Berikut ini kisah Syaikh Muhammad Awwamah,
seorang ulama terkemuka dari Madinah Al-Munawarah saat ini. Syaikh Muhammad
Awwamah menceritakan kisah ketika ia berdiskusi dengan mahasiswanya: “Ketika
aku sedang memberikan kuliah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, salah seorang
mahasiswaku bertanya, “Bagaimana pendapat Tuan tentang upaya untuk
mempersatukan
mazhab
dan membawa manusia kepada satu mazhab saja?”. Mula-mula aku menjawab pendek:
“Upaya ini bertentangan dengan kehendak Allah Azza wa Jalla dalam menetapkan
syari’atnya. Bertentangan dengan Rasulullah Saw, para Sahabatnya, ulama salaf
sesudahnya dan bertentangan dengan akal”.
Kemudian aku menjelaskan. Aku berkata kepada mahasiswaku: “Bukankah Allah,
sejak zaman azali, sudah tahu bahwa orang Arab menggunakan kata Qur’u dalam dua
makna: yakni haid dan bersuci”. Ia menjawab: “Benar”. Aku tanya lagi: “Bukankah
Allah telah tahu sejak zaman azali, bahwa akan terdapat dua orang sahabat
terkemuka, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud. Zaid mengartikan qur’u
adalah bersuci, sedangkan Abdullah bin Mas’ud mengartikannya haid?”. Ia
menjawab: “benar”.Aku kemukakan lagi, lalu mengapa Allah menyampaikan firman-Nya, Tsalâtsata quru-i’ (tiga kali quru’), sehingga menimbulkan pengertian yang berbeda antara Zaid dan Ibnu Mas’ud. Mengapa Allah tidak berfirman: “tiga kali haid” atau “tiga kali bersuci” saja, mungkin tidak akan terjadi khilafiyah. Ada banyak kalimat al-Qur’an maupun Hadits yang bersifat mujmal (umum) sehingga mengundang perbedaan pemaknaan dan penafsiran. Perbedaan pemaknaan inilah yang melahirkan khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan Sahabat dan para ulama dikemudian hari. Hal ini semua merupakan sunnatullah (takdir Allah).
(Lihat, Muhammad Awwamah, Adab al-Ikhtilaf, hal. 23-24).
NB: Alhamdulillah! Saya pernah sowan kepada
beliau, Syaikh Muhammad Awwamah. Kebetulan Putra beliau, Dr Sa’duddin Muhammad
Awwamah adalah teman saya semasa S1 di Fakultas Ushuluddin Jurusan Hadis
Universitas Al-Azhar Cairo Egypt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar