Oleh: Tsalis Muttaqin
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada Yang Kuasa
Cinta kita di dunia selamanya"
Ini penggalan irik lagu laskar pelangi, Nidji. Setiap dengar lagu ini, saya seperti masuk ke dalam imajinasi novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata. Bukan di masa lalunya tentu, tetapi di masa lalu saya sendiri, di desa saya. Teman-teman saya di SD dulu.
Teman kecil saya. Ada yang
sempat bekerja di perpajakan di Kemenkeu, tapi sekarang sudah mati, karena gagal ginjal. Ada yang baru beberapa tahun menikmati menjadi orang berada, karena didera suatu penyakit, ia juga sudah mati. Ada yang menjadi kuli bangunan, karena entah percikan batu atau pasir, ia menjadi buta, kemudian mati juga. kematian mereka hampir beriringan. Dalam rentang waktu 1,5 tahun.
Semoga Tuhan menyayangi mereka.
Teman kecil saya. Juga ada yang menjadi tukang becak, tukang ojek, buruh tani dan banyak pula yang tidak ada kabar beritanya.
"Menarilah dan terus tertawa, kawan.
walau dunia tak seindah surga".
Oh ya... saya punya teman kecil. Ia seorang perempuan. Mungil. Waktu itu wajahnya paling cantik, tetapi sudah sekitar dua puluh tahun menjanda, beranak satu. Entah kenapa, ia memilih menjadi janda selama itu.
Dan ibu guru saya. anak seorang pendeta yang kemudian menjadi mu'allaf. Ia masuk Islam menjelang pernikahannya. perjumpaan terakhirku dengannya. Rambutnya sudah banyak beruban. Namun pesona kecantikannya di kala muda dulu tidak juga memudar. Mungkin hal ini yang membuatnya berasa awet muda. Kabar yang membahagiakanku. Ia sekarang menjadi penggerak pengajian ibu-ibu di kampungku, meskipun dulu seorang mu'allaf.
Sementara saya. Mungkin ditakdirkan menjadi "Sang Pemimpi" juga. Hanya saja saya tidak ke Sorbonne, Prancis. Saya ke Al-Azhar, Mesir.
Waktu kecil saya. Ibu saya menciptakan mimpi untuk saya, agar kelak dapat melanjutkan kuliah ke Al-Azhar, biar seperti Prof. Dr. Buya Hamka. Begitu kata ibu saya waktu itu.
Akhirnya, di sana saya membangun mimpi pula.
Inlah bagian dari dunia masa lalu saya.
"Laskar Pelangi" saya.
Saya dan orang-orang yang tidak akan begitu saja mudah saya lupakan.
"Cinta kepada hidup
Memberikan senyuman abadi
Walau hidup kadang tak adil
Tapi cinta lengkapi kita"
Begitu Nidji meneruskan lirik lagunya di atas, Laskar Pelangi.
Semoga Tuhan menyayangi mereka.
Teman kecil saya. Juga ada yang menjadi tukang becak, tukang ojek, buruh tani dan banyak pula yang tidak ada kabar beritanya.
"Menarilah dan terus tertawa, kawan.
walau dunia tak seindah surga".
Oh ya... saya punya teman kecil. Ia seorang perempuan. Mungil. Waktu itu wajahnya paling cantik, tetapi sudah sekitar dua puluh tahun menjanda, beranak satu. Entah kenapa, ia memilih menjadi janda selama itu.
Dan ibu guru saya. anak seorang pendeta yang kemudian menjadi mu'allaf. Ia masuk Islam menjelang pernikahannya. perjumpaan terakhirku dengannya. Rambutnya sudah banyak beruban. Namun pesona kecantikannya di kala muda dulu tidak juga memudar. Mungkin hal ini yang membuatnya berasa awet muda. Kabar yang membahagiakanku. Ia sekarang menjadi penggerak pengajian ibu-ibu di kampungku, meskipun dulu seorang mu'allaf.
Sementara saya. Mungkin ditakdirkan menjadi "Sang Pemimpi" juga. Hanya saja saya tidak ke Sorbonne, Prancis. Saya ke Al-Azhar, Mesir.
Waktu kecil saya. Ibu saya menciptakan mimpi untuk saya, agar kelak dapat melanjutkan kuliah ke Al-Azhar, biar seperti Prof. Dr. Buya Hamka. Begitu kata ibu saya waktu itu.
Akhirnya, di sana saya membangun mimpi pula.
Inlah bagian dari dunia masa lalu saya.
"Laskar Pelangi" saya.
Saya dan orang-orang yang tidak akan begitu saja mudah saya lupakan.
"Cinta kepada hidup
Memberikan senyuman abadi
Walau hidup kadang tak adil
Tapi cinta lengkapi kita"
Begitu Nidji meneruskan lirik lagunya di atas, Laskar Pelangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar