Minggu, Maret 23, 2014

Puasa dalam Perspektif Hikmah

GAGASAN, SOLOPOS, SABTU PAHING, 17 NOVEMBER 2001

Oleh: Tsalis Muttaqin

Imam Ghozali, seorang ulama ahli dalam bidang fiqh, filsafat dan tasawuf yang pernah dimiliki oleh dunia Islam, dalam bukunya Ihya Ulumuddin menulis bahwa ada tiga klasifikasi dalam puasa, yaitu puasa umum, puasa khusus dan puasa di atas khusus.

Puasa umum adalah tingkatan puasa yang paling rendah derajatnya, yaitu sekadar menahan diri dari makan, minum,  jima’ (bersetubuh) dan perkara yang membatalkan puasa semenjak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Puasa khusus, di samping menahan hal di atas, juga memelihara seluruh anggota badan dari perbuatan maksiat dan tercela. Sedangkan puasa di atas khusus adalah puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya dari memikirkan segala sesuatu yang selain Allah.

Puasa pada tingkatan ketiga adalah puasa para nabi-nabi, shiddiqin (orang-orang yang sangat benar) dan muqarrabin (orang-orang yang dekat kepada Allah), ialah tingkatan puasa yang sangat sulit untuk kita capai – untuk mengatakan hampir tidak mungkin. Sedangkan puasa yang ada di tingkatan kedua adalah puasanya orang-orang yang saleh. Pada tingkatan inilah yang seharusnya – dan mungkin – kita tuju untuk mencapainya.
Selanjutnya, jelas Imam Ghozali, ada enam hal yang harus kita perhatikan untuk mencapai kesempurnaan puasa pada tingkatan kedua ini.


Pertama, menahan pandangan mata dari segala hal yang terlarang, tercela dan dimakruhkan dalam agama serta menahannya dari tiap-tiap hal yang meragukan dan bisa menimbulkan kelalaian dari mengingat Allah. Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa meninggalkan pandangan mata karena takut kepada Allah, niscaya Allah menganugerahkan kepadanya keimanan yang mendatangkan kemanisan dalam hatinya”.

Kedua, menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji dan mempergunjingkan orang lain serta memaksa lidahnya untuk selalu diam, dan menggunakan waktu untuk selalu berzikir kepada Allah dan membaca Alquran. Sabda Rasulullah: “Ada dua perkara yang merusak puasa, yaitu mengumpat dan berbohong”.

Ketiga, menjaga telinga dari mendengar perkataan yang tidak baik. Karena setiap ucapan yang diharamkan, haram pula untuk didengar. Dalam kaitan ini Rasulullah menjelaskan bahwa yang mengumpat dan yang mendengar berserikat dalam dosa.

Keempat, mencegah anggota-anggota badan yang lain dari perbuatan dosa. Seperti mencegah tangan dan kaki dari perbuatan maksiat dan mungkar, mencegah perut dari makan dan minum sesuatu yang syubhat (meragukan status hukumnya) dan haram.

Kelima, tidak bermewah-mewahan dalam berbuka puasa sampai perutnya penuh dengan makanan. Orang yang berbuka secara berlebihan tentu tidak akan dapat memetik manfaat dan hikmah puasa. Bagaimana mungkin dia bisa mengalahkan musuh Allah dan mengendalikan hawa nafsunya, sementara perutnya penuh dengan makanan yang tak terhindar banyak dan jenisnya.

Keenam, hatinya selalu diliputi perasaan cemas dan takut (khauf) dan harap (raja’). Karena ia tidak tahu benar apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah. Rasa cemas ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas puasa yang telah dilakukan agar lebih hati-hati terhadap perkara yang bisa menimbulkan rusaknya puasa, sedangkan harapan berperan dalam menumbuhkan sikap optimistis akan segala pahala, nikmat dan anugerah Allah yang diberikan kepadanya.

Keutamaan Ramadhan
Pada bulan ini Allah menurunkan Alquran dari Lauhulmahfudz ke langit dunia di suatu malam yang dirahasiakan Allah kapan tepatnya. Dalam firmanNya, Allah menyebut malam turunnya Alquran sebagai malam Lailatul Qadar. Malam yang kebaikannya lebih dari seribu bulan. Malaikat Jibril dengan diiringi malaikat lain turun ke dunia dengan izin Tuhan mereka untuk menyelesaikan segala urusan. Salam dan sejahtera yang terjadi malam itu berlangsung sampai terbit fajar. Sebagian ahli menyebut bahwa peristiwa turunnya Alquran terletak pada suatu malam antara tanggal satu sampai habis Ramadhan. Sementara yang lain menyebut terjadinya malam itu adalah sekitar sepuluh malam terakhir  dari bulan Ramadhan.

Buat kita, tentu tidak terlalu penting kapan terjadinya malam yang indah tersebut. Dengan melakukan kegiatan amal ibadah yang mendekatkan diri kita kepada Allah selama sebulan penuh, tentu kita temui salah satu diantaranya malam yang dimuliakan Allah tersebut. Secara umum, Allah mengisyaratkan bahwa peristiwa turunnya Alquran terjadi pada bulan Ramadhan. Firman-Nya: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan buat petunjuk tersebut dan Alfurqan”. Sementara itu banyak pula hadits-hadits Rasulullah yang memperkuat dan menjelaskan keutamaan Bulan Ramadhan. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadhan (melakukan ibadah dan zikir) dengan yakin dan ikhlas, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat”. Sementara Aisyah juga menginformasikan bahwa keseriusan Rasulullah di bulan Ramadhan dalam beribadah melebihi bulan-bulan yang lain dan keseriusan beliau dalam sepuluh hari terakhir lebih dari yang lain”. Ayat dan Hadits di atas kiranya cukup representatif sebagai bukti kemuliaan Ramadhan, meskipun masih banyak pula bukti-bukti ayat dan hadits lain yang mendukung kebenaran tersebut.

Lewat berbagai kesempatan dan forum, baik dalam cermah-ceramah agama, khutbah, pengajian, majlis taklim dan berbagai acara keagamaan yang disiarkan  berbagai media massa, para penyair, ustad, dai dan kiai bahkan artis dan presenter televisi dan radio tak bosan untuk selalu mengulang-ulang keutamaan Ramadhan, hingga terkesan menjemukan.

Namun yang jadi pertanyaan apakah keutamaan Ramadhan yang mereka dendangkan itu sebatas retorika atau kumpulan bait-bait yang menghiasi tumpukan sajak atau nada? Atau mereka – dan kita tentu – pernah merasakan dengan indera kita keutamaan yang sering kita dengar itu? Apakah kita sudah konsisten dengan rasa keagamaan kita dengan istiqomah menjalankan anjuran dan meninggalkan larangan-Nya di bulan yang penuh berkah ini? Tentu hanya hati kita yang tahu jawabannya.

Pertanyaan ini mengemuka, sebab selama ini kita – termasuk saya mungkin – sering bersikap munafik. Berlagak gagah, suci dan khusyuk di depan publik. Namun diam-diam otak dan hati kita sering tidak peduli dengan apa berkumandang dari mulut kita. Maklum saja, kata orang ini kan zamannya semua manusia ingin jadi artis. Na’uzu billah min zalik.

Introspeksi
Pada tahun-tahun yang lewat sudah kita lakukan ibadah puasa. Namun barangkali perlu kita tanyakan kepada pribadi masing-masing, apakah puasa yang selama ini kita lakukan sudah ideal seperti kriteria di atas. Atau sekedar puasa umum yang hanya meninggalkan makan, minum dan perkara yang membatalkannya? Memang puasa pada tingkatan pertama ini sudah sah secara legal formal keagamaan kita (fiqh), karena secara definitif kita sudah tidak menyalahi aturan berpuasa. Akan tetapi sebagai seorang muslim yang sangat merindukan rida Allah dan ketenteraman yang hakiki, tentu secara terus menerus kita selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas puasa dengan memenuhi kriteria ideal sebagaimana dijabarkan di atas, hingga muara yang kita dapatkan berada dalam puncak ketakwaan kepada Allah, sebagaiman dijanjikan Allah dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, supaya kalian menjadi orang-orang yang bertakwa”.

Dan pada bulan Ramadhan kali ini, alangkah baiknya kita tidak menunda-nunda waktu lagi, selagi harapan dan kesempatan masih ada. Untuk bisa mempuasakan mata, mulut, telinga, tangan, kaki, bahakan pikiran, hati dan seluruh anggota badan, di samping perut kita.

Dengan demikian kita bisa menyaksikan dan merasakan sebuah ketenteraman dan kedamaian hidup hakiki yang penuh dengan rahmat dan rida-Nya hingga kita sampai pada muara kebahagiaan abadi. Sembari memohon kepada-Nya agar segala kebaikan yang dialami selama bulan puasa ini bisa dipertahankan pula setelah bulan puasa nanti.

Dan puncak dari segala kenikmatan yang kita dapatkan adalah ketika Allah kelak memanggil-manggil kita sebagai penghargaan terhadap manusia yang sempurna imannya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridainya, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah dalam kedamaian syurgak-Ku” (QS 89:27-30).
Selamat menjalankan ibadah puasa.

*)Tsalis Muttaqin, alumnus Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Menyelesaikan S1 di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadits, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.


Tidak ada komentar:

Entri Populer