Dialog Ibn Athaillah Al Sakandari
(w.709 H) dengan Ibn Taymiyah (w. 728 H). Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn
Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah Ditranslasi dari buku
karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi” Innovations
(Kazi, 1996)
Bismillahi ar rahmani ar rahiim
Abu Fadl Ibn Athaillah Al Sakandari
(wafat 709), salah seorang imam sufi terkemuka yang juga dikenal sebagai
seorang muhaddits, muballigh sekaligus ahli fiqih Maliki, adalah penulsi
karya-karya berikut: Al Hikam, Miftah ul Falah, Al Qasdul al Mujarrad fi
Makrifat al ism al-Mufrad, Taj al-Arus al-Hawi li tadhhib al-nufus, Unwan
al-Taufiq fi al Adad al-Thariq, sebuah biografi: Al-Lataif fi manaqib Abi al
Abbas al Mursi wa sayykhihi Abi al Hasan, dan lain-lain. Beliau adalah murid
Abu al Abbas Al-Musrsi (wafat 686) dan generasi penerus kedua dari pendiri
tarekat Sadziliyah: Imam Abu Al Hasan Al Sadzili.
Ibn Athaillah adalah salah seorang yang
membantah Ibn Taymiyah atas serangannya yang berlebihan terhadap kaum sufi yang
tidak sefaham dengannya. Ibn Athaillah tak pernah menyebut Ibn Taymiyah dalam
setiap karyanya, namun jelaslah bahwa yang disinggungnya adalah Ibn Taymiyah
saat ia mengatakan dalam Lataif: sebagai “cendekiawan ilmu lahiriyah”.Satu
Halaman berikut ini merupakan terjemahan Inggris pertama atas dialog bersejarah
antara kedua tokoh tersebut.
Naskah Dialog :
Dari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki
Ibrahim Ibn Katsir, Ibn Al Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi,
kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik. Naskah tersebut
memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping
itu, ia juga merekam kontroversi antara pribadi yang bepengaruh dalam tsawuf:
Syaikh Ahmad Ibn Athaillah Al Sakandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya
dalam gerakan “Salafi”: Syaikh Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah selama era
Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn Qalawun
(Al Malik Al Nasir).
Kesaksian Ibn Taymiyah kepada Ibn
Athaillah
Ibn Taymiyah ditahan di Alexandria.
Ketika sultan memberikan ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang malam, ia
menuju masjid Al Ahzar untuk sholat maghrib yang diimami Syaikh ibn Athaillah.
Selepas shalat, Ibn Athailah terkejut menemukan Ibn Taymiyah sedang berdoa dibelakangnya.
Dengan senyuman, sang syaikh sufi menyambut ramah kedatangan Ibn Taymiyah di
Kairo seraya berkata: Assalamualaykum, selanjutnya ia memulai pembicaraan
dengan tamu cendekianya ini.
IBN ATHAILLAH: “Biasanya saya sholat di
masjid Imam Husein dan sholat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan
Allah berlaku! Allah menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut
anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih,
apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”
IBN TAYMIYAH: “Aku tahu, anda tidak
bermaksud buruk terhadapku, tapi perbedaan pandangan diantara kita tetap ada.
Sejak hari ini, dalam kasus apapun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan
dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku”
IBN ATHAILLAH: Apa yang anda ketahui
tentang aku, syaikh Ibn Taymiyah?
IBN TAYMIYAH: Aku tahu anda adalah
seorang yg saleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan
tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Syria
yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah
atau lebih patuh atas perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Tapi bagaimanapun juga kita memiliki
perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya
sesat dengan menolak kebenaran (praktik) meminta bantuan seseorang untuk
memohon pertolongan Allah (istighatsah)?
IBN ATHAILLAH: Tentu saja, rekanku,
anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau
mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah saw,
adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita
dan yang syafaatnya kita harapkan.
IBN TAYMIYAH: Mengenai hal ini saya
berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits
berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat al
Qur’an juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi)
ke tempat yang terpuji (Q.S Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji
adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah
berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah mati,
Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fatimah binti
Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusanMu, dan
para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun”.
Inilah syafaat yang dimiliki rasulullah
saw. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk
kemusyrikan; Rasulullah saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas,
memohon pertolongan dari selain Allah.
IBN ATHAILLAH: Semoga Allah
mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rasulullah saw
kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak
melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan.
Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighosah sebagai mencari bantuan
kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin bertanya
kepada anda,” Adakah muslim yang beriman pada Allah dan rasulNya yang
berpendapat ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan
mampu menjalankan apa yang telah ditetapkanNya berkenaan dengan dirinya
sendiri?”
” Adakah mukmin sejati yang meyakini
ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan
buruk, selain dari Allah? Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada
berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja
dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana
kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti
mengharapkan anugerah syafaat yang dimiliknya dari Allah, sebagaimana jika anda
mengatakan: “Makanan ini memuaskan seleraku”. Apakah dengan demikian makanan
itu sendiri yang memuaskan selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang
memberikan kepuasan melalui makanan?
Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah
melarang muslim untuk mendatangi seseorang selain DiriNya guna mendapat
pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada
selain Allah? Ayat Al quran yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin
dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan
satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan rasul adalah dalam
rangaka bertawasul atau mengambil perantara, atas keutamaan (hak) rasul yang
diterimanya dari Allah (bihaqqihi inda Allah) dan tashaffu atau memohon bantuan
dengan syafaat yang telah Allah anugerahkan kepada rasulNya.
Sementara itu, jika anda berpendapat
bahwa istighosah atau memohon pertolongan itu dilarang syariat karena mengarah
pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat
dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk
mencegah zina.
(Kedua syaikh tertawa atas komentar
terakhir ini).
Lalu IBN ATHAILLAH melanjutkan: “Saya
kenal betul dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqih yang
didirikan oleh syaikh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori
fiqih serta mendalamnya “prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaitan”
yang anda miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul selaku
seorang ahli fiqih.
Namun saya juga menyadari bahwa anda
dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali
terselubung dibalik kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara
kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk
meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan
anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul Hikam. Naskah tersebut telah dikotori
oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga
pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh
islam).
Ketika syaikh al islam Al Izz ibn Abd
Salam memahami apa yang sebenarnya diucapan dan dianalisa oleh Ibn Arabi,
menangkap dan mengerti makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera
memohon ampun kepada Allah swt atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin
Ibn Arabi sebagai Imam Islam.
Sedangkan mengenai pernyataan al
Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak
keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh
lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut
Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak
pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri. “Apa pendapat anda mengenai
khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?”
IBN TAYMIYAH: Dalam salah satu
haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan Ali lah pintunya”.
Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari
pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha
sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang
sekaligus? Dialah sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas
kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku
setelah al quran dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya
namun panjang perjuangannya.
IBN ATHAILLAH: Sekarang, apakah Imam
Ali ra meminta agar orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi? Sementara
faksi ini mengklaim bahwa malaikat jibril melakukan kesalahan dengan
menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia
meminta mereka untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang
imam menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan
memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh dimanapun mereka
ditemukan?
IBN TAYMIYAH: Berdasarkan fatwa ini
saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
IBN ATHAILLAH: Dan Imam Ahmad- semoga
Allah meridoinya-mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli,
memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut kristen atau dimanapun
mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis para penyanyi,
dan menyerang msayarakat di jalan.
Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa
bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya
para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung
keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas
perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih
melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn
Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang
melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama
serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Apakah anda tidak memahami hal
ini?
IBN TAYMIYAH: “Tapi bagaimana pendirian
mereka di hadapan Allah? Di antara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa
ketika Rasulullah saw memberitakan khabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka
akan memasuki surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut
tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat
itu malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada rasul bahwa Allah
akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya malaikat jibril
mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di singgasana Allah.
berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara
atau kaum “papa”.
IBN ATHAILLAH: “Tidak semua sufi
mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang saya kenakan; apakah anda
tidak setuju dengan penampilan saya?
IBN TAYMIYAH: “Tetapi anda adalah ulama
syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
IBN ATHAILLAH: “Al Ghazali adalah
seorang imam syariat maupun tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat
dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan
kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki
tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang
tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan
ahli sunnah.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi
gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang
mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa
dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan
dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban
beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri
mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ).
Di sini, ia juga menerangkan secara
rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan
Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran
sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima
akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui
penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku
spiritual.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir
lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya
kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasul-NYA. Inilah posisi mulia yang
menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan
guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam
cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Meskipun demikian, kita harus berusaha
di jalan Allah agar memperoleh ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia,
menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan.
Penafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang
imam kami yang terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn
Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli
dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya
hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang
menghantarkan rahasia mengenai fenomena yang tak tampak.
IBN TAYMIYAH: “Argumentasi tersebut
justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya
melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka.
Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi
untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan
terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi
sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun yang menempuh jalan ini, saya
berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama.
Namun bagi mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan
gagasan kemusyrikan seperti filososf Yunani dan pengikut Budha, atau yang
beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu denganNya
(ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu
adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan
syaikh anda: semuanya jelas perilaku ateis dan kafir”.
IBN ATHAILLAH: “Ibn Arabi adalah salah
seorang ulama terhebat yang mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn
Hazm al Andalusi, seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi anda tentang
hukum islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorabg Zahiri
(menerjemahkan hukum islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan untuk
memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna
spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).
Meskipun demikian tidak seluruh
pengikut mengartikansama apa-apa yang tersembunyi. Agar anda tidak keliru atau
lupa, ulangilah bacaan anda mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan
simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan
al-Qusyairi. Ia telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung al-quran dan
sunnah, sama seperti hujjatul Islam Al Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai
perbedaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha ini
kurang menguntungkan dan berfaedah.
Ia mengajak orang untuk memahami bahwa
mencintai Allah adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan
keyakinan. Apakah anda setuju wahai faqih? Atau anda lebih suka melihat
perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan mengenai
perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali seseorang berdebat
mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali
berpendapat: Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui
hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat,
mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam
benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat
dilihat atau diraba.
Sesungguhnya ahli sunnahlah yang
menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak
seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara
berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran.
Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama
laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan
semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya
anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai selain Allah. Allah memuji
hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya”; dan
Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya”.
Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab
bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.
Seorang muslim takkan bisa mencapai
keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri,
hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha
untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya,
dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan
meminta sedekah.
Seseorang yang tulus adalah ia yang
menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang
menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau
terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah
iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru
dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia
melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan
hati. Ia menjuluki mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah
mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan anda
membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa:”Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata
berdasarkab bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun
keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu
dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal
dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.” “Adakah pernyataan yang
seindah ini?”
IBN TAYMIYAH: “Anda telah berbicara
dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat
jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung
pandangan yang telah anda kemukakan.”
*Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn
Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah, dalam buku karya Syaikh
Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi” Innovations (Kazi, 1996)
h. 367-379.
Foot Note:
1. Ibn Atha’illah, Lata’if al minan fi manaqib Abi al Abbas. Pada bagian Lata’if al-minan wa al akhlaq, karya Sya’rani (Kairo, 1357) 2:17-18.
2. Lihat Ibn Al Imad, Shadharat al dzahab (1350/1931) 6:20; Al Zirikly, al A’lam (1405/1984) 1:221; Ibn Hajar, al Dhurrar al Kamina (1348/1929) 1:148-273; Al Maqrizi, Kitab al Suluk (1934-1958) 2:40-94; Ibn Kathir, al Bidayah wa al Nihayah (1351/1932) 14:45; Subki, Tabaqat al Shafi’iyyah (1324/1906) 5:177. dan 9:23; Suyuti, Husn al Muhadara fi Akhbar misr wa al qahira (1299/) 1:301; Al Dawadari, al Durr al fakhir fi sirat Al Malik Al Nasir (1960) hal 200; Al Yafi’I, Mi’rat Al Janan (1337/1918) 4:246; Sya’rani, Al Tabaqat al Kubra (1355/1936) 2:19; Al Nabhani, jami’ karamat al awliya (1381/1962) 2:25.
1. Ibn Atha’illah, Lata’if al minan fi manaqib Abi al Abbas. Pada bagian Lata’if al-minan wa al akhlaq, karya Sya’rani (Kairo, 1357) 2:17-18.
2. Lihat Ibn Al Imad, Shadharat al dzahab (1350/1931) 6:20; Al Zirikly, al A’lam (1405/1984) 1:221; Ibn Hajar, al Dhurrar al Kamina (1348/1929) 1:148-273; Al Maqrizi, Kitab al Suluk (1934-1958) 2:40-94; Ibn Kathir, al Bidayah wa al Nihayah (1351/1932) 14:45; Subki, Tabaqat al Shafi’iyyah (1324/1906) 5:177. dan 9:23; Suyuti, Husn al Muhadara fi Akhbar misr wa al qahira (1299/) 1:301; Al Dawadari, al Durr al fakhir fi sirat Al Malik Al Nasir (1960) hal 200; Al Yafi’I, Mi’rat Al Janan (1337/1918) 4:246; Sya’rani, Al Tabaqat al Kubra (1355/1936) 2:19; Al Nabhani, jami’ karamat al awliya (1381/1962) 2:25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar