GAGASAN, SOLOPOS, SABTU PAHING, 17 NOVEMBER 2001
Oleh: Tsalis Muttaqin
Imam
Ghozali, seorang ulama ahli dalam bidang fiqh, filsafat dan tasawuf yang pernah
dimiliki oleh dunia Islam, dalam bukunya Ihya Ulumuddin menulis bahwa
ada tiga klasifikasi dalam puasa, yaitu puasa umum, puasa khusus dan puasa di
atas khusus.
Puasa
umum adalah tingkatan puasa yang paling rendah derajatnya, yaitu sekadar
menahan diri dari makan, minum, jima’
(bersetubuh) dan perkara yang membatalkan puasa semenjak terbit fajar sampai
terbenamnya matahari. Puasa khusus, di samping menahan hal di atas, juga
memelihara seluruh anggota badan dari perbuatan maksiat dan tercela. Sedangkan
puasa di atas khusus adalah puasa hati dari segala kehendak hina dan segala
pikiran duniawi serta mencegahnya dari memikirkan segala sesuatu yang selain
Allah.
Puasa
pada tingkatan ketiga adalah puasa para nabi-nabi, shiddiqin
(orang-orang yang sangat benar) dan muqarrabin (orang-orang yang dekat
kepada Allah), ialah tingkatan puasa yang sangat sulit untuk kita capai – untuk
mengatakan hampir tidak mungkin. Sedangkan puasa yang ada di tingkatan kedua
adalah puasanya orang-orang yang saleh. Pada tingkatan inilah yang seharusnya –
dan mungkin – kita tuju untuk mencapainya.
Selanjutnya,
jelas Imam Ghozali, ada enam hal yang harus kita perhatikan untuk mencapai
kesempurnaan puasa pada tingkatan kedua ini.
Pertama, menahan pandangan mata dari segala hal yang terlarang, tercela
dan dimakruhkan dalam agama serta menahannya dari tiap-tiap hal yang meragukan
dan bisa menimbulkan kelalaian dari mengingat Allah. Dalam kaitan ini
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa meninggalkan pandangan mata karena takut
kepada Allah, niscaya Allah menganugerahkan kepadanya keimanan yang
mendatangkan kemanisan dalam hatinya”.
Kedua, menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat,
berkata keji dan mempergunjingkan orang lain serta memaksa lidahnya untuk
selalu diam, dan menggunakan waktu untuk selalu berzikir kepada Allah dan
membaca Alquran. Sabda Rasulullah: “Ada dua perkara yang merusak puasa, yaitu
mengumpat dan berbohong”.
Ketiga, menjaga telinga dari mendengar perkataan yang tidak baik. Karena
setiap ucapan yang diharamkan, haram pula untuk didengar. Dalam kaitan ini
Rasulullah menjelaskan bahwa yang mengumpat dan yang mendengar berserikat dalam
dosa.
Keempat, mencegah anggota-anggota badan yang lain dari perbuatan dosa.
Seperti mencegah tangan dan kaki dari perbuatan maksiat dan mungkar, mencegah
perut dari makan dan minum sesuatu yang syubhat (meragukan status hukumnya) dan
haram.
Kelima, tidak bermewah-mewahan dalam berbuka puasa sampai perutnya penuh
dengan makanan. Orang yang berbuka secara berlebihan tentu tidak akan dapat
memetik manfaat dan hikmah puasa. Bagaimana mungkin dia bisa mengalahkan musuh
Allah dan mengendalikan hawa nafsunya, sementara perutnya penuh dengan makanan
yang tak terhindar banyak dan jenisnya.
Keenam, hatinya selalu diliputi perasaan cemas dan takut (khauf)
dan harap (raja’). Karena ia tidak tahu benar apakah puasanya diterima
atau tidak oleh Allah. Rasa cemas ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas
puasa yang telah dilakukan agar lebih hati-hati terhadap perkara yang bisa
menimbulkan rusaknya puasa, sedangkan harapan berperan dalam menumbuhkan sikap
optimistis akan segala pahala, nikmat dan anugerah Allah yang diberikan
kepadanya.
Keutamaan Ramadhan
Pada
bulan ini Allah menurunkan Alquran dari Lauhulmahfudz ke langit dunia di suatu
malam yang dirahasiakan Allah kapan tepatnya. Dalam firmanNya, Allah menyebut
malam turunnya Alquran sebagai malam Lailatul Qadar. Malam yang kebaikannya
lebih dari seribu bulan. Malaikat Jibril dengan diiringi malaikat lain turun ke
dunia dengan izin Tuhan mereka untuk menyelesaikan segala urusan. Salam dan
sejahtera yang terjadi malam itu berlangsung sampai terbit fajar. Sebagian ahli
menyebut bahwa peristiwa turunnya Alquran terletak pada suatu malam antara
tanggal satu sampai habis Ramadhan. Sementara yang lain menyebut terjadinya
malam itu adalah sekitar sepuluh malam terakhir
dari bulan Ramadhan.
Buat
kita, tentu tidak terlalu penting kapan terjadinya malam yang indah tersebut.
Dengan melakukan kegiatan amal ibadah yang mendekatkan diri kita kepada Allah
selama sebulan penuh, tentu kita temui salah satu diantaranya malam yang
dimuliakan Allah tersebut. Secara umum, Allah mengisyaratkan bahwa peristiwa
turunnya Alquran terjadi pada bulan Ramadhan. Firman-Nya: “Bulan Ramadhan
adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Alquran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan buat petunjuk tersebut dan Alfurqan”. Sementara itu
banyak pula hadits-hadits Rasulullah yang memperkuat dan menjelaskan keutamaan
Bulan Ramadhan. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
SAW pernah bersabda: “Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadhan (melakukan ibadah
dan zikir) dengan yakin dan ikhlas, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah
lewat”. Sementara Aisyah juga menginformasikan bahwa keseriusan Rasulullah di
bulan Ramadhan dalam beribadah melebihi bulan-bulan yang lain dan keseriusan
beliau dalam sepuluh hari terakhir lebih dari yang lain”. Ayat dan Hadits di
atas kiranya cukup representatif sebagai bukti kemuliaan Ramadhan, meskipun masih
banyak pula bukti-bukti ayat dan hadits lain yang mendukung kebenaran tersebut.
Lewat
berbagai kesempatan dan forum, baik dalam cermah-ceramah agama, khutbah,
pengajian, majlis taklim dan berbagai acara keagamaan yang disiarkan berbagai media massa, para penyair, ustad,
dai dan kiai bahkan artis dan presenter televisi dan radio tak bosan untuk
selalu mengulang-ulang keutamaan Ramadhan, hingga terkesan menjemukan.
Namun
yang jadi pertanyaan apakah keutamaan Ramadhan yang mereka dendangkan itu
sebatas retorika atau kumpulan bait-bait yang menghiasi tumpukan sajak atau
nada? Atau mereka – dan kita tentu – pernah merasakan dengan indera kita
keutamaan yang sering kita dengar itu? Apakah kita sudah konsisten dengan rasa
keagamaan kita dengan istiqomah menjalankan anjuran dan meninggalkan
larangan-Nya di bulan yang penuh berkah ini? Tentu hanya hati kita yang tahu
jawabannya.
Pertanyaan
ini mengemuka, sebab selama ini kita – termasuk saya mungkin – sering bersikap
munafik. Berlagak gagah, suci dan khusyuk di depan publik. Namun diam-diam otak
dan hati kita sering tidak peduli dengan apa berkumandang dari mulut kita.
Maklum saja, kata orang ini kan zamannya semua manusia ingin jadi artis. Na’uzu
billah min zalik.
Introspeksi
Pada
tahun-tahun yang lewat sudah kita lakukan ibadah puasa. Namun barangkali perlu
kita tanyakan kepada pribadi masing-masing, apakah puasa yang selama ini kita
lakukan sudah ideal seperti kriteria di atas. Atau sekedar puasa umum yang
hanya meninggalkan makan, minum dan perkara yang membatalkannya? Memang puasa
pada tingkatan pertama ini sudah sah secara legal formal keagamaan kita (fiqh),
karena secara definitif kita sudah tidak menyalahi aturan berpuasa. Akan tetapi
sebagai seorang muslim yang sangat merindukan rida Allah dan ketenteraman yang
hakiki, tentu secara terus menerus kita selalu berupaya untuk meningkatkan
kualitas puasa dengan memenuhi kriteria ideal sebagaimana dijabarkan di atas,
hingga muara yang kita dapatkan berada dalam puncak ketakwaan kepada Allah,
sebagaiman dijanjikan Allah dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, supaya kalian menjadi orang-orang
yang bertakwa”.
Dan
pada bulan Ramadhan kali ini, alangkah baiknya kita tidak menunda-nunda waktu
lagi, selagi harapan dan kesempatan masih ada. Untuk bisa mempuasakan mata,
mulut, telinga, tangan, kaki, bahakan pikiran, hati dan seluruh anggota badan,
di samping perut kita.
Dengan
demikian kita bisa menyaksikan dan merasakan sebuah ketenteraman dan kedamaian
hidup hakiki yang penuh dengan rahmat dan rida-Nya hingga kita sampai pada
muara kebahagiaan abadi. Sembari memohon kepada-Nya agar segala kebaikan yang
dialami selama bulan puasa ini bisa dipertahankan pula setelah bulan puasa
nanti.
Dan
puncak dari segala kenikmatan yang kita dapatkan adalah ketika Allah kelak
memanggil-manggil kita sebagai penghargaan terhadap manusia yang sempurna
imannya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridainya, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan
masuklah dalam kedamaian syurgak-Ku” (QS 89:27-30).
Selamat
menjalankan ibadah puasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar