Oleh: Tsalis Muttaqin, Lc., M.S.I.
A.
Pendahuluan
Sejak peristiwa pembajakan pesawat yang meluluh-lantakkan
gedung kembar WTC yang menjadi lambang supremasi Amerika sebagai negara adi
daya pada 2001, dunia dikejutkan dengan sebuah realitas yang tidak terduga
sebelumnya. Realitas tersebut adalah adanya gerakan-gerakan terselubung yang
berada di lingkungan umat Islam yang memakai simbol-simbol Islam untuk melawan
dominasi dan hegemoni Amerika dan Eropa dengan cara-cara melakukan teror.
Adalah gerakan teroris al-Qaedah di bawah pimpinan Usamah bin Laden sebagai
pihak tertuduh dan harus bertanggung jawab atas segala aksi terorisme yang
merajalela hampir di seluruh belahan dunia.
Di
Indonesia, setahun kemudian, dunia dikejutkan dengan bom Bali yang menewaskan
sekian banyak warga negara asing dan warga setempat. Pihak berwenang Indonesia
akhirnya menemukan dan menghukum mati para pelaku pengeboman tersebut yang
ternyata anggota jaringan teroris di Asia Tenggara, Jamaah Islamiyah (JI).
Lagi-lagi, realitas menunjukkan bahwa gerakan teror tersebut berada di lingkungan
umat Islam dan memakai simbol-simbol Islam.
Selanjutnya,
dalam konteks Indonesia, gerakan teror bermunculan silih berganti dari tahun ke
tahun. Yang terakhir, tepatnya September 2011, adalah teror bom bunuh diri yang
terjadi di sebuah gereja di Solo. Tragisnya,
yang menjadi sasaran selalu saja Islam dan umat Islam sebagai biang dari aksi
teror tersebut. Memang harus diakui, bahwa aksi-aksi teror dan tindakan yang
merusak tersebut, didukung dengan bukti-bukti dan data-data yang terungkap di
tempat kejadian perkara, dilakukan oleh kelompok umat Islam yang
mengatasnamakan diri sebagai kelompok Islam, seperti al-Qaedah, Jamaah
Islamiyyah dan yang lainnya.
Ada dugaan bahwa doktrin yang digunakan
kelompok jaringan teroris tersebut adalah memanfaatkan ayat-ayat al-Qur’an dan
hadis-hadis Nabi yang bernuansa kekerasan. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis
Nabi tersebut dimaknai secara harfiyah (tekstual) dengan tanpa memperdulikan
dengan ayat-ayat lain atau hadis-hadis lain, serta sebab-sebab diturunkankanya
ayat atau sebab munculnya sabda Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam
yang menjadi konteks ayat tersebut. Dengan bahasa yang lebih spesifik,
ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut dimaknai tidak sesuai dengan kaedah-kaedah
ijtihad yang ditetapkan al-Qur’an dan Hadis, sebagaimana yang dipahami oleh
ulama salaf shaleh.
Untuk kepentingan meluruskan pemahaman terhadap
doktrin-doktrin Islam yang bernuansa kekerasan, makalah ini mengambil tema
mengenai hadis-hadis yang bernuansa kekerasan.
B. Teror dan Hadis-hadis Bernuansa Kekerasan
Coba
Anda bayangkan jika hadis-hadis ini secara berulang-ulang dibacakan secara
harfiyah dan diterjemahkan secara harfiyah pula dengan suara lantang dan
berapi-api kepada anak-anak muda yang berumur belasan tahun dan pengetahuan
agamanya masih mentah. Kemudian bayangkan beberapa bulan dan beberapa tahun
kemudian, lihatlah apa yang terjadi !
1.
عَنْ
مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ سَالِمٍ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ
اللَّهِ وَكَانَ كَاتِبَهُ قَالَ كَتَبَ إِلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي
أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ (رواه البخاري)
Artiya:
Dari Mûsâ bin `Uqbah dari Sâlim Abî Al-Nadlar, mantan budak (yang telah
dimerdekakan oleh) `Umar bin `Ubaidillâh -dia adalah juru tulisnya- berkata;
`Abdullâh bin Abî Aufâ radliallâhu `anhumâ menulis surat kepadanya bahwa
Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda: "Ketahuilah oleh
kalian bahwa surga itu berada dibawah naungan pedang". (H.R. Bukhârî)
2.
عَنْ أَبِي مُوسَى اَلْأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم "مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اَللَّهِ هِيَ
اَلْعُلْيَا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اَللَّهِ" مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Abû
Mûsâ al-Asy`arî radliallâhu `anhu bahwa Rasulullah shallallâhu
`alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat
Allah, maka dia perperang di jalan Allah 'azza wa jalla." (Muttafaqun `Alaih)
3.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَ ضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " مَنْ مَاتَ وَلَمْ
يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ، مَاتَ
عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ" رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Artinya: Dari Abû
Hurairah radliallâhu `anhu dia berkata, "Rasulullah shallallâhu
`alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa meninggal sedang ia belum
pernah ikut berperang atau belum pernah meniatkan dirinya untuk berperang, maka
ia mati di atas cabang kemunafikan." (H.R. Muslim)
4.
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
قَالَ: " جَاهِدُوا اَلْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ،
وَأَنْفُسِكُمْ، وَأَلْسِنَتِكُمْ" رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَالنَّسَائِيُّ، وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ.
Artinya:
Dari Anas radliallâhu `anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallâhu
`alaihi wasallam bersabda: “Berjihadlah kalian dengan harta kalian, dengan
jiwa kalian dan lidah kalian” (H.R. Ahmad dan al-Nasâ’î, di-shahih-kan
oleh al-Hâkim).
5.
عَنِ
الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ أَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَجُلٌ مُقَنَّعٌ بِالْحَدِيدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُقَاتِلُ أَوْ أُسْلِمُ قَالَ أَسْلِمْ ثُمَّ قَاتِلْ فَأَسْلَمَ
ثُمَّ قَاتَلَ فَقُتِلَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَمِلَ قَلِيلًا وَأُجِرَ كَثِيرًا. رواه البخاري.
Artinya:
Al-Barâ’ radliallâhu `anhu berkata; Ada seorang laki-laki bertopeng besi
datang menemui Nabi shallallâhu `alaihi wasallam seraya berkata:
"Apakah aku berperang atau masuk Islam lebih dulu?" Maka Beliau
bersabda: "Kamu masuk Islam dulu kemudian berperang". Maka laki-laki
itu masuk Islam lalu berperang hingga terbunuh. Kemudian Rasulullah shallallâhu
`alaihi wasallam bersabda: "Orang ini amalnya sedikit namun diberi
pahala yang banyak". (H.R. al-Bukhârî).
6.
عَنِ
ابْنُ عُمَر رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: أُمِرْتُ
أَنْ أُقاتِلَ النَّاسَ حَتّى يَشْهَدوا أَنْ لا إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّداً رَسُولُ اللهِ، وَيُقيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاةَ، فَإِذا
فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوالَهُمْ إِلاّ بِحَقِّ
الإسْلامِ، وَحِسابُهُمْ عَلى اللهِ (متفق عليه)
Artinya: dari Ibnu `Umar radliallâhu `anhumâ,
bahwa Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam telah bersabda: "Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada tuhan
kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan
shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah
memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan
perhitungan mereka ada pada Allah". (Muttafaqun ‘Alaih)
7.
عن أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
يَقُولُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا ، فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ ، فَبِقَلْبِهِ ،
وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ " (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Abû Sa`îd al-Khudrî radliallâhu `anhu, berkata, "Aku dengar
Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa di
antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan
tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak
mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah
iman." (H.R. Muslim)
C. Ibadah dan Hadis-hadis Bernuansa Kesabaran
Jika di
atas telah dikemukakan hadis yang bernuansa kekerasan, sekarang marilah kita
ikuti hadis-hadis yang bernuansa kesabaran. Tentu saja harus dibaca dengan akal
budi dan kehalusan perasaan.
Telah
menjadi ketentuan Allah SWT dalam kehidupan, manusia dalam meraih cita-cita dan
idealisme yang harapkannya menghadapi adanya ujian dan cobaan serta berbagai
rintangan dan hambatan. Hal itu merupakan keniscayaan dari Allah yang tak akan
berubah sampai hari kiamat kelak.
Allah
SWT mengingatkan:
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami
pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya
Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya
sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai
orang-orang yang dzalim.” (Ali Imran: 140)
Di
antara rahmat dan anugerah Allah terhadap orang-orang yang beriman adalah bahwa
segala ujian dan cobaan bisa saja membawa kebaikan bagi orang yang dikehendaki
Allah. Memang ada sebagian manusia yang dihindarkan Allah dari berbagai ujian.
Hal tersebut merupakan anugerah dari
Allah rahmat dan anugerah Allah pula, di samping sebagai buah dari keuntungan
sang hamba dalam menempuh jalan hidupnya yang memberikan jaminan keselamatan
baginya.
Di antara manusia, ada pula yang tertimpa
cobaan dan ujian, tetapi dengan anugerah dan rahmat Allah, dia dapat
menghadapinya dengan kesabaran yang membawa kebaikan bainya. Dalam kaitan ini
Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda:
عَنْ
الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ قَالَ :ايْمُ اللَّهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ
الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنِ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ
جُنِّبَ الْفِتَنُ وَلَمَنْ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهًا (رواه أبو داود)
Artinya:
Dari Al-Miqdâd bin al-Aswad ra., ia berkata, “Demi Allah, aku telah
mendengar Rasulullah shallallâhu `alaihi
wasallam bersabda: “Orang yang bahagia adalah orang
yang terhindar dari fitnah, orang yang bahagia adalah orang yang terhindar dari
fitnah, orang yang bahagia adalah orang yang terhindar dari fitnah dan orang
yang tertimpa musibah lalu bersabar, seraya mengucapkan, "Betapa baiknya
cobaan ini!"” (H.R. Abû Dâwûd)
Dan merupakan anugerah Allah bagi orang-orang yang beriman adalah bahwu justru di saat datangnya masa-masa ujian dan cobaat tersebut dapat dijadikan sarana untuk beribadah dan beramal saleh. Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا
وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا (رواه مسلم وأبو داود)
Artinya:
Dari Abû Hurairah RA, bahwa Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam
bersabda: "Segeralah mengerjakan amal-amal kebaikan, (ketika menghadapi)
fitnah yang seperti malam gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam
keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki
dalam keadaan mukmin, lalu kafir dipagi harinya. Dia menjual agamanya dengan
barang kenikmatan dunia." (H.R. Muslim dan Abû Dâwûd).
Diriwayatkan
pula dalam hadis lain:
عَنْ
مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْعِبَادَةُ فِي الْفِتْنَةِ كَالْهِجْرَةِ إِلَيَّ (رواه أحمد)
Artinya:
Dari Ma`qil bin Yasâr ia berkata; Rasulullah Shallallâhu `alaihi wasallam
bersabda: "Beribadah di zaman fitnah sebagaimana berhijrah kepadaku."
(H.R. Ahmad)
Ayat dan hadis-hadis di atas kiranya dapat
dijadikan landasan dan pedoman hidup pada masa-masa ini, masa yang penuh dengan
ujian bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Di antara ujian dan cobaan terhadap umat Islam
yang kita hadapi saat ini adalah masih berlangsungnya aksi terorisme dan
perusakan yang sampai hari ini, hal tersebut masih saja membawa musibah dan
petaka, serta berbagai dampak negatif lainnya.
D. Makna
Terorisme dalam Syariat Islam
Istilah “irhâbi” atau terorisme tidak ditemukan
dalam literatur Islam klasik. Oleh karenanya, tidak ditemukan pula definisi
tentang terorisme dari kalangan ulama terdahulu (salaf), Hal tersebut
disebabkan penggunaan kata terorisme, dengan pengertian kontemporer, bermula
dari ideologi Eropa pada masa revolusi prancis tahun 1789-1794 M., walaupun
pada masa Yunani kuno, Romawi dan abad permulaan masehi telah tercatat beberapa
kejadian terorisme.[1]
Meskipun kata terorisme pada
beberapa tahun terakhir ini merupakan kata yang banyak digunakan, dalam mendefinisikan
kata tersebut terjadi perbedaan pendapat di beberapa kalangan. Persatuan Bangsa
Bangsa (PBB) mendifinisikan, terorisme yaitu perbuatan-perbuatan yang
membahayakan jiwa yang tidak berdosa, atau menghancurkan kebebasan asasi, atau
melanggar kehormatan manusia.[2]
Menurut peraturan internasional, terorisme ialah sejumlah perbuatan yang
dilarang oleh peraturan-peraturan kenegaraan pada kebanyakan negara.[3]
Dalam kesepakatan bangsa-bangsa Arab dalam
menghadapi terorisme dikatakan bahwa: Terorisme adalah setiap perbuatan berupa
aksi-aksi kekerasan atau memberi ancaman dengan kekerasan, apapun pemicu dan maksudnya.
Aplikasinya terjadi pada suatu perbuatan dosa secara individu maupun kelompok,
dengan target melemparkan ketakutan di tengah manusia, atau membuat mereka
takut, atau memberikan bahaya pada kehidupan, kebebasan, atau keamanan mereka,
atau meletakkan bahaya pada suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan
(umum maupun khusus), atau menduduki atau menguasainya, atau memberikan bahaya
pada salah satu sumber daya/aset negara.[4]
Majma` Buhûts al-Islâmiyyah
di al-Azhar menyebutkan bahwa terorisme adalah membuat takut orang-orang yang
aman, menghancurkan kemaslahatan, tonggak-tonggak kehidupan mereka, dan (perbuatan)
melampaui batas terhadap harta, kehormatan, kebebasan dan kemuliaan manusia
dengan penuh kesewenang-wenangan dan kerusakan di muka bumi.[5]
Selama tdak ada persamaan persepsi
mengenai definisi terorisme, hendaknya definisi-definisi dari pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan tertentu dalam
penggunaan kata terorisme tersebut ditinggalkan. Hendaknya yang diperhatikan
adalah definisi yang telah disebutkan oleh ulama-ulama sekarang dalam masalah
ini.
Dalam sebuah wawancara mengenai irhâb
‘terorisme’ dengan harian al-Syarq al-Awstah., Prof. Dr. Syaikh Shâlih
Ghânim al-Sadlân menjelaskan pengertian terorisme: “Bila kita hendak berbicara
mengenai irhâb, sudah selayaknya untuk meletakkan gambaran makna tentang
irhâb, baik irhâb itu secara
bahasa maupun sesuatu yang dimasud dengannya secara istilah.
Irhâb secara bahasa adalah
sesuatu yang menyebabkan kepanikan, ketakutan, membuat gelisah orang-orang yang
aman, menyebabkan kegoncangan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dan
menghentikan aktivitas mereka, serta menimbulkan gangguan dalam keamanan,
kehidupan dan interaksi.
Adapun makna irhâb secara syariat adalah
segala sesuatu yang menyebabkan goncangan keamanan, pertumpahan darah,
kerusakan harta, atau perbuatan lain yang melampaui batas dengan berbagai macam
bentuknya. Semua hal ini dinamakan irhaab.
Allah Ta’âlâ berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ
الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
Artinya:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, (yang dengan persiapan itu) kalian
menggentarkan (meng-irhâb/menteror) musuh Allah dan musuh kalian.” (Q.S.
al-Anfaal: 60).
Yakni, (persiapan) itu menyebabkan ketakutan
pada musuh-musuh kalian dan pengurungan keinginan mereka yang tidak baik
terhadap kaum Muslimin dan hal lain. Inilah makna irhâb secara istilah.
Berpijak dari keterangan di atas, tampak bahwa irhâb
kadang diperbolehkan kadang diharamkan. Al-Irhâb beraneka ragam hukumnya
tergantung dari maksudnya. Keberadaan kita (Negeri Muslim) dalam mempersiapkan
diri, menambah kekuatan, melakukan latihan militer dan penggunaan senjata,
membuat senjata dan menyiapkan kekuatan yang membuat rasa takut (irhâb) terhadap
musuh sehingga tidak lancang kepada kita, agama, akidah dan individu-indivitu
umat. Hal ini adalah perkara yang dituntut keberadaannya pada kaum Muslimin
atau negeri-negeri Muslim. Maka, kaum Muslimin tidak boleh dilengahkan dengan
hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti kemewahan dan gemerlapnya kehidupan,
sehingga lengah dari ancaman dan sasaran musuh-musuh mereka.
Bahkan mereka diwajibkan untuk memiliki
kekuatan sebagaimana firman Allah:
تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
Artinya:
“(yang dengan kekuatan itu) kalian menggentarkan (meng-irhâb/menteror)
musuh Allah dan musuh kalian.” (Q.S. al-Anfaal: 60).
Nabi Muhammad Shallallâhu `alaihi wasallam
juga bersabda:
وَنُصِرْتُ
بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ
Artinya:
“Dan aku dtolong dengan al-ru`bi (timbulnya rasa takut/gentar pada
musuh) selama perjalanan satu bulan.” (Hadis Muttafaq `Alaih, riwayat
dari Jabir bin Abdullâh radliyallâhu `anhu.)
Inilah irhâb
yang disyari’atkan.
Adapun al-irhâb yang dilarang
adalah sesuatu yang dikerjakan oleh pelakunya dengan cara mendatangi
tempat-tempat yang berada dalam keadaan aman, tenteram dan lapang yang tidak
mempunyai urusan dengan masalah kekuatan, peperangan dan kezaliman, lalu
menyergap mereka secara tiba-tiba dengan pembunuhan, perusakan harta benda,
atau perbuatan yang menimbulkan berbagai macam ketakutan, atau selain itu, baik
dari kalangan orang kafir maupun kaum Muslimin. Kecuali jika dalam suasana
perang antara Muslim dengan negara harbî. Jika negara Muslim
sedang berperang dengan negara kafir dan antara keduanya tidak ada perjanjian (mu`ahad)
dan antara keduanya ada peperangan dan saling menyerang secara tiba-tiba, dalam
keadaan ini, kaum Muslimin diperbolehkan untuk melakukan sesuatu yang bisa
mengalahkan musuh mereka, dan menahan musuh, serta menahan kezalimannya. Semua
itu boleh dilakukan untuk mengembalikan harta benda mereka yang dirampas musuh,
menjaga bumi dan kehormatan mereka.
Adapun tentang hal-hal yang
berkaitan dengan irhâb terhadap orang-orang yang aman dan lengah dari
kalangan kaum Muslimin, orang-orang kafir dan lainnya, mereka itu tidak boleh
diserang secara tiba-tiba. Lebih-lebih kalau antara kaum Muslimin dan
bangsa-bangsa ini ada perjanjian (mu`ahad)”.[6]
E. Prinsip-prinsip
Jihad dalam Syariat Islam
Meluruskan pemahaman tentang makna jihad adalah
suatu yang urgen dan niscaya pada masa ini. Sisi pentingnya terlihat dari
berbagai kejadian yang melanda manusia dan kemanusiaan dalam bentuk aksi-aksi
peledakan, penculikan, pembajakan, kekerasan dan lainnya, yang oleh pelakunya
dinamakan “jihad” atau ditampilkan kepada publik dengan label jihad. Di pihak
lain, ada sementara orang yang menganggap bahwa perilaku tersebut sebagai
perbuatan yang tidak ada relevansinya dengan jihad yang bersumber dari syariat
Islam.
Secara etimologi, jihad dapat
berarti kepayahan, kesulitan, atau mencurahkan segala daya upaya, yaitu
mencurahkan segala upaya untuk meraih sesuatu yang berat dan sulit.
Al-Raghib al-Ashbahanî (w. 502 H)
berkata: Jihad adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala kemampuan dalam
melawan musuh dengan tangan, lisan atau apa saja yang ia mampu. Jihad itu ada
tiga macam: 1) jihad melawan musuh yang tampak, 2) jihad melawan setan dan 3)
jihad melawan diri sendiri. Ketiganya tercakup dalam firman Allah Ta`âlâ:
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
Artinya:
“Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan sebenar-benarnya Jihad.” (Q.S.
al-Hajj: 78).[7]
Adapun secara terminologi, al-Hâfidz
Ibnu Hajar al-`Asqalânî mendefinisikan jihad, sebagai “Mencurahkan
segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir.”[8]
Dalam al-Mausû`ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah, disebutkan kesimpulan para ahli fiqih bahwa jihad secara
istilah yaitu: “Seorang Muslim memerangi orang kafir yang tidak berada dalam
perjanjian damai, setelah orang kafir tersebut didakwahi dan diajak kepada
Islam, guna meninggikan kalimah Allah”.[9]
Ibnu Hajar menjelaskan, “Awal
disyariatkannya jihad adalah setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah
menurut kesepakatan para ulama”.[10]
Ulama sepakat atas kewajiban jihad. Al-Qur’an
dan Hadis penuh dengan nash-nash yang menunjukkan syariat, anjuran dan
keutamaan jihad. Di antaranya yaitu firman Allah Ta`âlâ:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ
هُمُ الْفَائِزُون
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan
harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan
itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (Q.S. al-Taubah: 20)
Sementara di antara hadis-hadis Nabi shallallâhu `alaihi wasallam,
yaitu:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَغَدْوَةٌ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. متفق عليه.
Artinya:
“Dari Anas bin Mâlik radliallâhu `anhu dari Nabi shallallâhu `alaihi
wasallam bersabda: "Pergi keluar berperang di jalan Allah pada awal
(pagi) hari atau pergi keluar berperang pada akhir (siang) hari lebih baik dari
pada dunia dan seisinya". (Muttafaq `Alaih)
Beberapa
prinsip penting berkaitan dengan jihad melawan orang kafir ialah:
Pertama, jihad memerangi musuh hanyalah salah satu
sarana dan dakwah untuk menegakkan agama Allah di muka bumi, bukan tujuan.
Firman Allah Ta’âlâ:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ
فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
Artinya:
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi
kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang
dzalim.” (Q.S. al-Baqarah: 193)
Sabda
Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam:
مَنْ
قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا
فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Artinya:
"Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia perperang
di jalan Allah 'azza wa jalla." (Muttafaqun `alaih)
Kedua, tidak
ada perang terhadap orang kafir yang belum mendengar dakwah Islam, kecuali
setelah menawarkan keislaman kepada mereka atau menolak membayar jizyah
(pajak).
Ketiga, tidak ada perang terhadap mereka yang
mengumandangkan adzan dan menegakkan shalat.
Keempat, meminta ijin kepada orang tua untuk berjihad.
Kelima, syariat jika akan berlanjut hingga hari
kiamat.[11]
Jihad fî
sabîlillâh, dalam syariat Islam, tidak hanya bermakna memerangi orang-orang
kafir saja. Jihad, menurut pandangan syariat dalam pengertian umum meliputi
beberapa hal;
1.
Jihâd
al-Nafs, yaitu
jihad dalam memperbaiki diri sendiri.
2.
Jihâd
al-Syaithân, yaitu
jihad melawan setan.
3.
Jihâd al-Kuffâr
wa al-Munâfiqîn, yaitu
jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munafiq.
4.
Jihâd
arbâb al-zhulm wa al-bid`ah wa al-munkarât, jihad
menghadapi orang-orang zalim, ahli bid’ah dan pelaku kemunkaran.[12]
Penjelasan
tentang jihad melawan orang-orang kafir secara fisik merupakan kajian
terpenting dalam pembahasan ini. Telah tercatat dalam sejarah dari masa ke
masa, banyak orang yang salah melangkah dalam masalah jihad disebabkan oleh
ketidakpahaman mereka tentang masalah jihad melawan orang-orang kafir secara
fisik ini. Hal ini disebabkan suatu ketergelinciran yang sangat besar, karena
pembahasan tertang jihad fisik tersebut sangat jelas dalam kitab-kitab fikih
yang menerangkan pembahasan jihad.
Jihad
melawan orang kafir secara fisik dibagi dua:
Pertama, jihad menyerang.
Yang dimaksudkan dengan jihad jenis ini yaitu kaum Muslimin yang memulai
penyerangan terhadap orang-orang kafir setelah menawarkan untuk memeluk Islam
atau membayar jizyah (pajak).
Dalil-dalil
tentang hal ini sangat jelas dari sunnah Rasulullah shallallâhu `alaihi
wasallam, yaitu tatkala berada di Madinah, beliau mengirimkan pasukan untuk
menyerbu manusia agar memeluk Islam, yang pengobaran perang peperangan dibangun
atas seruan tersebut. Bahkan beliau menegaskan:
“Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada tuhan
kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan
shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian, maka mereka telah
memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan
perhitungan mereka ada pada Allah”. (Muttafaqun ‘Alaih)
Hadis
ini adalah nash yang tegas tentang disyariatkannya jihad dalam arti
menyerang. Selain itu, sejumlah ayat dan hadis yang telah disebutkan terdahulu
juga termasuk nash umum yang menganjurkan untuk menegakkan jihad model
ini.
Selanjutnya,
jihad menyerang ini hanya disyariatkan bila terpenuhi tiga syarat berikut ini:
1. Dipimpin
oleh keseorang kepala negara. Di antara dalil-dalil syarat ini yaitu hadis
riwayat Abu Hurairah:
“Barang siapa yang taat kepadaku berarti dia
telah taat kepada Allah dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku berarti dia
telah bermaksiat kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti
dia telah taat kepadaku dan barang siapa yang bermaksiat kepada pemimpin
berarti dia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah
laksana perisai, peperangan dilaksanakan dibelakangnya dan ia dijadikan sebagai
pelindung”. (H.R.Muslim)
Hadis di
atas menunjukkan seorang Muslim harus berkomitmen terhadap jamaah dan
pemimpinnya (baca: kepala negara). Maka orang yang berjihad tanpa disertai
pemimpinnya atau tidak mendapat ijin dari pemimpinnya, maka jihad yang
dilakukan tersebut jihad yang bid’ah yang tidak disyariatkan.
Dalam
kaitan ini Ibnu Quddâmah (w.602 H.) menegaskan:
“Persoalan jihad dikembalikan kepada seorang
imam (kepala negara) dan ijtihadnya, yang rakyat wajib taat kepadanya terhadap
perihal yang ia tetapkan dalam hal tersebut”.[13]
Demikian
keterangan yang menunjukkan bahwa para ulama sama sekali tidak membenarkan
penegakan hukum jihad menyerang tanpa seijin imam (kepala negara)
2. Mempunyai
kekuatan. Syarat ini telah dimaklumi dalam nash al-Qur’an dan hadis.
Banyak dalil yang menunjukkan bahwa dalam berjihad disyaratkan adanya kemampuan dan kekuatan dalam menegakkannya.
Jika syarat ini tidak terpenuhi, gugurlah kewajiban jihad terhadap kaum
Muslimin hingga mereka punya kekuatan.
3. Adanya
negara atau wilayah kekuasaan. Kewajiban jihad secara fisik bagi kaum Muslimin
adalah setelah terbentuknya negara Islam di Madinah dan Nabi SAW sendiri adalah
pemimpin mereka. Ibnu Hajar berkata: “Awal disyariatkannya jihad adalah
setelah hijrah Nabi SAW ke Madinah, menurut kesepakatan para ulama”.[14]
Kedua, jihad membela
diri. Yaitu apabila orang-orang kafir menyerang kaum Muslimin atau mengepung
negeri kaum Muslimin. Dalam kondisi seperti ini, diwajibkan bagi kaum Muslimin
untuk membela diri. Jihad membela diri saat diserang atau dikepung musuh lebih
sulit daripada jihad menyerang, karena jihad membela diri mirip dengan mengusir
musuh yang berbahaya. Oleh karena mengusir musuh yang membahayakan agama terhitung
jihad dan qurbah (hal mendekatkan diri kepada Allah). Mengusir musuh
yang membahayakan harta dan jiwa adalah hal yang boleh dan ada keringanan.
Kalau terbunuh karenanya, ia terhitung mati syahid. Karenanya, dalam kondisi
ini, setiap orang diwajibkan untuk menegakkan dan berjihad untuk mengusir
musuh.
Ada dua
cara dalam menegakkan jihad membela diri ini:
1. Meminta
pertimbangan kepada penguasa (pemerintah) dalam hal pengumpulan pasukan dan
persiapan peperangan untuk menghadapi musuh, apabila keadaan memungkinkan untuk
menyerahkan urusan tersebut kepada penguasa. Hal ini diwajibkan bagi kaum
Muslimin karena hukum asal jihad itu adalah harus dengan ijin penguasa.
Sebagaimana yang dilakukan kaum Muslimin di masa Rasulullah SAW pada saat
perang Khandaq di mana musuh Islam waktu itu mengepung dari segala penjuru
Madinah.
2. Berperang
membela diri sendiri sesuai kemampuan apabila musuh telah menyerang kaum
Muslimin, sedang kaum Muslimin tidak mampu dan tidak memiliki waktu untuk
mengatur urusan dengan menghimpun pasukan dan mempersiapkan peperangan bersama
penguasa. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada perbedaan antara laki-laki,
perempuan, anak kecil, orang dewasa dan lain-lain.[15]
Dalam
kondisi seperti inilah teror dan hadis-hadis yang bernuansa kekerasan
menemukan momentumnya. Saat negeri kaum Muslimin diserang dan diinjak-injak
oleh orang-orang kafir yang zalim, yang merupakan musuh-musuh Allah dan
musuh-musuh Islam, saat kondisi seperti ini, maka hadis-hadis seperti:
"Ketahuilah oleh kalian bahwa surga itu
berada dibawah naungan pedang”.
“Barangsiapa berperang untuk meninggikan
kalimat Allah, maka dia perperang di jalan Allah 'azza wajalla”.
“Barangsiapa meninggal sedang ia belum pernah
ikut berperang atau belum pernah meniatkan dirinya untuk berperang, maka ia
mati di atas cabang kemunafikan.”
“Berjihadlah kalian dengan harta kalian, dengan
jiwa kalian dan lidah kalian”
dan hadis-hadis
lainnya (yang semakna) harus dikumandangkan ke segenap penjuru negeri Muslim
untuk tegaknya agama Allah dan kehormatan Islam.
F.
Melawan
Kebodohan Dulu Baru Menegakkan Syari’at Islam
Dalam suasana
Indonesia yang damai dan tenteram, jihad yang paling tepat adalah Jihâd al-Nafs, yaitu
jihad dalam memperbaiki diri sendiri. Memperbaiki diri agar senantiasa beriman
dan bertakwa kepada Allah, memperbaiki diri agar terhindar dari kemiskinan,
keterbelakangan dan kebodohan, baik kebodohan dalam beragama maupun kebodohan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan
bekal iman, takwa, kemampuan materi dan kealiman dalam beragama serta
kepandaian dalam ilmu pengetahuan dan berteknologi, niscaya bangsa Indonesia mampu
melaksakan Jihâd al-Syaithân, yaitu jihad melawan setan. Mampu melawan
tipu daya setan yang merasuk dalam setiap dimensi pergaulan dan kehidupan.
Dengan demikian, Jihâd arbâb al-zhulm wa al-bid`ah wa al-munkarât, jihad
menghadapi orang-orang zalim, ahli bid’ah dan pelaku kemunkaran dapat
ditegakkan. Korupsi misalnya, yang menjadi penyakit laten bangsa ini dapat
dikikis habis, karena pangkal dari segala korupsi adalah tipu daya setan,
seperti main perempuan, judi, serta kemasiatan-kemaksiatan lain.
Dengan
konsisten melakukan jihad-jihad di atas, di dalam negeri damai seperti
Indonesia, niscaya tanpa disadari, dengan sendirinya syariat Islam akan tegak.
Karena hakikat tegaknya syariat Islam dalam sebuah negara, sangat tergantung
kepada sikap dan perilaku setiap warga negaranya.
G. Penutup
Setelah
diuraikan secara panjang lebar di atas, dapat disimpulkan bahwa segala bentuk
aksi terorisme yang terjadi selama ini, jauh dari ajaran Islam. Persoalannya
adalah bagaimana seharusnya memaknai ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi sesuai
kepada tempat dan kondisinya. Untuk menuju jalan kebenaran memaknai ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi, seharusnya dikembalikan pemahamannya
sebagaimana yang telah diajarkan oleh ulama-ulama salaf yang alim dan penuh
kehati-hatian dalam memahaminya. Untuk itu, fikih yang telah dirumuskan olah
imam-imam besar yang lahir di masa-masa keemasan Islam, hendaknya dikaji
kembali untuk menuntun diri dan umat menuju jalan yang diridlai Allah SWT.
Hanya
Allah Yang Maha Tahu
[1]
Dr. Muhammad Aziz Syukri, al-Irhaab al-Dawliy, hal 21. dinukil oleh
Dzulqarnain M Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, (Makassar: Pustaka
As-Sunnah, 2006) cet 1, hlm 125.
[2]
Dr. Haitsam al-Kailaniy, al-Irhab
Yu’assisu al-Daulah, hlm 17. dinukil oleh Dzulqarnain M Sunusi, Antara
Jihad dan Terorisme, (Makassar: Pustaka As-Sunnah, 2006) cet 1, hlm 125.
[3]
Ibid.
[4]
Bagian pertama dari kesepakatan bangsa-bangsa Arab menghadapi terorisme, lihat
Dr ‘Âdil ‘Abd al-Jabbâr, Al-Irhâb fî Mîzân al-Syar’iyyah, hlm 20
[5]
Bayân Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah fî al-Azhar bi Sya’ni Dlâhirah
al-Irhâb 1422 H.
[6]
Dzulqarnain M Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, (Makassar: Pustaka
As-Sunnah, 2006) cet 1, hlm 128-130
[7]
Dinukil dari al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah pada bab pembahasan
Jihad.
[8]
Lihat Fath al-Bârî 6/5.
[9]
Dinukil dari al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah pada bab pembahasan
Jihad.
[10]
Lihat Fath al-Bârî 6/4-5
[11]
Dzulqarnain M Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, (Makassar: Pustaka
As-Sunnah, 2006) cet 1, hlm 57-64.
[12]
Ibid, hlm 65.
[13]
Lihat al-Mughniy 13/16
[14]
Lihat Fath al-Bârî 6/4-5
[15]
Dzulqarnain M Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, (Makassar: Pustaka
As-Sunnah, 2006) cet 1, hlm 105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar