Sa'id Hawwa
(lahir pada tanggal 27 September 1935 M di kota Hamaah, Suriah), dari pasangan
Muhammad Diib Hawwa dan Arabiyyah Althaisy. Di usia dua tahun ibunya meninggal.
Ayahnya lalu menikah lagi. Di masa kecil, keluarga Sa'id hidup dalam keadaan
sederhana. Itu sebabnya, karena tak mampu membiayai anaknya, ketika ia masih
duduk di bangku sekolah dasar, ayahnya terpaksa mengeluarkannya dari sekolah.
Waktu itu usia Sa'id baru 8 tahun, dan ia akhirnya membantu ayahnya berjualan
di pasar.
Beberapa tahun setelah putus sekolah dan membantu
ayahnya di pasar, Sa'id dimasukkan sekolah malam untuk melanjutkan
pendidikannya dengan harapan bisa mendapat ijazah SD. Sekolah malam dipilih
agar tidak mengganggu Sa'id yang harus membantu ayahnya di pasar. Di sekolah
ini, Sa'id adalah satu-satunya bocah, sebab teman-teman yang lain semuanya
merupakan orang-orang tua. Begitulah…akhirnya Sa'id berhasil mendapat ijazah.
Menurut Sa'id, ayahnya tergolong orang yang pandai
sekali menanamkan nilai-nilai yang ingin diajarkannya kepada putra putrinya. Di
antara nilai-nilai yang ditanamkan orang tuanya sejak kecil adalah bahwa
kehormatan itu di atas segala-galanya dan penampilan tidaklah penting. Yang
penting adalah hati.
Setelah tamat SD, Sa'id menempuh jenjang
pendidikan tingkat pertama di SMP Ibnu Rusyd, tapi kemudian dia pindah ke SMP
Abul Fidaa'. Di sini dia hanya belajar selama setahun, sebab dia pindah lagi ke
SMP Ibnu Rusyd hingga tamat. Ketika duduk di SMP, Sa'id masih melanjutkan membantu
orang tuanya berjualan di pasar sayur. Masa-masa menempuh pendidikan tingkat
SMP adalah masa-masa yang penuh dengan bacaan. Telah banyak buku karangan para
cendekiawan dunia yang dilahapnya
.
Buku tebal karya Aristoteles yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab berjudul al-Akhlaq ila Niquumaakhaas telah
dibaca dan dirangkumnya. Dia pun telah membaca buku karya Plato serta
Nietzsche, membaca sejarah Revolusi Prancis dan biografi Napoleon Bonaparte.
Buku-buku tasawuf dan akhlak juga tak luput dari perhatiannya. Tentu saja
karena ekonomi keluarga yang pas-pasan, tidak semua buku tersebut dibeli dan
lalu dibaca di rumah. Sa'id biasanya membaca di perpustakaan.
Di kotanya, tepatnya di Masjid al-Madfan, terdapat
sebuah perpustakaan umum yang cukup besar. Ke sanalah Sa'id menyalurkan hobi
membaca. Pemandangan seorang bocah kecil berjubah hitam yang setiap hari duduk
di perpustakaan memang tampak aneh, apalagi kalau melihat buku-buku yang
dibacanya. Di antara buku yang paling disukainya adalah buku al-Ihyaa, karya
al-Ghazali. Membaca buku ini mempengaruhi kehidupan Sa'id, mendorongnya untuk
hidup sangat sederhana. Akan tetapi, faktor yang paling membuatnya rajin
menjalankan ajaran agama adalah karena Syekh Muhammad al-Haamid memegang mata
pelajaran pendidikan agama di sekolahnya.
Berawal dari kecintaan kepada mata pelajaran ini,
akhirnya Sa'id sering mendatangi ceramah yang disampaikan gurunya itu di Masjid
as-Sulthaan. Berguru kepada Syekh Muhammad al-Haamid banyak memberi warna
kepada pandangan hidup Sa'id. Kelebihan paling menonjol yang dimiliki
oleh Sa'id pada jenjang ini adalah ketrampilannya menulis. Pada masa itu,
pengaruh parpol masuk ke sekolah-sekolah. Saat itu, yang dirasakan oleh siswa
ada tiga partai yang saling memperebutkan pengaruh, yaitu: Partai Komunis,
Partai Nasionalis Suriah, dan Partai Sosialis Arab. Di SMP Ibnu Rusyd, yang
paling berpengaruh adalah partai Sosialis. Pada masa itulah Sa'id pertama kali
mendengar tentang gerakan Ikhwanul Muslimin.
Setelah lulus SMP, Sa'id melanjutkan studinya ke
tingkat SMU. Di samping masih membantu ayahnya berjualan, Sa'id juga membantu
menggarap kebun kapas yang menjadi profesi baru ayahnya. Pada saat itu harga
kapas di Suriah naik sehingga merangsang banyak orang untuk menanam kapas. Pada
akhir tahun ajaran kelas satu, Sa'id bergabung dengan gerakan Ikhwanul
Muslimin, dan membawa perubahan besar dalam kehidupannya. Masuk ke dalam
gerakan yang berpusat di Mesir ini memberi arahan baru bagi Sa'id, membuatnya
menemukan dan menyadari dirinya sebagai satu individu dari sebuah jamaah.
Semenjak menjadi anggota gerakan, mencuatlah bakat
yang selama ini terpendam dalam diri Sa'id: berceramah. Dia sering menyampaikan
khotbah di masjid-masjid, baik di kota maupun di desa. Ia juga sering
menyampaikan orasi setiap ada demonstrasi. Sekalipun masih duduk di jenjang
SMU, ia telah memegang peran penting dalam tiga demonstrasi besar-besaran di
Suriah kala itu: (1) demonstrasi mendukung seruan Ikhwanul Muslimin untuk
memasukkan pelajaran kewiraan (semacam kepramukaan) dalam kurikulum sekolah,
seruan ini terpenuhi, (2) demonstrasi mengecam hukum mati atas anggota Ikhwanul
Muslimin di Mesir, dan (3) demonstrasi menentang perjanjian Belfour. Dalam
demo-demo ini, Sa'id yang ditunjuk menjadi pembicara resmi mewakili Ikhwan.
Dalam waktu yang tidak lama, Sa'id telah berhasil
menyebarkan fikrah gerakan Ikhwan di distrik al-‘Ailiyaat, tempat kelahirannya.
Distrik ini merupakan basis kaum sosialis yang kuat dan sulit ditembus oleh
partai-partai lain. Para aktivis sosialis menjadi heran ketika Ikhwanul
Muslimin berhasil masuk ke sana. Lebih heran lagi gerakan itu masuk lewat
tangan Sa'id Hawwa yang dianggap oleh orang-orang sosialis sebagai bagian dari
mereka. Tentu saja para aktivis sosialis menjadi marah. Mereka berusaha menekan
Sa'id untuk menghentikan gerakannya, tapi dia tak bergeming.
Bakat menulis Sa'id tidak menurun, malah boleh
dikata semakin matang. Menurutnya, pada saat itu dia sudah mampu menulis
untaian puisi dengan baik. Saat ujian akhir, dalam mata ujian mengarang, dia
menulis karangan yang begitu panjang sehingga menarik perhatian para pengawas.
Sa'id menyelesaikan pendidikan tingkat SMU dengan nilai biasa saja. Hal itu
disebabkan oleh aktivitasnya dalam gerakan yang ditekuninya, bacaan pribadi
yang luas, serta kesibukan membantu orang tua berdagang dan bercocok tanam.
Selesai SMU, Sa'id bermaksud mendaftar menjadi
tentara. Tapi dia kemudian mengundurkan diri ketika tes karena tidak cocok
dengan cara-cara yang diterapkan dalam ujian. Hal ini cukup dimaklumi, karena
militer saat itu dikuasai oleh Partai Sosialis yang sengaja menyingkirkan dan
tidak menerima orang-orang agamis, atau keturunan orang-orang agamis, serta
orang-orang kaya. Dia lalu mendaftar di Fakultas Syariah di Damaskus, tahun
1956. Di fakultas yang baru berusia setahun ini, Sa'id sangat terkesan dengan
kuliah-kuliah luar biasa yang disampaikan oleh Dr. Mushthafa as-Sibaa'iy, yang
kala itu menjadi ketua umum Ikhwanul Muslimin di Suriah. Begitu hebatnya
ceramah Musthafa hingga Sa'id menuturkan, "Seakan-akan saya terhipnotis
mendengarkan ceramah-ceramahnya."
Selain aktif di Ikhwan, Said juga mendekati
kalangan tasawuf. Pertama-tama beliau mengunjungi Syekh Muhammad al-Hasyimi.
Syekh (ketua) tariqah ad-Darqaawiyyah di Damaskus ini sangat menguasai masalah-masalah
akidah, berilmu luas, dan berbudi pekerti tinggi. Di samping Syekh Muhammad
al-Hamid, Syekh Muhammad al-Hasyimi juga menjadi idola dan teladan Sa'id.
Setelah bertemu dan belajar dari Syekh Muhammad al-Hasyimi, Sa'id berguru
kepada Syekh Ibrahim al-Ghalayiini, pemimpin thariqat an-Naqsyabandiyyah, dan
mengikuti halaqah zikir thariqat ini. Namun kemudian dia tidak meneruskannya
karena guru baru ini menyuruhnya 'uzlah, suatu pandangan yang bertolak belakang
dengan pemikirannya.
Mengajar
dan masuk dinas militer
Begitu lulus
universitas pada tahun 1961, Sa'id mendaftar menjadi guru. Sebetulnya dia
sendiri tidak berambisi untuk menjadi pegawai negeri, akan tetapi demi memenuhi
permintaan orang tua, Sa'id tetap mendaftar. Dia lulus dalam seleksi dan ditugaskan
di Provinsi al-Haskah. Tugasnya adalah mengajar di sekolah, menyampaikan
khotbah Jumat, serta memberi ceramah-ceramah ilmiah di masjid. Tidak lama Sa'id
bertugas di provinsi ini, sebab dia telah meminta untuk ditugaskan di kotanya
sendiri, Hamaah.
Permintaannya terpenuhi dan dia ditugaskan
mengajar mata pelajaran Tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam) di distrik
as-Silmiyyah. Mengajar mata pelajaran ini di sekolah-sekolah di as-Silmiyyah
situasinya agak berbeda. Alasannya, secara historis as-Silmiyyah merupakan 'ibu
kota' aliran Syi'ah Isma'iliyyah. Selain itu, kelompok-kelompok minoritas
selalu menginginkan sistem pemerintahan yang sekular. Dan partai-partai sekular
pun (seperti Partai al-Ba'th, Partai Nasional Sosialis Suriah, dan Partai Komunis)
memanfaatkan kaum minoritas ini. Karena itu, berani memegang mata pelajaran
agama di as-Silmiyyah berarti berani menghadapi dan menentang arus pemikiran
dan politik yang menolak agama.
Tapi bagaimanapun
juga, pembicaraan yang logis dan argumen yang kuat telah melunakkan konfrontasi
pemikiran itu, bahkan berhasil menarik banyak orang untuk semakin dekat ke
agama.
Pada tanggal 5 Januari 1963 Sa'id masuk dinas
wajib militer. Dia menjalani dinas ini selama satu tahun empat bulan.
Ke
luar negeri
Pada tahun 1966,
karena situasi politik dalam negeri yang semakin panas dan Sa'id beserta
tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin terancam pembunuhan, Sa'id – bersama istri –
akhirnya pergi ke Kerajaan Saudi; Muhammad dan Ahmad yang masih kecil
dititipkan kepada kakek dan nenek mereka. Di negara ini Sa'id mengajar selama
lima tahun; dua tahun pertama di al-Hufuuf, dan sisanya di Madinah. Ia mengajar
di sekolah-sekolah modern tingkat SMP dan SMU, memegang mata pelajaran bahasa
Arab, hadits, dan ushul fiqih. Ia juga memberi ceramah-ceramah yang makin hari
makin diminati dan banyak penggemarnya, karena disampaikan secara menggugah
oleh seorang yang hidupnya sederhana.
Selama lima tahun di Kerajaan Saudi ini Sa'id
Hawwa telah menyelesaikan buku silsilah al-Ushul ats-Tsalaatsah, dan
mengirimnya ke percetakan. Buku Jundullah Tsaqaafatan wa Akhlaaqan (sekitar
tahun 1971) serta sebagian pasal dari buku Jundullah Takhthiithan wa Tanzhiiman
wa Tanfiidzan, juga sudah selesai. Beberapa pasal tentang takhthiit dan
tanzhiim masih belum dicetak; Sa'id hanya mengajarkannya kepada sejumlah
rekannya dan menyerahkannya kepada salah seorang Ikhwan di luar negeri.
Dalam buku Jundullah Tsaqaafatan wa Akhlaaqan,
Sa'id menyebutkan bahwa tsaqafah seorang muslim harus mencakup sebelas materi.
Seorang da’i yang ulung seharusnya punya bekal yang cukup dari materi-materi
ini. Materi-materi itu bisa diringkas menjadi sepuluh: ilmu Al-Qur`an, ilmu
hadis, ilmu bahasa Arab, ilmu ushul fiqih, ilmu akidah, ilmu fiqih, ilmu
akhlak, ilmu sejarah, ilmu tentang tiga pokok (Allah, rasul, dan Islam), dan
ilmu fiqih dakwah.
Tentang tiga pokok (Ushul Tsalaatsah) Sa'id
menulis tiga buku: Allah Jalla Jalaaluhu, ar-Rasuul, dan al-Islam. Sedangkan
dalam fiqih dakwah ia menyelesaikan sejumlah buku. Buku lain yang beliau
selesaikan selama lima tahun di Kerajaan Saudi adalah: al-Asaas fit-Tafsiir
(berdasarkan ide tentang kesatuan hubungan ayat-ayat Al-Qur'an; ide ini sendiri
menurut Sa'id telah muncul sejak beliau duduk di SMU), al-Asaas fis-Sunnah,
al-Asaas fi Qawaa'idil Ma'rifah (tentang ushul fiqih dan mantik), tiga buku
tentang akhlak, serta sebuah buku tentang akidah dan fiqih. Lima tahun di Saudi
ini benar-benar dijalani Sa'id dengan sangat produktif, khususnya dalam bidang
mengarang buku.
Kembali
ke Suriah
Tahun 1972 Sa'id
kembali ke Suriah dan mengajar di al-Ma’arrah. Meskipun kota al-Ma’arrah ini
terhitung basis pemikiran kiri, para siswa menunjukkan respon yang baik
terhadap pemikiran Islam sehingga mengagetkan banyak pihak. Sa'id sendiri
berusaha tampil sebagai seorang yang berpikiran Islami murni, berusaha tidak
menampakkan hubungannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin.
Pada tahun 1973 Sa'id ditangkap dan dipenjarakan
karena terlibat dalam kerusuhan menentang konstitusi. Semenjak Suriah meraih
kemerdekaan, para aktivis Islam menuntut agar konstitusi negara adalah
konstitusi Islam, atau konstitusi yang mengakui bahwa agama resmi negara adalah
agama Islam. Pergulatan paling keras dalam hal ini adalah yang pernah dilakukan
oleh Dr. Mushthafa as-Sibaa'iy tidak lama setelah Suriah merdeka, sekalipun
usahanya hanya berhasil mencantumkan ketetapan bahwa agama kepala negara adalah
Islam, Islam menjadi salah satu sumber hukum, dan bahwa tujuan pendidikan
adalah menciptakan generasi yang beriman kepada Allah SWT.
Selanjutnya Suriah menyaksikan beberapa kali
kudeta dan pergantian kekuasaan, tapi konstitusi tidak dirubah. Tapi, ketika
Hafez al-Asad berhasil memegang kekuasaan, dia ingin membuat konstitusi baru
untuk Suriah. Dia ingin menjadikan pembuatan konstitusi ini sebagai salah satu
prestasinya. Namun konstitusi baru itu dinilai sekular oleh kalangan Islam,
sehingga mereka mengadakan koordinasi di antara para ulama seluruh Suriah
bersama seluruh rakyat untuk menolak konstitusi baru ini.
Kalangan politik yang dirugikan oleh Hafez
al-Asad, di antaranya kaum sosialis dan pengikut Jamal Abdunnasir, mendukung
gerakan ini. Mereka menyerukan pemogokan di seluruh Suriah. Akibat kerusuhan
ini, banyak orang ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, salah satunya
adalah Sa'id Hawwa yang dipenjara pada tanggal 5 Maret 1973 dan baru
dikeluarkan pada akhir Januari 1978.
Tak lama setelah keluar dari penjara, Sa'id melakukan
perjalanan ke beberapa negara Arab. Sebelum keberangkatannya, ia menyerahkan
naskah buku Min Ajli Khuthwah ilal Amaam 'ala Thariiqil-Jihaad al-Mubaarak
untuk diterbitkan. Rencana lawatan adalah selama dua setengah bulan. Di awali
dari Aman, Yordania, lalu melanjutkan kunjungan ke negara-negara Arab lainnya,
seperti Saudi, Emirat, dan Qatar. Rencana ke Kuwait dibatalkan.
Di negara-negara yang dikunjungi ini ia
menyampaikan ceramah dan pertemuan-pertemuan dengan para aktivis Islam
setempat. Rencana kembali ke tanah airnya gagal setelah buku Min Ajli Khuthwah
ilal Amaam yang ditulisnya, membuat marah para aktivis politik di luar Islam.
Karena itu, baik teman-temannya maupun orangtuanya, meminta Sa'id untuk tidak
pulang dulu ke Suriah.
Di Amman Sa'id menyusun beberapa buku lagi. Di
antaranya Tarbiyatuna ar-Ruuhiyyah, dan al-Madkhal ilaa Da'watil-Ikhwaan
al-Muslimin. Di sini pula ia menyempurnakan penulisan buku tafsir yang telah
ditulisnya selama berada di penjara.
Setelah bergulat dengan penyakit selama beberapa
tahun, akhirnya beliau meninggal di Amman, 9 Maret 1989, dengan meninggalkan
seorang istri dan empat orang anak. Pada tanggal 15 Maret 1989, Ustadz Zuhair
asy-Syaawiisy menulis tentang beliau di surat kabar al-Liwaa' yang terbit di
Yordania: "Allah SWT telah menakdirkan Sa'id bin Muhammad Diib Hawwa
meninggal di Rumah Sakit Islam di Amman, pagi hari Kamis tanggal 9/3/1989.
Beliau dimakamkan di pemakaman Sahaab, Amman bagian selatan. Sa'id Hawwa
tergolong da'i paling sukses yang saya kenal. Ia berhasil menyampaikan ide dan
pengetahuan yang dimilikinya kepada masyarakat luas. Meninggal dalam usia yang
pendek, yakni hanya lima puluh tiga tahun, tapi telah meninggalkan karya tulis
yang banyak ..., Saya pernah mengunjunginya di al-Ahsaa' saat beliau menjadi
pengajar di sebuah institut di sana. Di rumahnya saya hanya melihat perabot
yang sederhana. Pakaiannya pun tidak cocok bagi seorang ulama dan guru sekelas
dia yang tinggal di negeri yang amat panas tersebut ...."
* Disadur dari buku:
"Tokoh - Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20"
Penulis: Herry
Mohammad, DKK
Penerbit: Gema
Insani
Milis
Eramuslim
Dikirim oleh:
Gema Insani
Senin, 25
Desember 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar