Minggu, November 11, 2012

Sa’id Hawaa: Seorang Pengikut Thariqah Shufiyyah yang Aktivis

Sa'id Hawwa (lahir pada tanggal 27 September 1935 M di kota Hamaah, Suriah), dari pasangan Muhammad Diib Hawwa dan Arabiyyah Althaisy. Di usia dua tahun ibunya meninggal. Ayahnya lalu menikah lagi. Di masa kecil, keluarga Sa'id hidup dalam keadaan sederhana. Itu sebabnya, karena tak mampu membiayai anaknya, ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar, ayahnya terpaksa mengeluarkannya dari sekolah. Waktu itu usia Sa'id baru 8 tahun, dan ia akhirnya membantu ayahnya berjualan di pasar.


Beberapa tahun setelah putus sekolah dan membantu ayahnya di pasar, Sa'id dimasukkan sekolah malam untuk melanjutkan pendidikannya dengan harapan bisa mendapat ijazah SD. Sekolah malam dipilih agar tidak mengganggu Sa'id yang harus membantu ayahnya di pasar. Di sekolah ini, Sa'id adalah satu-satunya bocah, sebab teman-teman yang lain semuanya merupakan orang-orang tua. Begitulah…akhirnya Sa'id berhasil mendapat ijazah. 


Menurut Sa'id, ayahnya tergolong orang yang pandai sekali menanamkan nilai-nilai yang ingin diajarkannya kepada putra putrinya. Di antara nilai-nilai yang ditanamkan orang tuanya sejak kecil adalah bahwa kehormatan itu di atas segala-galanya dan penampilan tidaklah penting. Yang penting adalah hati.


Setelah tamat SD, Sa'id menempuh jenjang pendidikan tingkat pertama di SMP Ibnu Rusyd, tapi kemudian dia pindah ke SMP Abul Fidaa'. Di sini dia hanya belajar selama setahun, sebab dia pindah lagi ke SMP Ibnu Rusyd hingga tamat. Ketika duduk di SMP, Sa'id masih melanjutkan membantu orang tuanya berjualan di pasar sayur. Masa-masa menempuh pendidikan tingkat SMP adalah masa-masa yang penuh dengan bacaan. Telah banyak buku karangan para cendekiawan dunia yang dilahapnya
. 

Buku tebal karya Aristoteles yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab berjudul al-Akhlaq ila Niquumaakhaas telah dibaca dan dirangkumnya. Dia pun telah membaca buku karya Plato serta Nietzsche, membaca sejarah Revolusi Prancis dan biografi Napoleon Bonaparte. Buku-buku tasawuf dan akhlak juga tak luput dari perhatiannya. Tentu saja karena ekonomi keluarga yang pas-pasan, tidak semua buku tersebut dibeli dan lalu dibaca di rumah. Sa'id biasanya membaca di perpustakaan.

Di kotanya, tepatnya di Masjid al-Madfan, terdapat sebuah perpustakaan umum yang cukup besar. Ke sanalah Sa'id menyalurkan hobi membaca. Pemandangan seorang bocah kecil berjubah hitam yang setiap hari duduk di perpustakaan memang tampak aneh, apalagi kalau melihat buku-buku yang dibacanya. Di antara buku yang paling disukainya adalah buku al-Ihyaa, karya al-Ghazali. Membaca buku ini mempengaruhi kehidupan Sa'id, mendorongnya untuk hidup sangat sederhana. Akan tetapi, faktor yang paling membuatnya rajin menjalankan ajaran agama adalah karena Syekh Muhammad al-Haamid memegang mata pelajaran pendidikan agama di sekolahnya. 



Berawal dari kecintaan kepada mata pelajaran ini, akhirnya Sa'id sering mendatangi ceramah yang disampaikan gurunya itu di Masjid as-Sulthaan. Berguru kepada Syekh Muhammad al-Haamid banyak memberi warna kepada pandangan hidup Sa'id. Kelebihan paling menonjol yang dimiliki oleh Sa'id pada jenjang ini adalah ketrampilannya menulis. Pada masa itu, pengaruh parpol masuk ke sekolah-sekolah. Saat itu, yang dirasakan oleh siswa ada tiga partai yang saling memperebutkan pengaruh, yaitu: Partai Komunis, Partai Nasionalis Suriah, dan Partai Sosialis Arab. Di SMP Ibnu Rusyd, yang paling berpengaruh adalah partai Sosialis. Pada masa itulah Sa'id pertama kali mendengar tentang gerakan Ikhwanul Muslimin.

Setelah lulus SMP, Sa'id melanjutkan studinya ke tingkat SMU. Di samping masih membantu ayahnya berjualan, Sa'id juga membantu menggarap kebun kapas yang menjadi profesi baru ayahnya. Pada saat itu harga kapas di Suriah naik sehingga merangsang banyak orang untuk menanam kapas. Pada akhir tahun ajaran kelas satu, Sa'id bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, dan membawa perubahan besar dalam kehidupannya. Masuk ke dalam gerakan yang berpusat di Mesir ini memberi arahan baru bagi Sa'id, membuatnya menemukan dan menyadari dirinya sebagai satu individu dari sebuah jamaah. 


Semenjak menjadi anggota gerakan, mencuatlah bakat yang selama ini terpendam dalam diri Sa'id: berceramah. Dia sering menyampaikan khotbah di masjid-masjid, baik di kota maupun di desa. Ia juga sering menyampaikan orasi setiap ada demonstrasi. Sekalipun masih duduk di jenjang SMU, ia telah memegang peran penting dalam tiga demonstrasi besar-besaran di Suriah kala itu: (1) demonstrasi mendukung seruan Ikhwanul Muslimin untuk memasukkan pelajaran kewiraan (semacam kepramukaan) dalam kurikulum sekolah, seruan ini terpenuhi, (2) demonstrasi mengecam hukum mati atas anggota Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan (3) demonstrasi menentang perjanjian Belfour. Dalam demo-demo ini, Sa'id yang ditunjuk menjadi pembicara resmi mewakili Ikhwan.

Dalam waktu yang tidak lama, Sa'id telah berhasil menyebarkan fikrah gerakan Ikhwan di distrik al-‘Ailiyaat, tempat kelahirannya. Distrik ini merupakan basis kaum sosialis yang kuat dan sulit ditembus oleh partai-partai lain. Para aktivis sosialis menjadi heran ketika Ikhwanul Muslimin berhasil masuk ke sana. Lebih heran lagi gerakan itu masuk lewat tangan Sa'id Hawwa yang dianggap oleh orang-orang sosialis sebagai bagian dari mereka. Tentu saja para aktivis sosialis menjadi marah. Mereka berusaha menekan Sa'id untuk menghentikan gerakannya, tapi dia tak bergeming. 



Bakat menulis Sa'id tidak menurun, malah boleh dikata semakin matang. Menurutnya, pada saat itu dia sudah mampu menulis untaian puisi dengan baik. Saat ujian akhir, dalam mata ujian mengarang, dia menulis karangan yang begitu panjang sehingga menarik perhatian para pengawas. Sa'id menyelesaikan pendidikan tingkat SMU dengan nilai biasa saja. Hal itu disebabkan oleh aktivitasnya dalam gerakan yang ditekuninya, bacaan pribadi yang luas, serta kesibukan membantu orang tua berdagang dan bercocok tanam.

Selesai SMU, Sa'id bermaksud mendaftar menjadi tentara. Tapi dia kemudian mengundurkan diri ketika tes karena tidak cocok dengan cara-cara yang diterapkan dalam ujian. Hal ini cukup dimaklumi, karena militer saat itu dikuasai oleh Partai Sosialis yang sengaja menyingkirkan dan tidak menerima orang-orang agamis, atau keturunan orang-orang agamis, serta orang-orang kaya. Dia lalu mendaftar di Fakultas Syariah di Damaskus, tahun 1956. Di fakultas yang baru berusia setahun ini, Sa'id sangat terkesan dengan kuliah-kuliah luar biasa yang disampaikan oleh Dr. Mushthafa as-Sibaa'iy, yang kala itu menjadi ketua umum Ikhwanul Muslimin di Suriah. Begitu hebatnya ceramah Musthafa hingga Sa'id menuturkan, "Seakan-akan saya terhipnotis mendengarkan ceramah-ceramahnya."

Selain aktif di Ikhwan, Said juga mendekati kalangan tasawuf. Pertama-tama beliau mengunjungi Syekh Muhammad al-Hasyimi. Syekh (ketua) tariqah ad-Darqaawiyyah di Damaskus ini sangat menguasai masalah-masalah akidah, berilmu luas, dan berbudi pekerti tinggi. Di samping Syekh Muhammad al-Hamid, Syekh Muhammad al-Hasyimi juga menjadi idola dan teladan Sa'id. Setelah bertemu dan belajar dari Syekh Muhammad al-Hasyimi, Sa'id berguru kepada Syekh Ibrahim al-Ghalayiini, pemimpin thariqat an-Naqsyabandiyyah, dan mengikuti halaqah zikir thariqat ini. Namun kemudian dia tidak meneruskannya karena guru baru ini menyuruhnya 'uzlah, suatu pandangan yang bertolak belakang dengan pemikirannya. 



Mengajar dan masuk dinas militer
Begitu lulus universitas pada tahun 1961, Sa'id mendaftar menjadi guru. Sebetulnya dia sendiri tidak berambisi untuk menjadi pegawai negeri, akan tetapi demi memenuhi permintaan orang tua, Sa'id tetap mendaftar. Dia lulus dalam seleksi dan ditugaskan di Provinsi al-Haskah. Tugasnya adalah mengajar di sekolah, menyampaikan khotbah Jumat, serta memberi ceramah-ceramah ilmiah di masjid. Tidak lama Sa'id bertugas di provinsi ini, sebab dia telah meminta untuk ditugaskan di kotanya sendiri, Hamaah.

Permintaannya terpenuhi dan dia ditugaskan mengajar mata pelajaran Tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam) di distrik as-Silmiyyah. Mengajar mata pelajaran ini di sekolah-sekolah di as-Silmiyyah situasinya agak berbeda. Alasannya, secara historis as-Silmiyyah merupakan 'ibu kota' aliran Syi'ah Isma'iliyyah. Selain itu, kelompok-kelompok minoritas selalu menginginkan sistem pemerintahan yang sekular. Dan partai-partai sekular pun (seperti Partai al-Ba'th, Partai Nasional Sosialis Suriah, dan Partai Komunis) memanfaatkan kaum minoritas ini. Karena itu, berani memegang mata pelajaran agama di as-Silmiyyah berarti berani menghadapi dan menentang arus pemikiran dan politik yang menolak agama.

Tapi bagaimanapun juga, pembicaraan yang logis dan argumen yang kuat telah melunakkan konfrontasi pemikiran itu, bahkan berhasil menarik banyak orang untuk semakin dekat ke agama. 

Pada tanggal 5 Januari 1963 Sa'id masuk dinas wajib militer. Dia menjalani dinas ini selama satu tahun empat bulan.

Ke luar negeri
Pada tahun 1966, karena situasi politik dalam negeri yang semakin panas dan Sa'id beserta tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin terancam pembunuhan, Sa'id – bersama istri – akhirnya pergi ke Kerajaan Saudi; Muhammad dan Ahmad yang masih kecil dititipkan kepada kakek dan nenek mereka. Di negara ini Sa'id mengajar selama lima tahun; dua tahun pertama di al-Hufuuf, dan sisanya di Madinah. Ia mengajar di sekolah-sekolah modern tingkat SMP dan SMU, memegang mata pelajaran bahasa Arab, hadits, dan ushul fiqih. Ia juga memberi ceramah-ceramah yang makin hari makin diminati dan banyak penggemarnya, karena disampaikan secara menggugah oleh seorang yang hidupnya sederhana.

Selama lima tahun di Kerajaan Saudi ini Sa'id Hawwa telah menyelesaikan buku silsilah al-Ushul ats-Tsalaatsah, dan mengirimnya ke percetakan. Buku Jundullah Tsaqaafatan wa Akhlaaqan (sekitar tahun 1971) serta sebagian pasal dari buku Jundullah Takhthiithan wa Tanzhiiman wa Tanfiidzan, juga sudah selesai. Beberapa pasal tentang takhthiit dan tanzhiim masih belum dicetak; Sa'id hanya mengajarkannya kepada sejumlah rekannya dan menyerahkannya kepada salah seorang Ikhwan di luar negeri.

Dalam buku Jundullah Tsaqaafatan wa Akhlaaqan, Sa'id menyebutkan bahwa tsaqafah seorang muslim harus mencakup sebelas materi. Seorang da’i yang ulung seharusnya punya bekal yang cukup dari materi-materi ini. Materi-materi itu bisa diringkas menjadi sepuluh: ilmu Al-Qur`an, ilmu hadis, ilmu bahasa Arab, ilmu ushul fiqih, ilmu akidah, ilmu fiqih, ilmu akhlak, ilmu sejarah, ilmu tentang tiga pokok (Allah, rasul, dan Islam), dan ilmu fiqih dakwah. 



Tentang tiga pokok (Ushul Tsalaatsah) Sa'id menulis tiga buku: Allah Jalla Jalaaluhu, ar-Rasuul, dan al-Islam. Sedangkan dalam fiqih dakwah ia menyelesaikan sejumlah buku. Buku lain yang beliau selesaikan selama lima tahun di Kerajaan Saudi adalah: al-Asaas fit-Tafsiir (berdasarkan ide tentang kesatuan hubungan ayat-ayat Al-Qur'an; ide ini sendiri menurut Sa'id telah muncul sejak beliau duduk di SMU), al-Asaas fis-Sunnah, al-Asaas fi Qawaa'idil Ma'rifah (tentang ushul fiqih dan mantik), tiga buku tentang akhlak, serta sebuah buku tentang akidah dan fiqih. Lima tahun di Saudi ini benar-benar dijalani Sa'id dengan sangat produktif, khususnya dalam bidang mengarang buku.

Kembali ke Suriah
Tahun 1972 Sa'id kembali ke Suriah dan mengajar di al-Ma’arrah. Meskipun kota al-Ma’arrah ini terhitung basis pemikiran kiri, para siswa menunjukkan respon yang baik terhadap pemikiran Islam sehingga mengagetkan banyak pihak. Sa'id sendiri berusaha tampil sebagai seorang yang berpikiran Islami murni, berusaha tidak menampakkan hubungannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin. 


Pada tahun 1973 Sa'id ditangkap dan dipenjarakan karena terlibat dalam kerusuhan menentang konstitusi. Semenjak Suriah meraih kemerdekaan, para aktivis Islam menuntut agar konstitusi negara adalah konstitusi Islam, atau konstitusi yang mengakui bahwa agama resmi negara adalah agama Islam. Pergulatan paling keras dalam hal ini adalah yang pernah dilakukan oleh Dr. Mushthafa as-Sibaa'iy tidak lama setelah Suriah merdeka, sekalipun usahanya hanya berhasil mencantumkan ketetapan bahwa agama kepala negara adalah Islam, Islam menjadi salah satu sumber hukum, dan bahwa tujuan pendidikan adalah menciptakan generasi yang beriman kepada Allah SWT.

Selanjutnya Suriah menyaksikan beberapa kali kudeta dan pergantian kekuasaan, tapi konstitusi tidak dirubah. Tapi, ketika Hafez al-Asad berhasil memegang kekuasaan, dia ingin membuat konstitusi baru untuk Suriah. Dia ingin menjadikan pembuatan konstitusi ini sebagai salah satu prestasinya. Namun konstitusi baru itu dinilai sekular oleh kalangan Islam, sehingga mereka mengadakan koordinasi di antara para ulama seluruh Suriah bersama seluruh rakyat untuk menolak konstitusi baru ini.

Kalangan politik yang dirugikan oleh Hafez al-Asad, di antaranya kaum sosialis dan pengikut Jamal Abdunnasir, mendukung gerakan ini. Mereka menyerukan pemogokan di seluruh Suriah. Akibat kerusuhan ini, banyak orang ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, salah satunya adalah Sa'id Hawwa yang dipenjara pada tanggal 5 Maret 1973 dan baru dikeluarkan pada akhir Januari 1978.

Tak lama setelah keluar dari penjara, Sa'id melakukan perjalanan ke beberapa negara Arab. Sebelum keberangkatannya, ia menyerahkan naskah buku Min Ajli Khuthwah ilal Amaam 'ala Thariiqil-Jihaad al-Mubaarak untuk diterbitkan. Rencana lawatan adalah selama dua setengah bulan. Di awali dari Aman, Yordania, lalu melanjutkan kunjungan ke negara-negara Arab lainnya, seperti Saudi, Emirat, dan Qatar. Rencana ke Kuwait dibatalkan.

Di negara-negara yang dikunjungi ini ia menyampaikan ceramah dan pertemuan-pertemuan dengan para aktivis Islam setempat. Rencana kembali ke tanah airnya gagal setelah buku Min Ajli Khuthwah ilal Amaam yang ditulisnya, membuat marah para aktivis politik di luar Islam. Karena itu, baik teman-temannya maupun orangtuanya, meminta Sa'id untuk tidak pulang dulu ke Suriah.

Di Amman Sa'id menyusun beberapa buku lagi. Di antaranya Tarbiyatuna ar-Ruuhiyyah, dan al-Madkhal ilaa Da'watil-Ikhwaan al-Muslimin. Di sini pula ia menyempurnakan penulisan buku tafsir yang telah ditulisnya selama berada di penjara.


Setelah bergulat dengan penyakit selama beberapa tahun, akhirnya beliau meninggal di Amman, 9 Maret 1989, dengan meninggalkan seorang istri dan empat orang anak. Pada tanggal 15 Maret 1989, Ustadz Zuhair asy-Syaawiisy menulis tentang beliau di surat kabar al-Liwaa' yang terbit di Yordania: "Allah SWT telah menakdirkan Sa'id bin Muhammad Diib Hawwa meninggal di Rumah Sakit Islam di Amman, pagi hari Kamis tanggal 9/3/1989. Beliau dimakamkan di pemakaman Sahaab, Amman bagian selatan. Sa'id Hawwa tergolong da'i paling sukses yang saya kenal. Ia berhasil menyampaikan ide dan pengetahuan yang dimilikinya kepada masyarakat luas. Meninggal dalam usia yang pendek, yakni hanya lima puluh tiga tahun, tapi telah meninggalkan karya tulis yang banyak ..., Saya pernah mengunjunginya di al-Ahsaa' saat beliau menjadi pengajar di sebuah institut di sana. Di rumahnya saya hanya melihat perabot yang sederhana. Pakaiannya pun tidak cocok bagi seorang ulama dan guru sekelas dia yang tinggal di negeri yang amat panas tersebut ...."

* Disadur dari buku:


"Tokoh - Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20"
Penulis: Herry Mohammad, DKK
Penerbit: Gema Insani
Milis Eramuslim
Dikirim oleh: Gema Insani
Senin, 25 Desember 2006

Tidak ada komentar:

Entri Populer