Oleh: Tsalis Muttaqin
A. Pengantar
Berbicara mengenai perbedaan pemikiran antara
Abu Yusuf dan Imam Syafi’i tentang hadits Nabi saw, pada dasarnya adalah
menyelami sebuah dinamika pemikiran di kalangan umat Islam pada suatu generasi
yang secara ilmiah dianggap sebagai generasi keemasan dalam pemikiran Islam.
Masa ini adalah masa-masa permulaan kodifikasi hadits dan fiqih, serta
munculnya para imam yang oleh umat Islam sesudahnya dianggap sebagai pemegang
kepemimpinan madzhab.
Masa-masa ini merupakan masa yang agung bagi As-Sunnah
An-Nabawiyyah. Para perawi-perawi hadits
melihat pentingnya mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadits. Pengertian
pengumpulan hadits di masa ini ialah mengumpulkan hadits-hadits dalam satu
topik tertentu dengan bab-bab yang teratur. Seperti hadits-hadits tentang
shalat, puasa dan lain sebagainya.
Gerakan
pengumpulan hadits ini muncul di hampir seluruh kawasan Islam di dalam
waktu yang hampir bersamaan, sehingga tidak bisa terlacak siapa yang menjadi
perintisnya.[1]
Di antara generasi pertama yang
mengkodifikasikan hadits di masa ini ialah: Imam Malik bin Anas (w. 179 H.) di
Madinah, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (w. 150 H.) di Makkah, Sufyan
Ats-Tsauri (w. 161 H.) di Kufah, Hammaad bin Salamah dan said bin Abu ‘Uruubah
(w. 176 H) di Basrah, Hasyim bin Basyir (w. 188 H) di Wasith, Abdurrahman
Al-Awzaa’i (w. 156 H.) di Syam, Ma’mar bin Rasyid (w. 153 H.) di Yaman,
Abdullah bin Mubarak (w. 181 H.) di Khurasan dan Jarir bin Abdul Hamiid (w. 188
H.) di Ray.[2]
Hal ini terjadi sekitar di atas tahun 140 H.
Waktu itu hadits-hadits yang terkumpul dalam kitab mereka masih tercampur
dengan ucapan para sahabat dan tabi’in, sebagaimana dapat dilihat
dalam “Al-Muwaththa’” karya Imam Malik.[3]
B. Pertentangan Antara Ahli Hadits dan Ahli
Ra’yi
Pada masa-masa ini muncul pertentangan antara
ahli hadits (kelompok tekstualis) dan ahli ra’yi (kelompok rasionalis) dan
pembela-pembela dari setiap kelompok.
Ahli hadits mencari hukum dari teks secara
normatif, tanpa melihat konteks (illat), kenapa suatu hukum ditetapkan.
Mereka sedikit sekali berfatwa
menggunakan pikiran mereka.
Sementara para ahli ra’yi banyak
mempertimbangkan konteks hukum (illatul ahkam) dan mengkaitkan sebagian
masalah kepada masalah lainnya dengan qiyas (analogi).
Mayoritas ulama-ulama Hijaz adalah ahli hadits,
sedangkan ulama-ulama Irak di dominasi oleh ahli ra’yi.[4]
Oleh Karena itu, saat ditanyai soal illat
suatu hukum oleh Rabi’ah, Said bin Musayyab balik bertanya: “Apakah engkau
orang Irak?”[5]
Di antara fuqahaa’ Irak yeng populer dengan
rasionalitas dan analoginya ialah, Ibrahim bin Yazid An-Nakha’i, guru dari guru
Imam Abu Hanifah, Hammaad bin Abu Sulaiman.[6]
Ahli hadits banyak mencela ahli ra’yi, karena
menurut anggapan ahli hadits, mereka meninggalkan sebagian hadits yang ada
padanya. Anggapan ini merupakan kesalahan para ahli hadits. Kita tidak melihat
adanya ahli ra’yi yang mendahulukan qiyas daripada hadits yang ada padanya.
Mereka melakukan qiyas, karena riwayat hadits tentang suatu masalah tidak
sampai kepadanya, atau memang riwayatnya sampai, tetapi mereka menganggap tidak
tsiqah, atau suatu hadits bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat
menurut pandangan ahli ra’yi. Dengan demikian, mereka berfatwa menggunakan pikirannya
(qiyas).[7]
Sufyaan bin ‘Uyainah meriwayatkan dialog antara
Imam Abu Hanifah sebagai ahli ra’yi dan Imam Al-Awzaa’i sebagai ahli Hadits di
perkampungan penjual gandum di Makkah.
Kata Al-Awzaa’i pada Abu Hanifah: “Kenapa
engkau tidak mengangkat tanganmu ketika ruku’ dan bangkit dari ruku’?”.
Jawab Abu Hanifah: “Karena tidak satupun
terdapat (riwayat) yang shahih dari Rasulullah saw”.
Kata Al-Awzaa’i: “Bagimana? Az-Zuhri telah
memberi hadits kepadaku, dari Salim, dari ayahnya, dari Rasulullah saw, bahwasanya
beliau mengangkat kedua tangannya saat memulai shalat, saat ruku’ dan saat
bangkit dari ruku’”.
Jawab Abu Hanifah: “Hammaad memberi hadits
kepadaku dari Ibrahim dari ‘Ulqamah dan Al-Aswad, dari Ibnu Mas’ud,
sesungguhnya Rasulullah saw tidak mengangkat kedua tangannya, kecuali saat
memulai shalat, dan beliau tidak kembali berbuat demikian”
Kata Al-Awzaa’i: “Aku memberi hadits kepadamu
dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, dan kamu mengatakan Hammaad telah
memberi hadits kepadaku, dari Ibrahim?”.
Jawab Abu Hanifah: “Hammaad lebih faqih
daripada Az-Zuhri, Ibrahim lebih faqih daripada Salim, dan ‘Ulqamah
tidaklah berada dibawah Ibnu Umar (dalam hal ke-faqih-an), meskipun Ibnu
Umar lebih utama sebagai seorang sahabat Nabi. Al-Aswad mempunyai banyak kelebihan.
Dan Abullah (Ibnu Mas’ud) adalah Abdullah”.
Maka terdiamlah Al-Awzaa’i.[8]
Dialog ini sengaja diangkat pemakalah sebagai
pengantar memahami perbedaan cara berfikir antara Abu Yusuf dan Imam Syafi’i.
Dimana Abu Yusuf merupakan murid Abu Hanifah dan menyebar fiqih Abu Hanifah
sebagai representasi dari ahli ra’yi, sementara Imam Syafi’i merupakan murid
Imam Malik yang merupakan representasi dari ahli hadits.
C. Sejarah Singkat Abu Yusuf
Beliau populer dengan panggilan Abu Yusuf.
Sedangkan Nama aslinya ialah: Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshariy. Lahir tahun 113
H. Saat masih muda ia sibuk dengan riwayat hadits. Ia meriwayatkan hadits dari
Hisyam bin ‘Urwah, Abu Ishaq Asy-Syaibaaniy, ‘Atha’ bin As-Saa’ib dan beberapa
ulama yang segenerasi dengan mereka. Pertama kali ia belajar fiqih dengan Ibnu
Abi Layla (w. 148 H.). Abu Yusuf belajar kepada Ibnu Abi Layla hanya sebentar,
kemudian meneruskan pelajaran fiqihnya kepada Abu Hanifah (w. 150 H.).
Selanjutnya Abu Yusuf lebih dikenal sebagai
murid Abu Hanifah yang paling besar dan pembela Abu Hanifah yang paling utama.
Ia merupakan orang yang pertama mengarang kitab tentang madzhab Abu Hanifah,
merumuskan beberapa masalah-masalah fiqih Hanafi dan menyebarkannya.
Abu Yusuf yang menyiarkan ilmu Abu Hanifah ke
seluruh penjuru bumi dan mendapat banyak pujian dari kalangan ahli hadits,
meskipun ahli hadits jarang sekali memberikan kata-kata pujian buat
pengikut-pengikut ahli ra’yi.
Yahya bin Ma’iin berkata: “Tidak ada di
kalangan ahli ra’yi yang banyak haditsnya dan bisa dipegang melebihi Abu Yusuf”.
Masih kata Yahya bin Ma’iin: “Abu Yusuf adalah ahli hadits
dan sunnah”.
Abu Yusuf Wafat tahun 183 H.[9]
D. Sejarah Singkat Imam Syafi’i.
Nama lengkap: Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin Utsman
bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin
Al-Muththallib bin ‘Abdu Manaf. Nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah
saw pada ‘Abdu Manaf. Lahir di Ghazah
tahun 150 H. dan wafat di Mesir tahun 204 H. Dia belajar dengan orang-orang
yang terpercaya di masanya. Diceritakan bahwa ia telah hapal Al-Qur’an ketika
masih berumur 7 tahun atau 9 tahun. dan hapal kitab Al-Muwaththa’ ketika masih
berumur 10 tahun.[10]
Guru-Guru Imam Syafi’i di Mekkah : Imam Syafi’i besar
di tumbuh di Mekah dan belajar kepada
Muslim bin Khalid Az-Zanji (w. 180 H.) yang waktu itu menjadi mufti di
Mekkah, Sufyan bin ‘Uyainah Al-Hilali (w. 198 H.), Sa’id bin Salim Al-Qaddaah,
Dawud bin Abdurrahman Al-‘Aththaar daan Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu
Rawwaad.[11]
Guru-guru Imam Syafi’i di Madinah: Saat di Madinah, Imam
Syafi’i belajar kepada Imam Malik bin Anas, Ibrahin bin Sa’d Al-Anshari,
Abdul-Aziz bin Muhamad Ad-Daraawardi, Ibrahim bin Yahya Al-Asaami, Muhammad bin
Said bin Abi Fudaik, dan Abdullah bin Nafi’ Ash-Sha’igh.[12]
Guru-guru Imam Syafi’i di Yaman: Ketika di Yaman beliau
mendengar Hadits dan fiqih dari Mutharrif bin Maazin, Hisyam bin Yusuf yang
menjadi Qadli di Shan’aa, Amr bin Abu Salamah murid Al-Auzaa’i, dan Yahya bin
Hisaan murid Al-Layts bin sa’d.[13]
Guru-guru Imam Syafi’i di Irak: Di Irak Imam Syafi’i
belajar hadits, fiqih dan ilmu-ilmu Al-Qur’an kepada Waki’ bin Al-Jaraah di
Kufah, Abu Usamah Hammad bin Usamah di Kufah, Ismail bin ‘Uliyyah di Basrah,
dan Abdul Wahab bin Abdul Majid di Basrah.[14]
E. Kehujjahan As-Sunnah
menurut Imam Syafi’i.
“Jika engkau tahu ada hadits
dari Rasulullah saw, dan aku tidak menggunakannya, maka kujadikan kalian
sebagai saksi bahwa akalku telah hilang”, demikian Imam Syafi’i
pernah berkata.[15]
Perkataan Imam Syafi’i tersebut menunjukkan bahwa beliau
merupakan seorang Imam yang sangat teguh dalam memegang sunnah Rasulullah saw
sebagai hujjah. Dalam sebuah pernyataannya yang sangat terkenal Imam Syafi’i
berkata:
“Jika ada Hadits
yang shahih, maka itulah madzhabku”.[16]
Dan Imam Syafi’i berkata pula:
“Jika hadits yang ada pada
kalian itu shahih, maka gunakanlah dan tinggalkanlah pendapatku”.[17]
Imam Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban menerima sunnah
merupakan perintah Allah dalam Al-Qur’an di mana kita diwajibkan taat kepada
Rasulullah saw dan tunduk kepada keputusannya, “Orang yang telah menerima dari
Rasulullah saw berarti ia telah menerima yang diwajibkan Allah”.[18]
Imam Syafi’i merupakan pembela yang gigih terhadap hadits
ahad, selama sanadnya tersambung kepada Rasulullah saw dan diriwayatkan oleh
perawi yang tsiqah dari perawi yang tsiqah. Dengan pembelaannya terhadap hadits
dan ahli hadits ini, Imam Syafi’i memperoleh penghargaan yang besar dari
kalangan ahli hadits, sehingga penduduk Baghdad
memberi gelar kepadanya sebagai “Naashir As-Sunnah” (Pembela Sunnah).[19]
F. Naskh Menurut Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa naskh
boleh terjadi dalam Al-Quran. Pendapat ini seirama dengan pendapat jumhur
ulama. Tetapi Imam Syafi’i berpendapat
bahwa Naskh Al-Quran tidak diperbolehkan, kecuali dengan Al-Quran. Me-naskh Al-Quran tidak boleh dengan
As-Sunnah.[20]
Dalil yang dikemukakan Imam Syafi’i di antaranya, yaitu firman Allah SWT:
مَا نَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”.[21]
Kata Imam Syafi’i: “Allah telah memberitakan
dalam ayat ini bahwa me-naskh Al-Quran dan mengakhirkan nasikh
(ayat yang me-naskh) hanya dengan Al-Quran yang sebanding”.[22]
Sedangkan tentang As-Sunnah tidak boleh me-naskh
ayat Al-Quran, Imam Syafi’i memakai dalil firman Allah:
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا
بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْءَانٍ غَيْرِ
هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ
نَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ
رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata,
orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata:
"Datangkanlah Al Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia".
Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.
Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut
jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)".[23]
Kata Imam Syafi’i: “(Dalam ayat ini) Allah
memberitakan, bahwa Dia mewajibkan Nabi untuk mengikuti apa yang diwahyukan
kepadanya dan tidak mengijinkan Nabi untuk mengganti wahyu dari pihak diri Nabi
sendiri, Firman Allah:
قُلْ مَا
يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي
“Katakanlah:
"Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri”,
Menjelaskan apa yang saya katakan, bahwa tidak
bisa me-naskh Kitabullah kecuali Kitabullah”[24]
G.
Hadits Ahad menurut Imam Syafi’i
Seseorang bertanya kepada Imam Syafi’i:
“Katakan kepadaku alasan paling sederhana tentang ahli ilmu sehingga mereka
menetapkan Hadits Ahad sebagai hujjah”.
Imam Syafi’i menjawab: “Hadits ahad yang saya
maksudkan ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang dari satu orang dan
demikian seterusnya sampai kepada sumbernya, yakni Nabi atau sahabat. Hadits
seperti ini tidak bisa dijadikan hujjah (pegangan), kecuali jika orang
yang meriwayatkan terpercaya dalam agamanya, dikenal jujur dalam periwayatan,
memahami apa yang diriwayatkan, menyadari suatu lafadz yang mungkin dapat
mengubah arti hadits, dan hendaknya cakap dalam meriwayatkan kata demi kata
sebagaimana yang dia dengar dan bukan hanya meriwayatkan maksudnya (dengan
menggunakan kata-katanya sendiri, sebab apabila dia hanya meriwayatkan
maksudnya dan tidak menyadari apa yang mungkin dapat mengubah artinya, tidak
diketahui dengan jelas, mungkin dia telah mengubah yang halal kepada yang haram
atau sebaliknya. Apabila dia meriwayatkan kata demi kata, tiada alasan untuk
merasa khawatir akan terjadinya perubahan maksud hadits.
Kemudian, hendaknya dia menghafalnya di luar
kepala apabila meriwayatkannya atas dasar hafalan, atau dia mencatatnya dengan
cermat apabila meriwayatkannya dengan catatan. Dalam periwayatannya tidak
terjadi tadlis”.[25]
H. Abu Yusuf Menolak Hadits Yang Bertentangan Dengan Al-Qur’an
Menurut Abu Yusuf, hadits ahad tidak boleh
bertentangan dengan Al-Qur’an, jika ada sesuatu yang bertentangan dengan
Al-Qur’an, maka itu tidak dari Rasulullah saw, meskipun terdapat riwayat pada
hadits tersebut.[26]
Hal ini didasarkan, bahwa Umar bin Khathab
tidak pernah menerima hadits dari Rasulullah saw, kecuali perawi mendatangkan
dua saksi yang membenarkannya dari Rasulullah saw. Demikian pula Ali bin Abu
Thalib pernah menolak sebuah hadits dari rasulullah saw, sedangkan haditsnya
banyak yang meriwayatkan. Karena hadits tersebut keluar dari riwayat yang tidak
dikenal, tidak diketahui oleh ahli fiqih, dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan
Sunnah.[27]
“Karena itu hati-hatilah dengan hadits yang
tidak dikenal (Syaadz), dan berpeganglah dengan apa yang digunakan
pijakan jamaah (sahabat) dan yang dikenal oleh para fiqaha’ serta hadits yang
sesuai dengan Al-Kitab dan sunnah, jadikanlah hal ini standar terhadap setiap
sesuatu; setiap yang bertentangan dengan Al-Qur’an, maka hal itu tidak dari
Rasulullah saw, meskipun terdapat riwayatnya”, demikian kata Abu Yusuf,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dalam Al-Umm.[28]
Selain perbuatan Umar bin khathab dan Ali bin
Abu Thalib, Abu Yusuf juga perpegangan dengan beberapa hadits. Kata Abu Yusuf:
فإنه حدثنا ابن أبي كريمة عن أبي جعفر عن رسول
الله صلى الله عليه وسلم أنه دعا اليهود فسألهم فحدثوه حتى كذبوا على
عيسى فصعد النبي صلى الله عليه وسلم
المنبر فخطب الناس فقال "إن الحديث سيفشو عني فما أتاكم عني يوافق القرآن فهو
عني وما أتاكم عني يخالف القرآن فليس عني"
“Ibnu Abi Karimah memberi hadits kepada kami
dari Abu Ja’far, dari Rasulullah saw; bahwasanya Rasulullah saw memanggil kaum
Yahudi dan bertanya kepada mereka, kemudian mereka bercerita kepada Rasulullah
saw sehingga mereka mendustakan Isa as. Kemudian Rasulullah saw naik ke atas
mimbar lalu berkhutbah kepada manusia dan berkata: “sesungguhnya hadits akan tersiar dariku, maka
apa yang datang kepada kalian dariku yang sesuai dengan Al-Qur’an maka itu
dariku, dan apa yang datang kepada kalian dariku yang berbeda dengan Al-Qur’an
maka itu tidak dariku”.[29]
I. Jawaban Imam Syafi’i Atas Abu Yusuf
Imam
Syafi’i menolak pendapat Abu Yusuf di atas, dengan bahasa yang tegas Imam
Syafi’i mengatakan: “Selamanya sunnah tidak ada yang bertentangan dengan
Al-Qur’an”.[30]
Dasar
Imam Syafi’i ialah sabda Rasulullah saw:
لايمسكن الناس على بشىء, فإنى لا أحل لهم إلا ما
أحل الله و لا أحرم عليهم إلا ما حرم الله.
“Janganlah manusia perpegang pada sesuatu
(mengalahkan) atas diriku, sesungguhnya aku tidaak menghalalkan untuk mereka
kecuali sesuatu yang dihalalkan Allah dan aku tidak mengharamkan atas mereka
kecuali sesuatu yang diharamkan Allah”.[31]
Rasulullah
saw sama sekali tidak menghalalkan sesuatu, kecuali telah dihalalkan Allah.
Demikian pula sama sekali tidak mengharamkan sesuatu, kecuali telah diharamkan
Allah. Demikian ini karena Allah telah memerintahkan Rasulullah saw dalam
firmannya:
فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ
إِنَّكَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan
kepadamu, sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus”.[32]
Dalam
ayat ini Allah telah memerintahkan kepada Nabinya untuk berpegang teguh kepada
apa yang telah diwahyukan kepadanya dan memberi kesaksian, bahwa NabiNya berada
di jalan yang lurus.[33]
Demikian
pula Allah telah berfirman:
وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ
نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami
tunjuki dengan dia siapa saja yang Kami kehendaki dari hamba-hambaKu, dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”.[34]
Dalam ayat ini Allah SWT memberi kabar bahwa
Dia mewajibkan kepada Nabi Muhammad saw untuk mengikuti ayang diturunkan
kepadanya dan memberi kesaksian buat Nabi Muhammad bahwa beliau adalah manusia
yang menunjukkan dan mendapatkan petunjuk.[35]
Demikian pula Nabi memberi kesaksian ini dalam
sabda beliau: “لايمسكن الناس على بشىء” sebagaimana dipaparkan di atas.
Allah SWT menghalalkan bagi Nabi beberapa hal
yang dikharamkan atas selain Nabi, seperti Jumlah isteri, perempuan tidak boleh
menyerahkan dirinya (sebagai isteri) kecuali dengan adanya mahar. Allah SWT
juga mewajibkan kepada Nabi beberapa hal yang tidak diwajibkan kepada selain
Nabi. Sabda Nabi saw: “Janganlah manusia perpegang pada sesuatu
(mengalahkan) atas diriku”, artinya dari sesuatu yang menjadi khushushiyah
beliau. Pernikahan Nabi yang lebih dari empat isteri, tidak halal bagi
manusia untuk menirunya, karena bagi mereka hanya terbatas pada empat isteri.[36]
Sedangkan bagi pihak yang menafikan hadits dan
menentangnya dengan Al-Qur’an. Jika yang benar adalah seperti apa yang menjadi
madzhab mereka, maka hal-hal khushushiyah ini merupakan hujjah atas
mereka.[37]
Hadits tidak pernah bertentangan dengan
Al-Qur’an, justru hadits Rasulullah saw menjelaskan makna yang dikehandaki
Allah SWT, apakah yang dikehandaki Allah bermakna umum dan khusus, atau nasikh
dan mansukh. Kemudian manusia mengikuti apa yang menjadi ketentuan
Allah.
Barangsiapa yang menerima dari Rasulullah saw,
maka ia telah menerima dari Allah SWT. Allah telah menjelaskan hal tersebut
dalam beberapa ayat di dalam Kitab-Nya:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.[38]
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih”.[39]
Jika persoalannya seperti apa yang dikatakan
oleh Abu Yusuf, maka al-mashu ala al-khuffain bisa tidak diperbolehkan,
menikahi seorang perempuan dan bersamaan dengan menikahi bibinya tidak haram,
setiap hewan yang mempunyai taring tidak haram dan lain sebagainya. Karena
beberapa masalah ini tidak tercantum di dalam Al-Qur’an, dan dapat menimbulkan
presepsi bahwa haditsnya berlawanan dengan Al-Qur’an.[40]
Demikian perbedaan penting tentang pemikiran
hadits menurut Abu Yusuf dan Imam Syafi’i, sebagaimana yang diuraikan panjang
lebar dalam Kitab Al-Umm Juz 7.
Sementara di dalam Ar-Risalah Imam Syafi’i
menegaskan kembali pemikirannya tentang Sunnah:
“Sunnah selamanya tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an. Sunnah, meskipun tidak terdapat nashnya dalam Al-Qur’an, tetap wajib
diikuti. Dan wajib diketahui, bahwa Allah tidak menjadikan ketentuan ini kepada
makhlukNya selain RasulNya, serta menjadikan ucapan dan perbuatan setiap orang
selamanya harus mengikuti Kitabullah dan sunnah RasulNya. Dan harus diketahui,
seorang alim yang diriwayatkan kepadanya ucapan yang bertentangan dengan Sunnah
Rasulullah, maka ia harus meninggalkan ucapan itu dan memilih kepada Suunah
Nabi”.[41]
J.
Catatan Akhir
Membaca dialog ilmiah antara Imam Syafi’i dan
Abu Yusuf dalam “Al-Umm”, membuktikan kebenaran apa yang dikatakan Yahya bin
Ma’iin tentang Abu Yusuf: “Tidak ada di kalangan ahli ra’yi yang banyak
haditsnya dan bisa dipegang melebihi Abu Yusuf” dan “Abu Yusuf adalah
ahli hadits dan sunnah”.[42]
Abu Yusuf dalam mengemukakan pendapatnya banyak
berpedoman dengan al-Qur’an dan hadits, meskipun dalam beberapa hal tentang
pemikirannya terhadap hadits, berbeda dengan Imam Syafi’i.
Kiranya cukup pujian buat Imam Syafi’i bahwa
beliau adalah Syafi’i. Demikian pula, cukup pujian untuk Abu Yusuf bahwa beliau
adalah murid Imam Abu Hanifah, bukan pengikut madzhab Hanafi. Sebagaimana Imam
Syafi’i murid Imam Malik, bukan pengikut madzhabnya.[43]
Seperti yang telah disinggung diatas, perbedaan
pemikiran antara keduanya, merupakan implikasi dari perbedaan kecenderungan
antara ulama Hijaz yang ahli hadits dan ulama Irak yang ahli ra’yi.
Demikianlah pemikiran hadits menurut Abu Yusuf
dan Imam Syafi’i.
Wa Allahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Muhammad Bultaji, Dirasaat fi As-Sunnah,
(Kairo: Maktabah Asy-Syabbaab,1992)
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh
Al-Islamiy. (Beirut: Daar Al-Fikr Al-Mu’aashir, 1986),
Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut : Dar Al-Fikr,
tt),
Imam ASy-Syafi’i, Ar-Risalah, (Beirut : Daar
Al-Kutub Al-Ilmiyah,tt) tahqiiq Ahmad Muhammad Syakir.
Muhammad Ahmad Abu Zahw, Al-Hadits wa
Al-Muhadditsuun, (Kairo : Al Maktabah At-Tawfiqiyyah, tt.)
Muhammad Al-Hudlari, Tarikh At-Tasyrii’
Al-Islamiy, (Jeddah: Al-Haramain, tt).
[1] Muhammad Ahmad
Abu Zahw, Al-Hadits wa Al-Muhadditsuun, (Kairo : Al-Maktabah
At-Tawfiqiyyah, tt.) hlm 244.
[2] Ibid
[3] Muhammad Al-Hudlari, Tarikh At-Tasyrii’ Al-Islamiy, (Jeddah:
Al-Haramain, tt) hlm 233
[4] Ibid, hlm 145
[5] Rabi’ah termasuk fuqahaa yang tinggal di Madinah yang ahli ra’yi
karena itu ia mendapat julukan Rabi’ah Ar-Ra’yu. Ucapan Said bin Musayyab:
“Apakah kaum oramg Irak?”, yang dimaksud adalah: “Apakah kaum ahli ra’yi sebagaimana orang
Irak?”. Baca selengkapnya: Muhammad Al-Hudlari, Tarikh At-Tasyrii’
Al-Islamiy, (Jeddah: Al-Haramain, tt) hlm 153-148.
[6] Ibid, 145.
[7] Ibid, 146.
[8] Ibid
[9] Muhammad Al-Hudlari, Tarikh At-Tasyrii’ Al-Islamiy, (Jeddah:
Al-Haramain, tt) hlm 233
[10] Dr Muhammad Bultaji, Dirasaat fi As-Sunnah, (Kairo: Maktabah
Asy-Syabbaab,1992) hlm 66
[11] Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm,
(Beirut:Daar Al-Fikr,1990) hlm 7. Biografi Imam Syafi’i ditulis oleh penerbit,
tanpa menyebut nama penulisnya.
[12] Ibid.
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Dr Muhammad Bultaji, Dirasaat fi As-Sunnah, (Kairo: Maktabah
Asy-Syabbaab,1992) hlm 75. Ucapan Imam Syafi’i ini dinukil oleh Dr Bultaji dari Kitab “Aadab
Asy-Syafi’i” karya Ibnu abi Hatim, hlm 67 dan “Tawaalii At-Ta’siis”
karya Ibnu Hajar, hlm 63.
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Imam ASy-Syafi’i, Ar-Risalah, (Beirut : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah,tt)
hlm 83
[19] Muhammad Ahmad Abu Zahw, Al-Hadits wa
Al-Muhadditsuun, (Kairo : Al-Maktabah At-Tawfiqiyyah, tt.) hlm 300.
[20] Tentang diperbolehkannya naskh Al-Quran
dengan Al-Quran, pendapat Imam Syafi’i sesuai dengan pendapat jumhur. Tetapi
menaskh As-sunnah dengan Al-Quran, menurut Imam Syafi’i, tidak diperbolehkan,
sedangkan jumhur Ulama membolehkannya. Demikian pula Pendapat Imam Syafi’i
berbeda dengan pendapat jumhur tentang menaskh Al-Quran dan As-Sunnah. Imam
Syafi’i melarangnya, sedangkan jumhur memperbolehkannya. Imam Syafi’i secara
tegas mangatakan bahwa Al-Quran hanya boleh dinaskh dengan Al-Quran. Demikian pula As-Sunnah hanya boleh dinaskh dengan As-Sunnah.
Keterangan selengkapnya dapat dibaca dalam kitab-kitab ushul fiqih bab “An-Naskh”.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili mengupas tuntas masalah ini dalam kitab “Ushul Al-Fiqh
Al-Islamiy” bab An-Naskh (juz 2 hlm 929 dan seterusnya)
[21] Surat Al-Baqarah : 106
[22] Imam ASy-Syafi’i, Ar-Risalah,
(Beirut : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah,tt) hlm 108 paragraf 321
[23] Surat Yunus ayat 15
[24] Imam ASy-Syafi’i, Ar-Risalah,
(Beirut : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah,tt) hlm 83, paragraf 312 - 320
[25] Tadlis, secara literlik berarti ‘ketidak jujuran’, yang bias mencakup usaha
menginterpolasi (merubah) nama salah satu perawi terpercaya atau melenyapkan
nama-nama perawi yang didiskreditkan dari isnad.
[26] Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut : Dar Al-Fikr) Jilid IV juz 7 hlm, 358.
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] ibid
[30] Ibid. hlm 304.
[31] Ibid, hlm 359
[32] Surat Az-Zukhruf: 43.
[34] Surat Asy-Syuuraa: 52.
[37] Ibid
[39] Surat An-Nuur: 63
[40] Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut : Dar Al-Fikr) Jilid IV juz 7 hlm, 360.
[41] Imam ASy-Syafi’i, Ar-Risalah, (Beirut : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah,tt)
hlm 198-199, paragraf 537 – 541.
[42] Muhammad Al-Hudlari, Tarikh At-Tasyrii’ Al-Islamiy, (Jeddah:
Al-Haramain, tt) hlm 233
[43] Ungkapan ini diadopsi penulis dari Ahmad Muhammad Syakir dalam
pengantar Ar-Risalah dan Muhammad Al-Hudlari dalam Tarikh At-Tasyri’
Al-Islami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar