirumuskan sebagai berikut:
a.       Selalu mendirikan shalat dengan berjamaah.
b.      Aktif menjalankan semua shalat sunah rawatib.
c.       Istiqamah melakukan shalat Dzuha, shalat malam dan witir.
d.      Menyempatkan diri melakukan shalat tasbih.
e.       Membuat program agar bisa mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an dalam waktu tertentu.
f.       Menyibukkan diri untuk selalu berdzikir kepada Allah dengan beristighfar, membaca shalawat untuk Nabi Muhammad saw dan dzikir-dzikir lain.
g.      Membaca zikir-zikir yang sudah tersusun, seperti wirid setelah salat, wirid di waktu pagi dan di sore hari dan lainnya. Jika ternyata terasa bosan pada suatu kali, berusaha untuk menyibukkan untuk amalan-amalan lain.
h.      Berpuasa sunah dengan mengurangi makan, mengurangi bicara yang tidak perlu dan pergaulan yang tidak bermanfaat (Said Hawaa, 1995: 99).
Mungkin sebagian orang merasa rumusan Said Hawa ini sia-sia, karena hanya akan menyita waktu dan membuat orang malas bekerja. Akan tetapi dalam suatu kaidah fikih yang diajarkan kepada kita ialah:
مَا لاَيُدْرَكُ كُلُّهُ لاَيُتْرَكُ جُلُّهُ
(Sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak harus ditinggalkan semuanya).
Perjuangan untuk mendapatkan iman yang menyelamatkan kita di dunia dan membebaskan dari api neraka memang berat. Apalagi perjuangan untuk mendapatkan iman setinggi gunung, sedalam dan seluas samudera. Iman yang membebaskan manusia dari khurafat, takhayul dan persangkaan-persangkaan yang membelenggu jiwa, hati dan akal manusia.
Iman yang mengantarkan pada ikrar yang senantiasa dibaca setiap shalat:
إِنَّ صَلاَتِىْ وَنُسُكِىْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِىْ  ِللهِ  رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
(Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan seluruh alam)
Demikianlah solusi alternatif dari tarbiyah islamiyyah yang insyaallah dapat mengantarkan masyarakat Jawa, dan Indonesia umumnya, dari lembah Islam sinkretis menuju purifikasi Islam yang hanya berserah diri kepada Allah.
Mudah-mudahan  bangsa Indonesia mendapat pencerahan dari cahayaNya.
             


DAFTAR PUSTAKA
 
  1. Al-Qur’an Al-Kariim.
  2. AR, MB Rahimsyah . 1999. Kisah Walisongo, Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa. Surabaya: Mitra Umat.
  3. Ali, Fakri dan Effendi, Bakhtiar. 1992. Merambah Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan.
  4. Pemberton, John. 2003. “Jawa”. Yogyakarta: Mata Bangsa.
  5. Wahid, Abdurrahman. 1984. Pembebasan melalui pendidikan : Punyakah keabsahan, Kata Pengantar Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia.
  6. Freire, Paulo, DR. Prof. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia.
  7. UNS, Tim BPA . 2003. Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi. Surakarta: Nurulhuda Press.
  8. Al-Qardlawiy, Yusuf, Dr. 1997. As-Sunnah Mashdaran lil Ma’rifah wal Hadlarah. Kairo: Daar El-Shurouq.
  9. Hawaa, said. 1995. Taribiyatunaa Ar-Ruuhiyyah. Kairo: Daar El-Salaam
  10. ‘Alawiy, Assayyid. 1337 H. Fathul Qariib Al-Mujiib. Saudi Arabia: Daar El-Saqaaf.

Tidak ada komentar:

Entri Populer