Selasa, Desember 02, 2008

Dosa-dosa Korupsi: Perspektif Studi Hadis Sunan At-Tirmidzi dan Musnad Ahmad

Oleh: Tsalis Muttaqin
Pendahuluan
Pemberantasan korupsi merupakan agenda besar yang menjadi target bangsa Indonesia sekarang. Sejak kebangkrutan negeri ini yang menimbulkan krisis multidimensional sampai dewasa ini disinyalir penyebabnya adalah praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang merajalela di segala lini birokrasi. Korupsi yang sudah menjadi penyakit akut di negeri ini telah dikaji oleh berbagai kalangan dengan meninjau dari berbagai aspeknya. Kajian-kajian ini dilakukan dengan harapan dapat membantu bangsa ini untuk melepaskan diri dari kejahatan korupsi. Dalam makalah ini penulis mencoba mengkaji korupsi secara tematik (maudlu’i) dalam perspetif hadis Rasulullah saw dengan memakai rujukan Kitab Musnad karya Imam Ahmad dan Kitab As-Sunan karya Imam At-Tirmidzi.



Kedua kitab hadis yang dibuat rujukan tersebut merupakan sumber-sumber hadis yang orisinal dan merupakan kitab induk dalam khazanah hadis Rasulullah saw. Hal ini karena kedua pengarangnya mempunyai sanad sendiri dari perawi-perawi hadis yang menghubungkannya kepada Rasulullah saw.
Dengan mengkaji korupsi dalam perspektif hadis-hadis Nabi Muhammad diharapkan kita dapat memahami betapa besar resiko seorang yang korup baik di dunia dan di akhirat kelak. Mudah-mudahan kajian ini bermanfaat.

Definisi Korupsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud korupsi adalah: penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Tindakan orang yang suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya atau dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi) disebut: Korup. Sedang orang yang melakukan korupsi atau orang yang menyelewengkan (menggelapkan) uang negara (perusahaan) tempat kerjanya disebut: Koruptor.
Meskipun ada beberapa versi dalam definisi korupsi, dalam makalah ini hanya dibatasi dengan korupsi sebagaimana yang diterangkan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia.
Pengertian korupsi sebagaimana diuraikan di atas berarti merupakan tindakan kejahatan, karena kekayaan yang seharusnya digunakan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak (negara dan rakyat ) telah digunakan oleh oknum pejabat tertentu tidak sebagaimana mestinya yaitu untuk keuntungan memperkaya diri.
Dalam perspektif agama Islam, korupsi masuk dalam kategori kezaliman yang sangat berat, pelaku bukan hanya harus diberi sanksi di dunia tetapi juga mempunyai sanksi yang sangat keras di akhirat kelak.

Tanggung jawab seorang pemimpin
Mengawali kajian ini marilah kita simak tanggung jawab seorang pemimpin menurut persepsi Islam. Banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berbuat adil ketika dipercaya menjadi seorang pemimpin. Di antaranya yaitu firman Allah SWT:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيْعًا بَصِيْرًا
Artinya:“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Surat An-Nisaa’: 58)
Rasulullah saw senantiasa mengingatkan umatnya agar senantiasa memegang amanat ketika diberikan kepadanya sebuah tanggung jawab. Baik itu tanggung jawab sebagai seorang pemimpin, sebagai suami, maupun sebagai isteri. Bahkan seorang hamba sahayapun harus amanat terhadap sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya.
Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى بَيْتِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya:[Ahmad bin Hanbal berkata:] Yahya telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis dari Ubaidullah (ia berkata): Nafi’ menyamkaikan kabar kepadaku dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian dimintai pertanggung jawaban tentang rakyatnya (yang dipimpin). Seorang Amir atas manusia adalah pemimpin mereka dan ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai mereka. Seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah suami dan anak-anaknya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin atas rumah tuannya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai itu. Ingatlah ! Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian dimintai pertanggung jawaban tentang rakyatnya (yang dipimpin)”. (Musnad Ahmad, Hadis no 4920)
Hadis ini meperingatkan kita betapa beratnya menjadi seorang pemimpin. Jika seorang budak saja kelak harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya atas rumah tuannya, bagaimana dengan seorang pejabat yang membawahi berjuta-juta rakyat?
Hadis di bawah ini menjelaskan bahwa kelak di hari kiamat pejabat-pejabat negara dimintai pertanggungjawaban hingga masalah keluarganya.

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ يُونُسَ عَنِ الْحَسَنِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسْتَرْعِي اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَبْدًا رَعِيَّةً قَلَّتْ أَوْ كَثُرَتْ إِلَّا سَأَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَنْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَقَامَ فِيهِمْ أَمْرَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَمْ أَضَاعَهُ حَتَّى يَسْأَلَهُ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ خَاصَّةً
Artinya:[Ahmad bin Hanbal berkata:] Ismail telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis dari Yunus, dari Al-Hasan, dari Ibnu Umar, bahwa sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Allah tidak mengangkat seorang hambaNya menjadi pemimpin atas rakyat, sedikit atau banyak (rakyat itu), kecuali kelak di akhirat niscaya Allah menanyakan kepadanya tentang rakyat yang dipimpin. Apakah terhadap mereka ia menegakkan perintah Allah atau menyia-nyiakannya, sehingga Allah menanyakan kepadanya tentang keluarganya secara khusus”. (Musnad Ahmad, Hadis no: 4408)
Hadis ini menjelaskan kepada kita bahwa kelak seorang pemimpin dihisab atas tanggung jawab kepemimpinannya lebih dulu, baru kemudian ia dihisab atas tanggung jawabnya atas rumah tangganya sendiri.
Hadis di atas memberi penjelasan bahwa begitu berat tanggung jawab seorang pemimpin di hadapan Allah SWT. Namun demikian jika seorang pemimpin telah berbuat adil, dia akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah SWT.
Sebuah hadis riwayat Imam Tirmidzi menjelaskan hal ini:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ أَبو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Artinya:[Abu Isa At-Tirmidzi berkata:] Ali bin Al-Mundzir Al-Kufiy telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) Muhammad bin Fudlail telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis dari Fudlail bin Marzuq, dari ‘Athiyyah, dari Abu Sa’id, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan tempat duduknya yang paling dekat denganNya ialah seorang imam yang adil dan manusia yang paling dibenci Allah dan tempat duduknya yang paling jauh denganNya adalah seorang imam yang sewenang-wenang”.
At-Tirmidzi berkata: (hadis) dalam bab ini (diriwayatkan pula) dari Abdullah bin Abi Awfaa. Kata Abu Isa At-Tirmidzi pula: Hadis Abu said ini hadis hasan, gharib. Saya tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. (Sunan Tirmidzi Hadis No: 1250)

Pemimpin Yang Menipu Rakyat
ِDalam Al-Qur’an dan sunnah banyak diterangkan bahwa manusia tidak boleh melakukan penipuan dan kebohongan. Dalam suatu hadisnya Rasulullah mengeluarkan orang yang suka menipu dari golongan umat beliau:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِرَجُلٍ يَبِيعُ طَعَامًا فَسَأَلَهُ كَيْفَ تَبِيعُ فَأَخْبَرَهُ فَأُوحِيَ إِلَيْهِ أَدْخِلْ يَدَكَ فِيهِ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فَإِذَا هُوَ مَبْلُولٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ
Artinya:[Ahmad bin Hanbal berkata:] Sufyan telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis dari Al-‘Alaa’, dari ayahnya dari Abu Hurairah, bahwa Sesungguhnya Rasulullah saw bertemu seorang yang menjual makanan. Maka beliau menanyakan bagaimana ia menjual. Maka orang itu menceritakannya dan mempersilahkan Beliau untuk memasukkan tangannya ke dalam makanan. Rasulullah lalu memasukkan tangannya, ternyata makanan itu dibasahi. Maka Bersabda Rasulullah saw: “Tidak termasuk golongan kita orang yang menipu (mengkhianati) kita” (musnad Ahmad, hadis no: 6991)
Jika terhadap pedagang yang melakukan penipuan, Rasulullah sudah memperingatkannya dengan sedemikian keras, sudah dipastikan peringatan Nabi akan lebih keras atas perbuatan pemimpin yang melakukan penipuan. Allah mengancam para pemimpin yang tidak jujur kelak akan mendapatkan balasan yang sangat berat.
Imam Ahmad meriwayatkan:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سَوَادَةُ بْنُ أَبِي الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَاعٍ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً فَغَشَّهَا فَهُوَ فِي النَّارِ
Artinya:[Ahmad bin Hanbal berkata:] Waki’ telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) Sawaadah bin Abu Al-Aswad telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis dari ayahnya, dari Ma’qil bin yasaar, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Jika ada seorang yang diangkat untuk memimpin rakyat, kemudian ia menipu rakyatnya, maka ia masuk neraka”. (Musnad Ahmad: Hadis no: 19406)
Hadis riwayat Imam Ahmad di bawah ini bahkan menegaskan bahwa mereka diharamkan masuk surga:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ يُونُسَ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ اشْتَكَى فَدَخَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ يَعْنِي يَعُودُهُ فَقَالَ أَمَا إِنِّي سَأُحَدِّثُكَ حَدِيثًا لَمْ أَكُنْ حَدَّثْتُكَ بِهِ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسْتَرْعِي اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَبْدًا رَعِيَّةً فَيَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ لَهَا غَاشٌّ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Artinya:[Ahmad bin Hanbal berkata:] Ismail telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) dari Yunus, dari Al-Hasan, sesungguhnya ma’qil bin yasaar mengeluh (sakit), maka Abdullah bin Ziyad masuk menjenguknya. Kemudian kata Ma’qil: Sesungguhnya aku hendak menyampaikan sebuah hadis kepadamu yang belum pernah aku sampaikan, bahwa sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda atau sesungguhnya beliau bersabda: “Allah tidak mengangkat seorang hamba menjadi pemimpin suatu rakyat, yang pada saat menjelang kematiannya ia menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan kepadanya surga”. (Musnad Ahmad No hadis: 19408).

Laknat Atas Suap
Rasulullah saw secara tegas bersabda bahwa beliau melaknat orang-orang yang melakukan suap. Imam At-Tirmidziy meriwayatkan:
حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ قَالَ أَبو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya:[Abu Isa At-Tirmidzi berkata:] Abu Musa Muhammad bin Al-Mutsanna telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) Abu ‘Amir Al-Aqadiy telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) Ibnu Abi Dzi’b telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis dari pamannya, yaitu Al-Harits bin Abdurrahman, dari Abu Salamah, dari Abdullah bin Amr, ia berkata: “Rasulullah saw melaknati orang yang menyuap dan yang menerima suap”. Abu Isa (At-Tirmidzi) berkata: “Hadis ini hasan shahih” (Sunan At-Tirmidziy, Hadis no: 1257).
Hadis yang senada dengan hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnu Hadidah dan Ummu Salamah.
Selanjutnya Imam At-Tirmidziy juga meriwayatkan cerita Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ يَزِيدَ الْأَوْدِيِّ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُبَيْلٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْيَمَنِ فَلَمَّا سِرْتُ أَرْسَلَ فِي أَثَرِي فَرُدِدْتُ فَقَالَ أَتَدْرِي لِمَ بَعَثْتُ إِلَيْكَ لَا تُصِيبَنَّ شَيْئًا بِغَيْرِ إِذْنِي فَإِنَّهُ غُلُولٌ ( وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ) لِهَذَا دَعَوْتُكَ فَامْضِ لِعَمَلِكَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَدِيِّ بْنِ عَمِيرَةَ وَبُرَيْدَةَ وَالْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ وَأَبِي حُمَيْدٍ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبو عِيسَى حَدِيثُ مُعَاذٍ حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ عَنْ دَاوُدَ الْأَوْدِيِّ
Artinya:[Abu Isa At-Tirmidzi berkata:] Abu Kuraib telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) Abu Usamah telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, dari Dawud bin Yazid Al-Awdiy, dari Al-Mughirah bin Syubail, dari Qais bin Abu Hazim, dari Muadz bin Jabal ra, ia berkata: Rasulullah saw mengutusku ke Yaman, maka ketika aku berangkat, beliau mengutus utusan dibelakangku sehingga aku kembali.
Kemudian beliau bersabda: Tahukah engkau, terhadap sesuatu yang kuutus untukmu, janganlah kamu menerima sesuatu tanpa seijin dariku, karena sesungguhnya demikian itu Korupsi (ghulul) (Dan barangsiapa korupsi, maka ia akan datang dengan membawa hasil korupsinya pada hari kiamat ). Untuk inilah aku memanggilmu. Maka berangkatlah untuk pekerjaan (tugas)mu.
Kata At-Tirmidzi: hadis dalam bab ini (diriwayatkan pula) dari ‘Adiy bin ‘Amirah dan Buraidah dan Mastur bin syaddad dan Abu Humad dan Ibnu Umar.
Kata Abu Isa At-Tirmidzi: Hadis Mu’adz ini hadis gharib, saya tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini, dari Hadita Abu Usamah, dari Dawud Al-Awdiy
(Sunan At-Tirmidzi, Hadis no: 1255).

Pemimpin Yang Tidak Memihak Kepentingan Rakyat Kecil
Dalam kaitannya dengan pemimpin yang tidak memihak kepentingan rakyat kecil Imam Ahmad meriwayatkan:
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ قَالَ حَدَّثَنَا السَّائِبُ بْنُ حُبَيْشٍ عَنْ أَبِي الشَّمَّاخِ الْأَزْدِيِّ عَنِ ابْنِ عَمٍّ لَهُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَتَى مُعَاوِيَةَ فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلِيَ أَمْرَ النَّاسِ ثُمَّ أَغْلَقَ بَابَهُ دُونَ الْمِسْكِينِ أَوِ الْمَظْلُومِ أَوْ ذِي الْحَاجَةِ أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ دُونَهُ أَبْوَابَ رَحْمَتِهِ عِنْدَ حَاجَتِهِ وَفَقْرِهِ أَفْقَرَ مَا يَكُونُ إِلَيْهَا
Artinya:[Ahmad bin Hanbal berkata:] Abu sa’id maula Bani Hasyim telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, ia berkata: Za’idah telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, ia berkata: Saib bin Hubaisy telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis dari Abu Asy-Syamaakh Al-Azdiy dari anak pamannya yang termasuk sahabat Nabi saw, sesungguhnya ia datang kepada Muawiyah dan masuk kepadanya. Dan ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mengurusi persoalan manusia, kemudian menutup pintunya, bukan untuk orang miskin atau orang yang dizalimi atau orang yang mempunyai kebutuhan, maka Allah ‘Azza wa Jalla menutup, tidak untuknya, pintu-pintu rahmatNya, ketika ia membutuhkannya saat kefaqirannya yang sangat membutuhkan kepada rahmatNya (yaitu saat hari akhir). (Musnad Ahmad, Hadis No: 15376).
Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Muadz bin Jabal meriwayatkan hadis ini bunyinya demikian:
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنِ الْوَالِبِيِّ صَدِيقٌ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ عَنْ مُعَاذٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ النَّاسِ شَيْئًا فَاحْتَجَبَ عَنْ أُولِيَ الضَّعَفَةِ وَالْحَاجَةِ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya:[Ahmad bin Hanbal berkata:] Abdullah telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) ayahku telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) Husain bin Muhammad telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) Syariik telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, dari Abu Hashiin, dari Al-Walibiy yang merupakan teman dekat Mu’adz bin Jabal, dari Mu’adz, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mengurusi sesuatu persoalan manusia dan ia tertutup dari orang-orang lemah dan yang membutuhkan, maka Allah tertutup darinya pada hari kiamat” (Musnad Ahmad, Hadis no: 21061)

Larangan Kolusi
Imam Ahmad meriwayatkan cerita tentang seorang sahabat yang mencoba korupsi dengan cara kolusi, namun Rasulullah saw menegurnya:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ سَمِعَ عُرْوَةَ يَقُولُ أَنَا أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَجَاءَ فَقَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَجِيءُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَأْتِي أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا وَزَادَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ قَالَ أَبُو حُمَيْدٍ سَمِعَ أُذُنِي وَأَبْصَرَ عَيْنِي وَسَلُوا زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ
Artinya:[Ahmad bin Hanbal berkata:] Sufyan telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) dari Az-Zuhriy, ia mendengar ‘Urwah berkata, Abu Humaid As-Sa’idi ra memberi kabar kepadaku, ia berkata: Rasulullah menjadikan amil sadaqah seorang laki-laki dari suku Al-Uzd yang bernama: Ibnu Al-Lutsabiyah. Kemudian ia datang (kepada Rasulullah saw) dan berkata: “Ini untuk Anda dan yang ini dihadiahkan untukku”. Maka Rasulullah saw berdiri di atas mimbar dan berkata: “Bagaimanakah keadaan seorang amil yang kami utus, kemudian ia datang dan berkata: “ini untuk Anda dan yang ini dihadiahkan untukku? Bukankah seharusnya ia duduk di rumah bapak dan ibunya, lalu ia melihat apakah itu dihadiahkan untuknya atau tidak?”.
“Demi Dzat Yang jiwa Muhammad dalam TanganNya, tidak datang seorang dari kalian dengan sesuatu (yang diambilnya) dari sadaqah, kecuali ia menghadap di hari kiamat dengan di atas lehernya, jika sesuatu (sesuatu yang diambilnya) itu onta maka onta itu besuara, atau ia sapi maka sapi itu bersuara, atau ia kambing maka kambing itu bersuara”. Kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya, sehingga kami melihat warna kedua tangannya. Lalu beliau bersabda: “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan” tiga kali.
Hisyam bin ‘Urwah menambahkan: Abu Humaid berkata: “Telingaku telah medengarkannya dan mataku telah melihatnya (pada kisah tersebut) dan tanyakanlah (tentang hal ini) kepada Zaid bin Tsabit”. (Musnad Ahmad, hadis no: 22492)
Tindakan Ibnu Al-Lutsabiyah ini termasuk kategori korupsi dengan cara kolusi. Ia hendak membagikan sendiri harta sadaqah untuk dirinya, dan untuk mencari legalitas tindakannya ini ia membagikan pula untuk Rasulullah saw. Dalam kasus Ibnu Al-Lutsabiyah ini terlihat bahwa Rasulullah menanggapinya dengan serius, sehingga beliau harus menerangkan kasus ini di atas mimbar di hadapan orang banyak.
Hakim yang Masuk Neraka
Ada sinyalemen yang cukup santer disuarakan di kalangan para ahli di negeri ini bahwa pengadilan di Indonesia paling rawan kasus korupsi. Di sana hukum bisa diputarbalikkan tergantung pesanan. Rasulullah saw memberi peringatan kepada para hakim atau pengambil keputusan, sebagaimana diriwayatkan di dalam Sunan At-Tirmidzi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ قَاضِيَانِ فِي النَّارِ وَقَاضٍ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الْحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ فَذَلِكَ فِي الْجَنَّةِ
Artinya:[Abu Isa At-Tirmidzi berkata:] Muhammad bin Ismail telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) Al-Hasan bin Bisyr telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) Syariik telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) dari Al-A’masy, dari sa’d bin Ubaidah, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Qadli (hakim) itu ada tiga; yang dua di neraka dan yang satu di surga. Seseorang yang membuat keputusan tidak benar dan ia tahu akan hal itu, maka hakim ini di neraka. Dan seorang hakim yang tidak tahu (terhadap permasalahan yang diputuskan), maka ia merusak hak-hak manusia, niscaya ia di neraka. Dan seorang hakim yang membuat keputusan dengan benar, maka hakim ini di surga”. (Sunan At-Tirmidziy, Hadis no: 1244)
Larangan Menjilat Kepada Penguasa
Menjilat yang dimaksud di sini ialah melaporkan keadaan yang tidak sebenarnya di depan penguasa atau pemimpin, misalnya soal kondisi kepemimpinannya, kondisi negara, rakyat dan lain sebagainya. Seseorang tidak melaporkan dengan sebenarnya kepada seorang penguasa karena alasan takut atau kepentingan-kepentingan lain. Dalam Musnad Ahmad diriwayatkan:
حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ قَالَ قِيلَ لِابْنِ عُمَرَ إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى أُمَرَائِنَا فَنَقُولُ الْقَوْلَ فَإِذَا خَرَجْنَا قُلْنَا غَيْرَهُ فَقَالَ كُنَّا نَعُدُّ هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّفَاقَ
Artinya:[Ahmad bin Hanbal berkata:] Ya’la bin “Ubaid telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, (ia berkata:) Al-A’masy telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis, dari Ibrahim dari Abu Asy-Sya’tsa’, ia berkata: Dikatakan kepada Ibnu Umar: Sesungguhnya kami masuk kepada penguasa dan mengatakan suatu ucapan, dan ketika kami keluar kami mengatakan ucapan yang berbeda. Maka kata Ibnu Umar: “Di masa Rasulullah saw kami menganggap demikian ini sebagai kemunafikan”. (Musnad Imam Ahmad, Hadis no: 5566)
Upaya-upaya Pemberantasan Korupsi
Korupsi merupakan kejahatan yang paling susah diatasi karena pelakunya seringkali merupakan pejabat-pejabat yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi aparat agar tidak mengusik tindakan kejahatannya. Karenanya upaya yang paling baik ialah dengan memberi nasehat kepada yang bersangkutan. Nasehat kepada pemimpin yang melakukan penyelewengan ini oleh Rasulullah saw dimasukkan dalam kategori jihad yang paling utama.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Artinya:[Ahmad bin Hanbal berkata:] Abdurrahman bin mahdiy telah menyampaikan kepadaku sebuah hadis dari Sufyan, dari Ulqamah bin Martsad, dari Thariq bin Syihab: Sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah saw, sedangkan Rasulullah meletakkan kakinya di atas sanggurdi: “Apakah jihad yang paling utama?”. Jawab Rasulullah saw: “(Yaitu) perkataan yang benar kepada sultan yang menyeleweng”. (Musnad Imam Ahmad, Hadis no: 18076)
Disamping itu beberapa strategi yang dilakukan Nabi saw dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya korupsi, seperti dapat dibaca dalam hadis yang meceritakan kisah Muadz bin Jabal, yaitu dengan mengingatkan kepada pejabat yang hendak menjalankan tugas. Selain itu Rasulullah saw berupaya menimbulkan suatu efek psikologis sedemikian rupa sehingga masyarakat takut untuk melakukan korupsi. Hal ini dilakukan misalnya dengan penolakan Nabi saw untuk menyalatkan jenazah koruptor (cukup disalatkan oleh para sahabatnya saja) , koruptor akan masuk neraka meskipun nominalnya sangat kecil, pelaku risywah mendapat laknat dan sedekahnya dari hasil korupsi tidak diterima Allah swt.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw bersabda: لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ (“Tidak diterima shalat tanpa wudlu dan sedekah dari hasil korupsi [Ghulul]”.) (Riwayat Imam Muslim).
Rasulullah juga memperingatkan agar tindakan korupsi tidak dilindungi, disembunyikan atau ditutup-tutupi. Barangsiapa yang melakukan demikian, maka ia sama dengan pelaku korupsi, sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat.
Penutup
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan tindakan yang kelak mendapat siksa yang berat dari Allah SWT. Koruptor kelak di akhirat akan dituntut dengan beberapa kesalahan, misalnya; sebagai pemimpin yang kelak dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya, sebagai pemimpin yang tidak adil, sebagai pemimpin yang menipu rakyat, sebagai pemimpin yang tidak memihak rakyat kecil dan seterusnya.
Untuk melakukan korupsi dan menghindarkan diri dari jeratan hukum, seseorang harus menciptakan kebohongan-kebohongan. Susahnya lagi, korupsi selalu berkaitan dengan hajat hidup orang banyak (hak adamiy). Padahal Allah hanya akan mengampuni dosa yang terkait dengan hak adami ini jika orang yang disakiti ini memaafkan.
Demikian kajian masalah dosa-dosa korupsi yang harus dipertanggung jawabkan oleh pelakunya di akhirat kelak.
Walahu a’lam


Tidak ada komentar:

Entri Populer