Sabtu, Oktober 27, 2012

Jihad: Melawan Kebodohan Dulu Baru Menegakkan Syari’at Islam (Memahami Hadis-hadis Bernuansa Kekerasan)


Oleh: Tsalis Muttaqin, Lc., M.S.I.


A.      Pendahuluan
            Sejak peristiwa pembajakan pesawat yang meluluh-lantakkan gedung kembar WTC yang menjadi lambang supremasi Amerika sebagai negara adi daya pada 2001, dunia dikejutkan dengan sebuah realitas yang tidak terduga sebelumnya. Realitas tersebut adalah adanya gerakan-gerakan terselubung yang berada di lingkungan umat Islam yang memakai simbol-simbol Islam untuk melawan dominasi dan hegemoni Amerika dan Eropa dengan cara-cara melakukan teror. Adalah gerakan teroris al-Qaedah di bawah pimpinan Usamah bin Laden sebagai pihak tertuduh dan harus bertanggung jawab atas segala aksi terorisme yang merajalela hampir di seluruh belahan dunia.

            Di Indonesia, setahun kemudian, dunia dikejutkan dengan bom Bali yang menewaskan sekian banyak warga negara asing dan warga setempat. Pihak berwenang Indonesia akhirnya menemukan dan menghukum mati para pelaku pengeboman tersebut yang ternyata anggota jaringan teroris di Asia Tenggara, Jamaah Islamiyah (JI). Lagi-lagi, realitas menunjukkan bahwa gerakan teror tersebut berada di lingkungan umat Islam dan memakai simbol-simbol Islam.
Selanjutnya, dalam konteks Indonesia, gerakan teror bermunculan silih berganti dari tahun ke tahun. Yang terakhir, tepatnya September 2011, adalah teror bom bunuh diri yang terjadi di sebuah gereja di Solo. Tragisnya, yang menjadi sasaran selalu saja Islam dan umat Islam sebagai biang dari aksi teror tersebut. Memang harus diakui, bahwa aksi-aksi teror dan tindakan yang merusak tersebut, didukung dengan bukti-bukti dan data-data yang terungkap di tempat kejadian perkara, dilakukan oleh kelompok umat Islam yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok Islam, seperti al-Qaedah, Jamaah Islamiyyah dan yang lainnya.
Ada dugaan bahwa doktrin yang digunakan kelompok jaringan teroris tersebut adalah memanfaatkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang bernuansa kekerasan. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi tersebut dimaknai secara harfiyah (tekstual) dengan tanpa memperdulikan dengan ayat-ayat lain atau hadis-hadis lain, serta sebab-sebab diturunkankanya ayat atau sebab munculnya sabda Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam yang menjadi konteks ayat tersebut. Dengan bahasa yang lebih spesifik, ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut dimaknai tidak sesuai dengan kaedah-kaedah ijtihad yang ditetapkan al-Qur’an dan Hadis, sebagaimana yang dipahami oleh ulama salaf shaleh.
Untuk kepentingan meluruskan pemahaman terhadap doktrin-doktrin Islam yang bernuansa kekerasan, makalah ini mengambil tema mengenai hadis-hadis yang bernuansa kekerasan.

B.       Teror dan Hadis-hadis Bernuansa Kekerasan
Coba Anda bayangkan jika hadis-hadis ini secara berulang-ulang dibacakan secara harfiyah dan diterjemahkan secara harfiyah pula dengan suara lantang dan berapi-api kepada anak-anak muda yang berumur belasan tahun dan pengetahuan agamanya masih mentah. Kemudian bayangkan beberapa bulan dan beberapa tahun kemudian, lihatlah apa yang terjadi !
1.             عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ سَالِمٍ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ وَكَانَ كَاتِبَهُ قَالَ كَتَبَ إِلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاعْلَمُوا أَنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ   (رواه البخاري)

Artiya: Dari Mûsâ bin `Uqbah dari Sâlim Abî Al-Nadlar, mantan budak (yang telah dimerdekakan oleh) `Umar bin `Ubaidillâh -dia adalah juru tulisnya- berkata; `Abdullâh bin Abî Aufâ radliallâhu `anhumâ menulis surat kepadanya bahwa Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: "Ketahuilah oleh kalian bahwa surga itu berada dibawah naungan pedang". (H.R. Bukhârî)

2.             عَنْ أَبِي مُوسَى اَلْأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله  عليه وسلم "مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اَللَّهِ هِيَ اَلْعُلْيَا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اَللَّهِ"  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Abû Mûsâ al-Asy`arî radliallâhu `anhu bahwa Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia perperang di jalan Allah 'azza wa jalla." (Muttafaqun `Alaih)

3.             عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَ ضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ، مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ" رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Artinya: Dari Abû Hurairah radliallâhu `anhu dia berkata, "Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa meninggal sedang ia belum pernah ikut berperang atau belum pernah meniatkan dirinya untuk berperang, maka ia mati di atas cabang kemunafikan." (H.R. Muslim)

4.             وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " جَاهِدُوا اَلْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ، وَأَنْفُسِكُمْ، وَأَلْسِنَتِكُمْ" رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَالنَّسَائِيُّ، وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ.

Artinya: Dari Anas radliallâhu `anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: “Berjihadlah kalian dengan harta kalian, dengan jiwa kalian dan lidah kalian” (H.R. Ahmad dan al-Nasâ’î, di-shahih-kan oleh al-Hâkim).

5.             عَنِ الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مُقَنَّعٌ بِالْحَدِيدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُقَاتِلُ أَوْ أُسْلِمُ قَالَ أَسْلِمْ ثُمَّ قَاتِلْ فَأَسْلَمَ ثُمَّ قَاتَلَ فَقُتِلَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَمِلَ قَلِيلًا وَأُجِرَ كَثِيرًا. رواه البخاري.

Artinya: Al-Barâ’ radliallâhu `anhu berkata; Ada seorang laki-laki bertopeng besi datang menemui Nabi shallallâhu `alaihi wasallam seraya berkata: "Apakah aku berperang atau masuk Islam lebih dulu?" Maka Beliau bersabda: "Kamu masuk Islam dulu kemudian berperang". Maka laki-laki itu masuk Islam lalu berperang hingga terbunuh. Kemudian Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: "Orang ini amalnya sedikit namun diberi pahala yang banyak". (H.R. al-Bukhârî).

6.             عَنِ ابْنُ عُمَر رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: أُمِرْتُ أَنْ أُقاتِلَ النَّاسَ حَتّى يَشْهَدوا أَنْ لا إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللهِ، وَيُقيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاةَ، فَإِذا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوالَهُمْ إِلاّ بِحَقِّ الإسْلامِ، وَحِسابُهُمْ عَلى اللهِ (متفق عليه)

Artinya:  dari Ibnu `Umar radliallâhu `anhumâ, bahwa Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam telah bersabda: "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah". (Muttafaqun ‘Alaih)

7.             عن أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا ، فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ ، فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ " (رواه مسلم)

Artinya: Dari Abû Sa`îd al-Khudrî radliallâhu `anhu, berkata, "Aku dengar Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman."  (H.R. Muslim)

C.      Ibadah dan Hadis-hadis Bernuansa Kesabaran
Jika di atas telah dikemukakan hadis yang bernuansa kekerasan, sekarang marilah kita ikuti hadis-hadis yang bernuansa kesabaran. Tentu saja harus dibaca dengan akal budi dan kehalusan perasaan.
Telah menjadi ketentuan Allah SWT dalam kehidupan, manusia dalam meraih cita-cita dan idealisme yang harapkannya menghadapi adanya ujian dan cobaan serta berbagai rintangan dan hambatan. Hal itu merupakan keniscayaan dari Allah yang tak akan berubah sampai hari kiamat kelak.
Allah SWT mengingatkan:
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzalim.” (Ali Imran: 140)

Di antara rahmat dan anugerah Allah terhadap orang-orang yang beriman adalah bahwa segala ujian dan cobaan bisa saja membawa kebaikan bagi orang yang dikehendaki Allah. Memang ada sebagian manusia yang dihindarkan Allah dari berbagai ujian. Hal tersebut  merupakan anugerah dari Allah rahmat dan anugerah Allah pula, di samping sebagai buah dari keuntungan sang hamba dalam menempuh jalan hidupnya yang memberikan jaminan keselamatan baginya.
Di antara manusia, ada pula yang tertimpa cobaan dan ujian, tetapi dengan anugerah dan rahmat Allah, dia dapat menghadapinya dengan kesabaran yang membawa kebaikan bainya. Dalam kaitan ini Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda:

عَنْ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ قَالَ :ايْمُ اللَّهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنِ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنُ وَلَمَنْ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهًا (رواه أبو داود)
 
Artinya: Dari Al-Miqdâd bin al-Aswad ra., ia berkata, “Demi Allah, aku telah mendengar Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: “Orang yang bahagia adalah orang yang terhindar dari fitnah, orang yang bahagia adalah orang yang terhindar dari fitnah, orang yang bahagia adalah orang yang terhindar dari fitnah dan orang yang tertimpa musibah lalu bersabar, seraya mengucapkan, "Betapa baiknya cobaan ini!"” (H.R. Abû Dâwûd)
 
               Dan merupakan anugerah Allah bagi orang-orang yang beriman adalah bahwu justru di saat datangnya masa-masa ujian dan cobaat tersebut dapat dijadikan sarana untuk beribadah dan beramal saleh. Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda:
 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا  (رواه مسلم وأبو داود)
 
Artinya: Dari Abû Hurairah RA, bahwa Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: "Segeralah mengerjakan amal-amal kebaikan, (ketika menghadapi) fitnah yang seperti malam gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir dipagi harinya. Dia menjual agamanya dengan barang kenikmatan dunia." (H.R. Muslim dan Abû Dâwûd).



Diriwayatkan pula dalam hadis lain:
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِبَادَةُ فِي الْفِتْنَةِ كَالْهِجْرَةِ إِلَيَّ (رواه أحمد)

Artinya: Dari Ma`qil bin Yasâr ia berkata; Rasulullah Shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: "Beribadah di zaman fitnah sebagaimana berhijrah kepadaku." (H.R. Ahmad)

Ayat dan hadis-hadis di atas kiranya dapat dijadikan landasan dan pedoman hidup pada masa-masa ini, masa yang penuh dengan ujian bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Di antara ujian dan cobaan terhadap umat Islam yang kita hadapi saat ini adalah masih berlangsungnya aksi terorisme dan perusakan yang sampai hari ini, hal tersebut masih saja membawa musibah dan petaka,  serta berbagai dampak negatif  lainnya.

D.      Makna Terorisme dalam Syariat Islam
            Istilah “irhâbi” atau terorisme tidak ditemukan dalam literatur Islam klasik. Oleh karenanya, tidak ditemukan pula definisi tentang terorisme dari kalangan ulama terdahulu (salaf), Hal tersebut disebabkan penggunaan kata terorisme, dengan pengertian kontemporer, bermula dari ideologi Eropa pada masa revolusi prancis tahun 1789-1794 M., walaupun pada masa Yunani kuno, Romawi dan abad permulaan masehi telah tercatat beberapa kejadian terorisme.[1]
            Meskipun kata terorisme pada beberapa tahun terakhir ini merupakan kata yang banyak digunakan, dalam mendefinisikan kata tersebut terjadi perbedaan pendapat di beberapa kalangan. Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) mendifinisikan, terorisme yaitu perbuatan-perbuatan yang membahayakan jiwa yang tidak berdosa, atau menghancurkan kebebasan asasi, atau melanggar kehormatan manusia.[2] Menurut peraturan internasional, terorisme ialah sejumlah perbuatan yang dilarang oleh peraturan-peraturan kenegaraan pada kebanyakan negara.[3]
Dalam kesepakatan bangsa-bangsa Arab dalam menghadapi terorisme dikatakan bahwa: Terorisme adalah setiap perbuatan berupa aksi-aksi kekerasan atau memberi ancaman dengan kekerasan, apapun pemicu dan maksudnya. Aplikasinya terjadi pada suatu perbuatan dosa secara individu maupun kelompok, dengan target melemparkan ketakutan di tengah manusia, atau membuat mereka takut, atau memberikan bahaya pada kehidupan, kebebasan, atau keamanan mereka, atau meletakkan bahaya pada suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan (umum maupun khusus), atau menduduki atau menguasainya, atau memberikan bahaya pada salah satu sumber daya/aset negara.[4]
            Majma` Buhûts al-Islâmiyyah di al-Azhar menyebutkan bahwa terorisme adalah membuat takut orang-orang yang aman, menghancurkan kemaslahatan, tonggak-tonggak kehidupan mereka, dan (perbuatan) melampaui batas terhadap harta, kehormatan, kebebasan dan kemuliaan manusia dengan penuh kesewenang-wenangan dan kerusakan di muka bumi.[5]
            Selama tdak ada persamaan persepsi mengenai definisi terorisme, hendaknya definisi-definisi dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan  tertentu dalam penggunaan kata terorisme tersebut ditinggalkan. Hendaknya yang diperhatikan adalah definisi yang telah disebutkan oleh ulama-ulama sekarang dalam masalah ini.
            Dalam sebuah wawancara mengenai irhâb ‘terorisme’ dengan harian al-Syarq al-Awstah., Prof. Dr. Syaikh Shâlih Ghânim al-Sadlân menjelaskan pengertian terorisme: “Bila kita hendak berbicara mengenai irhâb, sudah selayaknya untuk meletakkan gambaran makna tentang irhâb,  baik irhâb itu secara bahasa maupun sesuatu yang dimasud dengannya secara istilah.
            Irhâb secara bahasa adalah sesuatu yang menyebabkan kepanikan, ketakutan, membuat gelisah orang-orang yang aman, menyebabkan kegoncangan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dan menghentikan aktivitas mereka, serta menimbulkan gangguan dalam keamanan, kehidupan dan interaksi.
Adapun makna irhâb secara syariat adalah segala sesuatu yang menyebabkan goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta, atau perbuatan lain yang melampaui batas dengan berbagai macam bentuknya. Semua hal ini dinamakan irhaab.



Allah Ta’âlâ berfirman:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan (meng-irhâb/menteror) musuh Allah dan musuh kalian.” (Q.S. al-Anfaal: 60).

Yakni, (persiapan) itu menyebabkan ketakutan pada musuh-musuh kalian dan pengurungan keinginan mereka yang tidak baik terhadap kaum Muslimin dan hal lain. Inilah makna irhâb secara istilah.
Berpijak dari keterangan di atas, tampak bahwa irhâb kadang diperbolehkan kadang diharamkan. Al-Irhâb beraneka ragam hukumnya tergantung dari maksudnya. Keberadaan kita (Negeri Muslim) dalam mempersiapkan diri, menambah kekuatan, melakukan latihan militer dan penggunaan senjata, membuat senjata dan menyiapkan kekuatan yang membuat rasa takut (irhâb) terhadap musuh sehingga tidak lancang kepada kita, agama, akidah dan individu-indivitu umat. Hal ini adalah perkara yang dituntut keberadaannya pada kaum Muslimin atau negeri-negeri Muslim. Maka, kaum Muslimin tidak boleh dilengahkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti kemewahan dan gemerlapnya kehidupan, sehingga lengah dari ancaman dan sasaran musuh-musuh mereka.
Bahkan mereka diwajibkan untuk memiliki kekuatan sebagaimana firman Allah:
تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
Artinya: “(yang dengan kekuatan itu) kalian menggentarkan (meng-irhâb/menteror) musuh Allah dan musuh kalian.” (Q.S. al-Anfaal: 60).

Nabi Muhammad Shallallâhu `alaihi wasallam juga bersabda:
وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ
Artinya: “Dan aku dtolong dengan al-ru`bi (timbulnya rasa takut/gentar pada musuh) selama perjalanan satu bulan.” (Hadis Muttafaq `Alaih, riwayat dari Jabir bin Abdullâh radliyallâhu `anhu.)

Inilah irhâb yang disyari’atkan.
            Adapun al-irhâb yang dilarang adalah sesuatu yang dikerjakan oleh pelakunya dengan cara mendatangi tempat-tempat yang berada dalam keadaan aman, tenteram dan lapang yang tidak mempunyai urusan dengan masalah kekuatan, peperangan dan kezaliman, lalu menyergap mereka secara tiba-tiba dengan pembunuhan, perusakan harta benda, atau perbuatan yang menimbulkan berbagai macam ketakutan, atau selain itu, baik dari kalangan orang kafir maupun kaum Muslimin. Kecuali jika dalam suasana perang antara Muslim dengan negara harbî. Jika negara Muslim sedang berperang dengan negara kafir dan antara keduanya tidak ada perjanjian (mu`ahad) dan antara keduanya ada peperangan dan saling menyerang secara tiba-tiba, dalam keadaan ini, kaum Muslimin diperbolehkan untuk melakukan sesuatu yang bisa mengalahkan musuh mereka, dan menahan musuh, serta menahan kezalimannya. Semua itu boleh dilakukan untuk mengembalikan harta benda mereka yang dirampas musuh, menjaga bumi dan kehormatan mereka.
            Adapun tentang hal-hal yang berkaitan dengan irhâb terhadap orang-orang yang aman dan lengah dari kalangan kaum Muslimin, orang-orang kafir dan lainnya, mereka itu tidak boleh diserang secara tiba-tiba. Lebih-lebih kalau antara kaum Muslimin dan bangsa-bangsa ini ada perjanjian (mu`ahad)”.[6]

E.       Prinsip-prinsip Jihad dalam Syariat Islam
            Meluruskan pemahaman tentang makna jihad adalah suatu yang urgen dan niscaya pada masa ini. Sisi pentingnya terlihat dari berbagai kejadian yang melanda manusia dan kemanusiaan dalam bentuk aksi-aksi peledakan, penculikan, pembajakan, kekerasan dan lainnya, yang oleh pelakunya dinamakan “jihad” atau ditampilkan kepada publik dengan label jihad. Di pihak lain, ada sementara orang yang menganggap bahwa perilaku tersebut sebagai perbuatan yang tidak ada relevansinya dengan jihad yang bersumber dari syariat Islam.
            Secara etimologi, jihad dapat berarti kepayahan, kesulitan, atau mencurahkan segala daya upaya, yaitu mencurahkan segala upaya untuk meraih sesuatu yang berat dan sulit.
            Al-Raghib al-Ashbahanî (w. 502 H) berkata: Jihad adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan atau apa saja yang ia mampu. Jihad itu ada tiga macam: 1) jihad melawan musuh yang tampak, 2) jihad melawan setan dan 3) jihad melawan diri sendiri. Ketiganya tercakup dalam firman Allah Ta`âlâ:
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
Artinya: “Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan sebenar-benarnya Jihad.” (Q.S. al-Hajj: 78).[7]

Adapun secara terminologi, al-Hâfidz Ibnu Hajar al-`Asqalânî mendefinisikan jihad, sebagai “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir.”[8]
Dalam al-Mausû`ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, disebutkan kesimpulan para ahli fiqih bahwa jihad secara istilah yaitu: “Seorang Muslim memerangi orang kafir yang tidak berada dalam perjanjian damai, setelah orang kafir tersebut didakwahi dan diajak kepada Islam, guna meninggikan kalimah Allah”.[9]
Ibnu Hajar menjelaskan, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah menurut kesepakatan para ulama”.[10]
Ulama sepakat atas kewajiban jihad. Al-Qur’an dan Hadis penuh dengan nash-nash yang menunjukkan syariat, anjuran dan keutamaan jihad. Di antaranya yaitu firman Allah Ta`âlâ:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُون

Artinya: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (Q.S. al-Taubah: 20)

Sementara di antara hadis-hadis  Nabi shallallâhu `alaihi wasallam, yaitu:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَغَدْوَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. متفق عليه.

Artinya: “Dari Anas bin Mâlik radliallâhu `anhu dari Nabi shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: "Pergi keluar berperang di jalan Allah pada awal (pagi) hari atau pergi keluar berperang pada akhir (siang) hari lebih baik dari pada dunia dan seisinya". (Muttafaq `Alaih)

Beberapa prinsip penting berkaitan dengan jihad melawan orang kafir ialah:
Pertama, jihad memerangi musuh hanyalah salah satu sarana dan dakwah untuk menegakkan agama Allah di muka bumi, bukan tujuan. Firman Allah Ta’âlâ:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang dzalim.” (Q.S. al-Baqarah: 193)

Sabda Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Artinya: "Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia perperang di jalan Allah 'azza wa jalla." (Muttafaqun `alaih)

Kedua,  tidak ada perang terhadap orang kafir yang belum mendengar dakwah Islam, kecuali setelah menawarkan keislaman kepada mereka atau menolak membayar jizyah (pajak).
Ketiga, tidak ada perang terhadap mereka yang mengumandangkan adzan dan menegakkan shalat.
Keempat, meminta ijin kepada orang tua untuk berjihad.
Kelima, syariat jika akan berlanjut hingga hari kiamat.[11]
Jihad fî sabîlillâh, dalam syariat Islam, tidak hanya bermakna memerangi orang-orang kafir saja. Jihad, menurut pandangan syariat dalam pengertian umum meliputi beberapa hal;
1.      Jihâd al-Nafs, yaitu jihad dalam memperbaiki diri sendiri.
2.      Jihâd al-Syaithân, yaitu jihad melawan setan.
3.      Jihâd al-Kuffâr wa al-Munâfiqîn, yaitu jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munafiq.
4.      Jihâd arbâb al-zhulm wa al-bid`ah wa al-munkarât, jihad menghadapi orang-orang zalim, ahli bid’ah dan pelaku kemunkaran.[12]
Penjelasan tentang jihad melawan orang-orang kafir secara fisik merupakan kajian terpenting dalam pembahasan ini. Telah tercatat dalam sejarah dari masa ke masa, banyak orang yang salah melangkah dalam masalah jihad disebabkan oleh ketidakpahaman mereka tentang masalah jihad melawan orang-orang kafir secara fisik ini. Hal ini disebabkan suatu ketergelinciran yang sangat besar, karena pembahasan tertang jihad fisik tersebut sangat jelas dalam kitab-kitab fikih yang menerangkan pembahasan jihad.
Jihad melawan orang kafir secara fisik dibagi dua:
Pertama,  jihad menyerang. Yang dimaksudkan dengan jihad jenis ini yaitu kaum Muslimin yang memulai penyerangan terhadap orang-orang kafir setelah menawarkan untuk memeluk Islam atau membayar jizyah (pajak).
Dalil-dalil tentang hal ini sangat jelas dari sunnah Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam, yaitu tatkala berada di Madinah, beliau mengirimkan pasukan untuk menyerbu manusia agar memeluk Islam, yang pengobaran perang peperangan dibangun atas seruan tersebut. Bahkan beliau menegaskan:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian, maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah”. (Muttafaqun ‘Alaih)
Hadis ini adalah nash yang tegas tentang disyariatkannya jihad dalam arti menyerang. Selain itu, sejumlah ayat dan hadis yang telah disebutkan terdahulu juga termasuk nash umum yang menganjurkan untuk menegakkan jihad model ini.
Selanjutnya, jihad menyerang ini hanya disyariatkan bila terpenuhi tiga syarat berikut ini:
1.    Dipimpin oleh keseorang kepala negara. Di antara dalil-dalil syarat ini yaitu hadis riwayat Abu Hurairah:
“Barang siapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku berarti dia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia telah taat kepadaku dan barang siapa yang bermaksiat kepada pemimpin berarti dia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah laksana perisai, peperangan dilaksanakan dibelakangnya dan ia dijadikan sebagai pelindung”. (H.R.Muslim)

Hadis di atas menunjukkan seorang Muslim harus berkomitmen terhadap jamaah dan pemimpinnya (baca: kepala negara). Maka orang yang berjihad tanpa disertai pemimpinnya atau tidak mendapat ijin dari pemimpinnya, maka jihad yang dilakukan tersebut jihad yang bid’ah yang tidak disyariatkan.
Dalam kaitan ini Ibnu Quddâmah (w.602 H.) menegaskan:
“Persoalan jihad dikembalikan kepada seorang imam (kepala negara) dan ijtihadnya, yang rakyat wajib taat kepadanya terhadap perihal yang ia tetapkan dalam hal tersebut”.[13]

Demikian keterangan yang menunjukkan bahwa para ulama sama sekali tidak membenarkan penegakan hukum jihad menyerang tanpa seijin imam (kepala negara)
2.    Mempunyai kekuatan. Syarat ini telah dimaklumi dalam nash al-Qur’an dan hadis. Banyak dalil yang menunjukkan bahwa dalam berjihad disyaratkan adanya  kemampuan dan kekuatan dalam menegakkannya. Jika syarat ini tidak terpenuhi, gugurlah kewajiban jihad terhadap kaum Muslimin hingga mereka punya kekuatan.
3.    Adanya negara atau wilayah kekuasaan. Kewajiban jihad secara fisik bagi kaum Muslimin adalah setelah terbentuknya negara Islam di Madinah dan Nabi SAW sendiri adalah pemimpin mereka. Ibnu Hajar berkata: “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrah Nabi SAW ke Madinah, menurut kesepakatan para ulama”.[14]
Kedua,  jihad membela diri. Yaitu apabila orang-orang kafir menyerang kaum Muslimin atau mengepung negeri kaum Muslimin. Dalam kondisi seperti ini, diwajibkan bagi kaum Muslimin untuk membela diri. Jihad membela diri saat diserang atau dikepung musuh lebih sulit daripada jihad menyerang, karena jihad membela diri mirip dengan mengusir musuh yang berbahaya. Oleh karena mengusir musuh yang membahayakan agama terhitung jihad dan qurbah (hal mendekatkan diri kepada Allah). Mengusir musuh yang membahayakan harta dan jiwa adalah hal yang boleh dan ada keringanan. Kalau terbunuh karenanya, ia terhitung mati syahid. Karenanya, dalam kondisi ini, setiap orang diwajibkan untuk menegakkan dan berjihad untuk mengusir musuh.
Ada dua cara dalam menegakkan jihad membela diri ini:
1.    Meminta pertimbangan kepada penguasa (pemerintah) dalam hal pengumpulan pasukan dan persiapan peperangan untuk menghadapi musuh, apabila keadaan memungkinkan untuk menyerahkan urusan tersebut kepada penguasa. Hal ini diwajibkan bagi kaum Muslimin karena hukum asal jihad itu adalah harus dengan ijin penguasa. Sebagaimana yang dilakukan kaum Muslimin di masa Rasulullah SAW pada saat perang Khandaq di mana musuh Islam waktu itu mengepung dari segala penjuru Madinah.
2.    Berperang membela diri sendiri sesuai kemampuan apabila musuh telah menyerang kaum Muslimin, sedang kaum Muslimin tidak mampu dan tidak memiliki waktu untuk mengatur urusan dengan menghimpun pasukan dan mempersiapkan peperangan bersama penguasa. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada perbedaan antara laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa dan lain-lain.[15]
Dalam kondisi seperti inilah teror dan hadis-hadis yang bernuansa kekerasan menemukan momentumnya. Saat negeri kaum Muslimin diserang dan diinjak-injak oleh orang-orang kafir yang zalim, yang merupakan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh Islam, saat kondisi seperti ini, maka hadis-hadis seperti:
"Ketahuilah oleh kalian bahwa surga itu berada dibawah naungan pedang”.

“Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia perperang di jalan Allah 'azza wajalla”.

“Barangsiapa meninggal sedang ia belum pernah ikut berperang atau belum pernah meniatkan dirinya untuk berperang, maka ia mati di atas cabang kemunafikan.”

“Berjihadlah kalian dengan harta kalian, dengan jiwa kalian dan lidah kalian”

dan hadis-hadis lainnya (yang semakna) harus dikumandangkan ke segenap penjuru negeri Muslim untuk tegaknya agama Allah dan kehormatan Islam.

F.       Melawan Kebodohan Dulu Baru Menegakkan Syari’at Islam
Dalam suasana Indonesia yang damai dan tenteram, jihad yang paling tepat adalah Jihâd al-Nafs, yaitu jihad dalam memperbaiki diri sendiri. Memperbaiki diri agar senantiasa beriman dan bertakwa kepada Allah, memperbaiki diri agar terhindar dari kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan, baik kebodohan dalam beragama maupun kebodohan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan bekal iman, takwa, kemampuan materi dan kealiman dalam beragama serta kepandaian dalam ilmu pengetahuan dan berteknologi, niscaya bangsa Indonesia mampu melaksakan Jihâd al-Syaithân, yaitu jihad melawan setan. Mampu melawan tipu daya setan yang merasuk dalam setiap dimensi pergaulan dan kehidupan. Dengan demikian, Jihâd arbâb al-zhulm wa al-bid`ah wa al-munkarât, jihad menghadapi orang-orang zalim, ahli bid’ah dan pelaku kemunkaran dapat ditegakkan. Korupsi misalnya, yang menjadi penyakit laten bangsa ini dapat dikikis habis, karena pangkal dari segala korupsi adalah tipu daya setan, seperti main perempuan, judi, serta kemasiatan-kemaksiatan lain.
Dengan konsisten melakukan jihad-jihad di atas, di dalam negeri damai seperti Indonesia, niscaya tanpa disadari, dengan sendirinya syariat Islam akan tegak. Karena hakikat tegaknya syariat Islam dalam sebuah negara, sangat tergantung kepada sikap dan perilaku setiap warga negaranya.

G.      Penutup
Setelah diuraikan secara panjang lebar di atas, dapat disimpulkan bahwa segala bentuk aksi terorisme yang terjadi selama ini, jauh dari ajaran Islam. Persoalannya adalah bagaimana seharusnya memaknai ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi sesuai kepada tempat dan kondisinya. Untuk menuju jalan kebenaran memaknai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi, seharusnya dikembalikan pemahamannya sebagaimana yang telah diajarkan oleh ulama-ulama salaf yang alim dan penuh kehati-hatian dalam memahaminya. Untuk itu, fikih yang telah dirumuskan olah imam-imam besar yang lahir di masa-masa keemasan Islam, hendaknya dikaji kembali untuk menuntun diri dan umat menuju jalan yang diridlai Allah SWT. 
Hanya Allah Yang Maha Tahu



[1] Dr. Muhammad Aziz Syukri, al-Irhaab al-Dawliy, hal 21. dinukil oleh Dzulqarnain M Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, (Makassar: Pustaka As-Sunnah, 2006) cet 1, hlm 125.
[2] Dr. Haitsam al-Kailaniy,  al-Irhab Yu’assisu al-Daulah, hlm 17. dinukil oleh Dzulqarnain M Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, (Makassar: Pustaka As-Sunnah, 2006) cet 1, hlm 125.
[3] Ibid.
[4] Bagian pertama dari kesepakatan bangsa-bangsa Arab menghadapi terorisme, lihat Dr ‘Âdil ‘Abd al-Jabbâr, Al-Irhâb fî Mîzân al-Syar’iyyah, hlm 20
[5] Bayân Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah fî al-Azhar bi Sya’ni Dlâhirah al-Irhâb 1422 H.
[6] Dzulqarnain M Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, (Makassar: Pustaka As-Sunnah, 2006) cet 1, hlm 128-130
[7] Dinukil dari al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah pada bab pembahasan Jihad.
[8] Lihat Fath al-Bârî 6/5.
[9] Dinukil dari al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah pada bab pembahasan Jihad.
[10] Lihat Fath al-Bârî 6/4-5
[11] Dzulqarnain M Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, (Makassar: Pustaka As-Sunnah, 2006) cet 1, hlm 57-64.
[12] Ibid, hlm 65.
[13] Lihat al-Mughniy 13/16
[14] Lihat Fath al-Bârî 6/4-5
[15] Dzulqarnain M Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, (Makassar: Pustaka As-Sunnah, 2006) cet 1, hlm 105.

Tidak ada komentar:

Entri Populer