Oleh: Tsalis Muttaqin
A. Pendahuluan
Manusia saat ini masuk dalam dunia transformasi,yang mempengaruhi
hampir setiap aspek dari apa yang mereka lakukan. Entah baik atau buruk,
manusia di dorong masuk ke dalam tatanan global yang tidak dipahami sepenuhnya
oleh siapa pun, tetapi yang dampaknya dapat dirasakan oleh semua umat manusia.[1]
Globalisasi barangkali bukanlah kata yang baru untuk
diperbincangkan saat ini. Namun demikian, tidak seorang pun yang ingin memahami
prospek kehidupan manusia di abad ini yang dapat mengabaikannya. Tidak ada satu
pun negara yang tidak membicarakan isu globalisasi secara intensif. Di Prancis,
kata itu disebut dengan mondialisation. Di Spanyol dan Amerika Latin,
disebut globalizatión. Orang Jerman menyebutnya dengan globalisierung.[2]
Sementara orang Arab menyebutnya dengn al-`awlamah.
Mengglobalnya istilah tersebut menjadi bukti perkembangan fenomena yang
diacunya. Setiap guru bisnis membicarakannya. Pidato politik dirasa tidak
lengkap tanpa menyebutkannya. Padahal, hingga akhir 1980-an, istilah tersebut
hampir tidak pernah digunakan, baik dalam literatur akademis maupun dalam
bahasa sehari-hari. Istilah itu datang entah dari mana, namun hampir ada di
mana-mana.[3]
Dengan popularitasnya yang muncul tiba-tiba, tidak perlu terkejut
jika makna gagasan itu tidak selalu jelas, atau jika reaksi intelektual
dibangun untuk melawannya. Globalisasi
berkaitan dengan tesis bahwa kita semua sekarang hidup dalam satu dunia.[4]
B. Makna Globalisasi
Istilah globalisasi merupakan salah satu
istilah yang saat ini sangat populer, menjadi bahan pembicaraan para elit
politik di seluruh dunia, tetapi juga menjadi bahan pembicaraan di warung kopi
di pinggir jalan.
Namun dengan itu tidak berarti bahwa maknanya menjadi jelas. Dalam
perdebatan yang berkembang selama beberapa tahun terakhir, di antara para
pemikir yang berbeda terdapat berbagai pandangan yang hampir sepenuhnya
berlawanan satu sama lain mengenai globalisasi. Di tingkat akademis diskusi
tentang makna globalisasi telah menghasilkan banyak sekali definisi.
Di bawah ini akan ditampilkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para
ahli.
Bagi R. Robertson globalisasi tidak lain
adalah suatu proses”….. pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia
sebagai satu keseluruhan”.[5]
Sedang bagi A. Giddens globalisasi merupakan suatu proses
“intensifikasi relasi-relasi sosial seluas dunia yang menghubungkan
lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa, sehingga peristiwa di suatu
tempat ditentukan oleh peristiwa lain yang terjadi bermil-mil jaraknya dari
situ dan sebaliknya”.[6]
R.O. Koahane dan Joseph S. Nye melihat globalisasi sebagai suatu
proses “meningkatnya jejaring interdependensi antar umat manusia pada tataran
benua-benua”.[7]
Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa globalisasi
merupakan suatu proses saling ketergantungan tingkat global yang membuat dunia
seolah-olah “menyempit”. Atau dengan perkataan lain globalisasi merupakan suatu
proses saling ketergantungan dan keterhubungan antar negara dan antar
masyarakat.[8]
C. Pengaruh
Globalisasi
Globalisasi, sebagaimana yang terjadi, dalam banyak hal, tidak
hanya menawarkan sesuatu yang baru, melainkan juga revolusioner.[9]
Fenomena globalisasi tidak melulu dalam pengertian ekonomi. Globalisasi berdimensi politik,
teknologi dan budaya, sebagaimana juga ekonomi. Globalisasi terutama sangat
dipengaruhi oleh berbagai perkembangan
sistem komunikasi, yang baru dimulai akhir 1960-an.[10]
Komunikasi elektronis yang cepat dan langsung bukanlah sekedar cara untuk
menyampaikan berita atau informasi dengan lebih cepat. Keberadaannya mengubah
setiap relung kehidupan kita, kaya atau miskin. Ketika gambar Nelson Mandela
lebih kita kenal daripada wajah tetangga kita, sesuatu telah berubah dalam
kodrat pengalaman kita sehari-hari.[11]
Konsekuensi akselerasi sejarah dan pencepatan
aktivitas manusia di segala bidang kehidupan adalah meningkatnya kompleksitas
permasalahan dalam kehidupan global itu sendiri. Sebuah desa raksasa yang dihuni oleh berbagai
ras, suku, corak budaya yang berbeda, dengan berbagai kesibukan aktivitas
ekonomi, membanjirnya bentuk entertainment dan aktivitas kultural,
semakin menguatnya tuntutan sosial, seperti tuntutan kebebasan, tuntutan
kualitas hah-hak asasi manusia, tuntutan kepemerintahan yang baik (good
governance) tuntutan pemeliharaan lingkungan hidup, jender, telah mendorong
bangsa-bangsa yang dulu tidak tersentuh oleh peradaban modern semakin memahami
kedudukan dan posisinya, baik dengan jalan menyesuaikan diri dengan tuntutan
global maupun menyesuaikan diri dengan mainstream budaya dominan yang
berkembang seperti virus dalam komputer, sangat cepat dan akurat.[12]
Konsekuensi lain dari berkah teknologi adalah
meningkatnya intensitas pertemuan antar warga desa global dan meningkatnya
intensitas pertemuan mereka. Di dalam berbagai tayangan di media massa dapat
disaksikan bagaimana masyarakat multikultural saling bertemu, berbagi gagasan,
berbagi pengalaman untuk mencapai tingkat persaudaraan dunia. Meski
berbeda-beda bentuk tubuh, warna kulit, cara berpakaian, agama dan kepercayaan,
tetapi perbedaan itu tidak menutup kemungkinan untuk saling berinteraksi dan
bekerja sama.[13]
Pertemuan dan pertukaran terjadi sehingga
mampu menjalin sebuah jaringan internasional dengan menempatkan komunikasi
sebagai sesuatu yang vital. Namun banyak juga mereka yang apriori dan skeptis
terhadap berkah dari teknologi yang dipercaya membawa perbaikan bagi kualitas
kehidupan manusia. Antara lain Alvin Toffler yang mengilustrasikan masyarakat
teknologis sebagai berikut: Di dalam masyarakat teknologis, kebebasan pribadi
dianggap sebagai idel demikrasi. Meskipun orang pesimis bahwa hal itu dapat
dicapai mengingat masa depan sangatlah
suram. Masa depat diisi oleh makhluk konsumen tanpa akal yang dikepung oleh
produk standar, dididik dalam sekolah yang standar, dijejali oleh mass
culture yang standar pula, kemudian dipaksa mengikuti gaya hidup yang
standar pula.[14]
Globalisasi dengan berbagai harapan yang ada
di dalamnya pada akhirnya mempunyai pengaruh riil terhadap kehidupan kita baik
sebagai individu, sebagai bagian dari masyarakat pemeluk agama, masyarakat yang
bangsa dan bernegara, serta masyarakat dunia. Baik itu yang berdampak positif
maupun negatif
Peranan komunikasi dalam era global telah
berhasil tidak saja kemampuannya menyatukan berbagai wilayah yang terpisah,
menjadi tergabung dalam sebuah desa raksasa bernama desa global, melainkan juga
mampu membangun citra hidup global dengan keberhasilan ekonomi global, yakni di
mana barang, jasa, orang-orang, keahlian dan gagasannya bergerak dengan bebas
lintas batas geografis, relatif tidak terhambat dengan batasan-batasan tarif.
Ekonomi global yang digerakkan oleh media massa elektronik secara signifikan
memperluas dan membuat lingkungan persaingan perusahaan semakin kompleks.[15]
Dengan kecanggihan teknologi internet yang menjadi penguasa tunggal komunikasi
global, maka dampak positif yang dapat dirasakan adalah mudahnya memperoleh
informasi dan ilmu pengetahuan. Website-website yang berisi tentang informasi
yang beragam tentang apapun. Hampir-hampir tidak ada satupun persoalan dan
masalah yang luput dari bidikan website-website tersebut. Wilayahnya merambah
ke berbagai perseoalan mulai persoalan-persoalan teologis yang metafisik,
ideologi, politik, ekonomi dan sosial dan budaya. Mulai masalah fisika sampai
masalah religiusitas.
Demikian halnya dengan komunikasi. Jika
beberapa dekade lalu teknologi koran, radio, televisi dan telephone merajai
bidang komunikasi, tidak demikian keadaannya pada beberapa tahun terakhir ini.
Bidang komunikasi diambil alih perannya oleh email, dan jejaring sosial yang
sangat marak digunakan dengan fasilitas yang beragam. Jejaring sosial seperti
Facebook, Twitter, dan lainnya memudahkan orang untuk berkomunikasi antar satu
dengan lainnya. Tanpa ada sekat-sekat perbedaan kelas sosial, ekonomi, ideologi,
budaya dan lainnya.
Dalam hal transportasi, era globalisasi telah
memberi fasilitas transportasi yang mudah bagi manusia. Maskapai penerbangan
domestik dan internasional telah memberikan berbai line penerbangan sampai ke
ibukota propinsi yang jauh dan terpencil. Berkah dan hasil teknologi adalah
faktor utama yang menghubungkan tempat yang jauh dipisahkan oleh lautan dan
daratan, kini bersatu dalam lingkungan yang terpadu. Orang-orang yang tersebar
di seluruh penjuru dunia yang tidak pernah membayangkan bahwa kini mereka mudah
dapat bekomunikasi dan berinteraksi karena adanya akses informasi dan
transportasi canggih.
Dalam kehidupan yang terintegrasi dalam dunia
cyber, manusia diseragamkan oleh produk dunia global. Dalam waktu bersamaan
globalisasi juga melahirkan budaya populer yang baru. Dalam proses produksi
ekonomi, seni dan budaya, kecepatan produk, kuantitas dan kecanggihan produk, telah membawa era
modernisasi ke arah postmodernis. Orang tidak ingin hidup yang biasa-biasa
saja.[16]
Mereka mengekspresikan kehidupan dengan gaya hidup yang sesuai dengan semangat
zamannya. Manusia menjadi kosmopolit dan sangat toleran. Orang Indonesia yang
mayoritas Muslim, niscaya menyadari pentingnya perlindungan terhadap keyakinan
yang minoritas. Kesadaran ini muncul, karena orang Indonesia Muslim menyadari
bahwa di belahan dunia sana, ada orang-orang yang beragama Islam dan hidup
dalam posisi minoritas. Jika muslim yang minoritas ini butuh perlindungan dan
rasa aman di sebuah negara yang mayoritas Muslim, maka sama halnya keberadaan
minoritas yang ada di negara Indonesia.
Globalisasi juga menyadarkan masyarakat dunia
bahwa persaingan dalam berbagai bidang akan berlangsung dengan sengit dan
cepat. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan akan terus menerus mengalami
kemajuan dengan cepatnya. Dalam kesadaran demikian, niscaya masyarakat di era
globalisasi harus berpadu untuk meningkatkan kualitas diri dalam bidang
apapaun. Jika ia tidak mau melakukan ini, niscaya ia akan terseok-sek terseret
oleh roda zaman yang terus bergerak menuju kemajuan beradabannya.
Dan yang nyata dari pengaruh positif era
globalisasi adalah dipenuhinya kebutuhan hidup dengan mudah. Akibat dari arus
teknologi informasi dan komunikasi yang menghujam kuat di tengah-tengah
masyarakat, maka persaingan untuk mendapatkan keuntungan dari hal ini berdampak
positif juga kepada pemenuhan dan kemudahan kebutuhan hidup. Jika dulu ada
beberapa barang dan jasa hanya ditemukan di kota-kota besar, kini barang-barang
itu, setidaknya sudah dapat ditemukan di kota-kota kecil, atau bahkan di desa.
Dengan teknologi jaringan telephon selular atau handphone yang sekarang masuk
ke pelosok desa, meniscayakan handphone sekarang tidak menjadi barang elit yang
hanya dimiliki orang kota. Tapi hampir setiap orang di pedesaan juga punya
akses yang sama.
D. Konsekwensi globalisasi
Fenomena global terus berlangsung dengan
akselerasi makin tinggi. Selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semakin maju tanpa ada pihak manapun yang mampu mecegahnya.
Ironisnya, fenomena ini terjadi seiring dengan kekacauan hubungan antar negara,
terorisme dan kolonialisme gaya baru. Itulah kekacauan peradaban di tengah
gegap gempitanya globalisasi, terlihat dalam lingkungan global yang makin
memprihatinkan, baik dalam segmen demografis, sosio-kultural, ekonomi,
teknologi, politik, maupun dalam segmen hukum serta budaya global.[17]
Konsekwensi lain dengan adanya globalisasi
antara lain, informasi yang tidak tersaring. Di era gloibalisasi informasi
hampir-hampir bisa di katakan tidak ubahnya dunia yang menjadi kampung yang
sempit yang semua informasi dapat didengar dan lihat dari sini. Meskipun
kejadiannya berada di tempat yang jauh di ujung benua sana. Dalam kasus
penggulingan Presiden Mursi yang terpilih secara demokratis di Mesir, misalnya.
Demonstrasi yang menyemut yang memenuhi lapangan Tahrir, dan Jembatan sungai
Nil sampai ke Masjid Rabi’ah al-Adawiyyah yang menjadi base camp
kelompok politik al-Ikhwan al-Muslimun, seolah-olah terjadi di negeri
yang tidak jauh dari sini. Mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah yang
dijajar seperti suatu tempat setelah terjadi penyerangan tentara Mesir terhadap
kubu pro Presiden Mursi dapat dilihat dengan jelas dari sini. Sejelas-jelasnya,
sampai potongan muka seorang korban yang hampir hancur pun dapat dilihat dengan
jelas.
Di sisi lain, tayangan-tayangan yang merusak
moral, seperti disahkannya perkawinan sesama jenis di beberapa negara,
video-video cabul yang merusak generasi muda, hampir hampir dengan mudah
meracuni generasi muda karena begitu mudahnya di dapatkan, baik itu melalui
kaset-kaset VCD yang diperdagangkan secara ilegal, maupun situs-situs internet
yang secara khusus mengiming-imingi dagangan semacam itu.
Globalisasi juga mengakibatkan masyarakat yang
tidak kreatif, karena berperilaku konsumtif. Globalisasi memasukkan kita ke
dalam jurang sikap konsumtif yang berlebihan. Produk-produk impor yang
ditayangkan di hadapan kita, baik lewat televisi, koran-koran dan media
internet mengakibatkan tergerusnya produk lokal dan gulung-tikarnya industri
kecil yang tidak mampu membayar iklan dan propaganda. Anak-anak masyarakat perkotaan kelas menengah sudah
merasa tidak nyaman, kalau hanya diajak berlibur orang tuanya dengan makan-makan
di warung Tegal, warung Padang, nasi pecel dan makanan lokal. Seolah ikut
mengglobal, lidah mereka hanya merasa nyaman dan rileks ketika diajak
makan-makan di Kentucky Fried Chicken (KFC), Mc Donald’s, Burger King, Subway,
Popeyes Louisiana Kitchen dan makanan produk impor lainnya. Demikian halnya
dengan gaya berpakaian yang harus berbau produk yang bermerk, hasil impor dari
negara jauh di sana. Merek-merek impor seperti Lee Capeer, Panini, Nike, Puma
dan lainnya menggeser merek-merek lokal seperti Danar Hadi, Keris, dan merek
merek lain yang meskipun banyak kita
temukan di pasar-pasar tradisional. Eksistensi produk mereka tidak lebih hanya
bisa menguasai ekonomi kelas bawah dan pinggiran. Batik seolah hanya bagian
dari nostalgia masa lalu dan hanya pantas dipakai orang-orang tua. Itu pun
hanya dalam acara-acara resmi pernikahan dan lainnya.
Globalisasi juga berakibat pada sikap yang
menutup diri dan berfikir sempit. Dengan berjam-jam menonton berita dan
acara-acara lain yang ditayangkan oleh stasiun televisi, orang sudah merasa
lebih tahu tentang apa yang terjadi di dunia saat ini. Ia tidak menyadari bahwa
di luar rumahnya, ada lingkungan
tetangga yang juga mempunyai permasalahan yang tidak kalah kompleks. Belakangan
ini, orang sudah merasa lebih gaul ketika sudah eksis di dunia maya seperti di
jejaring Twitter atau Facebook. Banyaknya teman di Facebook seolah menunjukkan
eksistensi mereka dalam pergaulan global. Ketika seorang Facebooker, begitu
mereka menyebut, telah membuat statemen yang dikenal dengan status, kemudian diberi
tanda jempol yang melambangkan respek terhadap statement tersebut dan banyak Facebooker
lain yang memberi komentar dan ulasan, hal
itu seolah menunjukkan bahwa mereka betul-betul eksis di dunia Facebook atau
Twitter. Dan uniknya pergaulan maya itu dilakukan di depan komputer selama
berjam-jam dan tidak kenal waktu. Pergaulan tidak lagi bagaimana kita
bersilaturrahmi dengan saudara, tetangga kita dan teman-teman kita di dunia
nyata, tapi seolah terwakili dalam lipatan satu kotak mesin canggih yang
bernama komputer yang menawarkan banyak fasilitas untuk berkomunikasi dan
saling memberi informasi.
Barang kali pengaruh negatif dari globalisasi
yang paling ironis yaitu mudah meniru perilaku buruk dan mudah terpengaruh oleh
hal-hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan atau kebudayaan setempat. Dalam
konteks olahraga, sepakbola merupakan olahraga yang paling mendominasi
pemberitaan, baik itu di televisi, radio, koran dan jejaring internet. Namun
dalam perkembangannya yang menjadi tayangan sepak bola bukannya berisi
pendidikan fisik atau mental bagaimana agar anak negeri ini dapat berprestasi,
seperti mereka yang berhasil menjadi bintang sepakbola. Tetapi gaya hidup
mereka yang bergelimangan harta, berganti-ganti pacar dan gaya rambut yang aneh
yang menjadi dagangan beritanya. Akibatnya yang ditiru oleh anak-anak muda
bukannya bagaimana proses perjuangan bintang-bintang sepakbola itu, sehingga
mereka mampu menjadi bintang sepak bola yang mendunia. Tetapi hanya gaya
rambutnya yang aneh yang memancing perhatian, atau memberpincangkan villa mewah
yang dibeli di beberapa tempat dan koleksi mobil mewah, atau bahkan pacarnya
yang bergonta-ganti sampai lebih dari 10 kali.
Dalam tayangan wawancara, dalam tradisi Barat,
terutama Amerika, ada budaya cium pipi ketika mengawali pertemuan. Ketika
budaya itu ditiru oleh para presenter lokal, maka tidak pelak lagi perilaku itu
pun mulai ditiru oleh anak-anak muda. Bahkan mereka yang masih duduk dibangku
SMA. Berdasarkan informasi yang didapatkan oleh penulis, dari adik penulis yang
kebetulan mengajar di sebuah SMA di sebuah desa yang jauh dari kota, yang
notabene berada di lingkungan santri. Budaya cium pipi ini juga sudah
menggejala, meskipun dilakukan dalam kelompok yang tertutup. Logika penulis,
Jika perikalu yang menyimpang dari akar moral dan budaya setempat ini sudah
mulai menjalar di desa yang cukup jauh dari kota ini, bagaimana yang terjadi di
kota-kota?
Tentu saja masih banyak untuk disebutkan
pengaruh negatif dari globalisasi yang berkaitan dengan moral. Tidak jarang
kita temukan berita tentang anak di bawah umur yang memperkosa temannya akibat
menonton video porno, perilaku lesbian yang terang-terangan dan lainnya.
E. Agama Melawam Globalisasi
Setelah diatas dikemukakan tentang berkah dan
bencana yang diakibatkan oleh globalisasi, maka kini saatnya dipertanyakan
bagaimana peran agama di tengah pusaran arus globalisasi. Agama seharusnya tidak
bisa hanya bisa menyalahkan keadaan, bahwa dekadensi moral dan
penyimpangan-penyimpangan perilaku negatif yang sebagian telah diuraikan di
atas adalah korban dari dampak negatif globalisasi. Agama, sebagai benteng moral
terakhir yang diharapkan masyarakat, harus mampu melawan derasnya arus globalisasi
yang melanda dunia. Agama jangan sampai ikut jadi korban dari globalisasi itu
sendiri. Agama yang beberapa waktu lalu terpinggirkan dari arus globalisasi
harus mampu bermain ke tengah pusaran globalisasi, setidaknya mengarahkan
globalisasi yang cenderung merusak menjadi globalisasi yang mencerahkan.
Watak Islam yang mendunia, sebagaimana
diisyaratkan dalam firman Allah: “Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad),
kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam”[18],
harus dieksplorasi secara maksimal agar dalam era globalisasi medan dakwah juga
ikut berperan menertibkan dunia dengan ajakan-ajakan iman kepada Allah, berbudi
pekerti yang baik dan berperilaku seperti yang diajarkan Allah dan RasulNya.
Dalam upaya ini agama memang mempunyai harapan
dan tantangannya sendiri. Di dalam dunia jejaring internet, banyak kita temukan
situs-situs dakwah yang sangat bernuansa agama. Bahkan ditemukan keragaman
dalam menyuguhkan dakwah. Situs-situs yang diterbitkan oleh beberapa lembaga di
Timur Tengah, menawarkan kitab-kitab tentang ilmu-ilmu keIslaman yang dapat
diakses dan di-download secara gratis. Kitab-kitab klasik dan
kitab-kitab kontemporer dalam berabagi bidangnya semua dapat di-download
secara gratis. Disamping itu banyak pula tokoh agama yang menjadi ikon situs
internet yang berisi tentang rangkuman tulisan, rekaman dakwah mereka dan tanya
jawab secara on-line.
Di Indonesia sendiri saat ini sudah banyak
kita temukan situs-situs dakwah tersebut. Organisasi-organisasi keagamaan
berlomba-lomba untuk menampilkan situs-situs resmi sebagai media dakwah. Bahkan
beberapa tokoh kyai, seperti KH Mustofa Bisri merelakan dirinya terlibat dalam
pergaulan di dunia maya, baik di Twitter dan Facebook untuk dapat merebut
kesempatan dakwah lewat jejaring sosial tersebut. Dakwah yang dilakukan di
jejaring sosial ini sudah cukup beragam temanya. Ada yang bertemakan tanya
jawab agama Islam, ada yang secara khusus membahas sejarah pribadi Rasulullah
dan budi pekerti beliau. Ada yang membahas hukum-hukum fikih. Ada pula yang
mengulas tentang kondisi ekonomi dan politik dunia Islam kontemporer. Dalam hal
keompetisi dakwah di dunia maya memang sudah cukup ada perkembangan yang
signifikan.
Namun tidak berbanding lurus dengan realitas
di atas, ketika sudah masuk ke ranah media Massa. Tantangan terasa berat ketika
dakwah yang dimaksud memakai sarana televisi atau koran. Agama masih mempunyai
peran yang sangat termarjinalkan. Dakwah Islam mempunyai porsi yang
sangat-sangat timpang, jika dibandingkan dengan acara hiburan dan lainnya.
Acara yang berisi pencerahan kegamaan hanya bisa tayang pada jam-jam sepi
penonton. Acara keagamaan hanya punya jam tayang jam tiga pagi sampai jam enam.
Itu pun berdurasi hanya setengah sampai satu Jam. Atau kalau pada acara
mingguan, acara keagamaan hanya mendapat porsi hari Sabtu dan Minggu yang
berdurasi tidak lebih dari satu jam. Sementara di koran, tulisan yang mengulas
masalah keagamaan hanya dapat ditemukan di hari Jum’at yang kolomnya tidak
lebih dari setengah halaman.
Memang tantangan berat menghadang di depan
kita kalau sudah bicara persaingan global yang terkait dengan dakwah dan agama.
Namun seberat apapun tantangan dan rintangan itu, tokoh-tokoh agama harus
terus-menerus berusaha keras bagaimana agama mampu memainkan peran dalam rangka
membentengi moral bangsa, akibat gempuran globalisasi yang tidak mungkin, dan
tidak akan pernah dapat dihentikan dan dibendung lajunya.
F. Penutup
Era globalisasi memang harus diakui menaruh
harapan dan kemudahan di satu sisi, namun di sisi lain ia juga merupakan
ancaman dan bahaya kalau tidak disikapi dan di antisipasi dengan baik. Di ranah
ini, agama dan tokoh-tokoh agama punya peran besar untuk bagaimana mengarahkan
dan mengendalikan tuntutan globalisasi agar wajah dunia tidak semakin hancur
akiban kerusakan perilaku dan moral yang diakibatkan oleh globalisasi. Memang terasa
aneh dan terasing, memeprsoalkan agama di tengah-tengah globalisasi yang
mengarah kepada kehidupan yang hedonis. Namun bukankan Nabi telah berpesan,
bahwa yang terasing dan aneh di akhir zaman justru itu adalah golongan yang
beruntung?
Sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Islam itu
bermula dari keterasingan dan akan kembali terasing, maka beruntunglah
orang-orang yang terasing itu”. Sahabat Rasulullah yang mendengar sabda ini
penasaran dan bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang yang terasing
itu”. Jawab Rasulullah: “Mereka itu ialah orang-orang yang berusaha memperbaiki
sunnah-sunnahku yang telah dirusak oleh manusia”.[19]
Hanya Allah Yang Maha Tahu.
Daftar Pustaka
-
Anthony
Giddens, Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Terj. Andry Kristiawan
S dan Yustina Koen S (Jakarta: Gramedia, 2004) cet ii
-
St. Nugroho, Latar Belakang Kebesamaan sebagai Bangsa
dalam Tantangan Sosial Dewasa ini, dalam Andre Ata Ujan dkk, Multikulturalisme
Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan (Jakarta Barat: Indeks, 2011) cet iii
-
Andrik Purwasito, Komunikasi Multikultural, (Surakarta:
UMS Press, 2003) cet I.
-
Alvin Toffler, Future Shock, 1970, terjemahan Kejutan
Masa Depan, (Jakarta: Pantja Simpati, 1992)
[1] Anthony
Giddens, Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Terj. Andry
Kristiawan S dan Yustina Koen S (Jakarta: Gramedia, 2004) cet ii, hlm 1.
[2] Ibid, hlm 2
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] St. Nugroho, Latar
Belakang Kebesamaan sebagai Bangsa dalam Tantangan Sosial Dewasa ini, dalam
Andre Ata Ujan dkk, Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan (Jakarta
Barat: Indeks, 2011) cet iii, hlm 7. St
Nugraha mengutip R. Robertson, Globalization (London: Sage, 1992) hlm 8.
[6] Ibid, St
Nugroho mengutip A. Giddens, The Consequences of Modernity (Cambridge:
Polity, 1990) hlm 64
[7] Ibid, St
Nugroho mengutip R.O. Keohane dan Joseph S. Nye, Globalization: What’s New?
What’s Not (And So What?) dalam Foreign Policy (Spring, 2000) hlm 105.
[8] Ibid.
[9] Anthony
Giddens, Bagaimana Globalisasi…. Hlm 5.
[10] Ibid
[11] Ibid, hlm 7
[14] Alvin Toffler, Future Shock, 1970, terjemahan Kejutan Masa Depan,
(Jakarta: Pantja Simpati, 1992) hal. 237.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar