Oleh:
Tsalis Muttaqin
A. Mukadimah
Proses globalisasi telah membuat jarak ruang menjadi kian dekat, namun
dari sudut pandang hubungan antar ideologi, budaya dan agama, proses
globalisasi ternyata tidak serta-merta menjadikan wilayah dunia menjadi
monolitik dan seragam. Friksi dan konflik antar kelompok agama dan bangsa juga
tidak lantas mereda. Sebaliknya, proses globalisasi malah semakin menyadarkan
kita bahwa dunia manusia ternyata begitu beragam, ketimpangan ekonomi antara
bangsa yang satu dengan yang lain masih juga menganga, bahkan di berbagai
belahan dunia, konflik antar kelompok agama dan etnis malah mengalami eskalasi.
Yang paling dekat dan masih mudah diingat tentu saja konflik di wilayah
Indonesia Timur. Apapun alasannya, simbol, sentimen dan nuansa ideologis
keagamaan tidak bisa dikesampingkan dalam konflik itu.[1]
Sejak serangan terorisme terhadap Amerika beberapa tahun yang lalu,
hubungan antara Barat dan Islam menjadi agak menajam dan sensitif. Barat selalu
mencurigai kalangan Islam yang menjadi pelaku teror. Sebaliknya hampir setiap
teror selalu saja dapat dikait-kaitkan dengan kelompok militan muslim, baik
Jaringan Al-Qaedah maupun Jamaah Islamiyah (JI).
Di Indonesia sendiri, aksi terorisme selalu terkait dengan kelompok
Jamaah Islamiyah pimpinan Azhari Hussin dan Noordin M Top. Dari hasil rekaman
video hasil sitaan pihak kepolisian dan wawancara dengan pelaku bom Bali I
terungkap, bahwa setidaknya menurut pengakuan mereka, motivasi dibalik aksi teror
yang mereka lakukan adalah jihad (perang suci melawan orang kafir).[2]
Tentu saja ini mengejutkan, karena jihad diinterpretasikan dengan
serampangan dan murahan. Seolah-olah setiap serangan atau pembunuhan terhadap
non muslim merupakan jihad. Tidak peduli apakah mereka pihak yang bersalah,
memusuhi umat Islam (kafir harbi) ataupun tidak.
Dari berbagai fenomena di atas, makalah ini mencoba mengkaji soal jihad
dan berbagai aspek yang terkait dengannya dari perspektif Al-Qur’an dan Hadits.
Namun kajian yang dimaksud bukan hanya memakai studi normatif yang bercorak
literalis, tekstualis, dan skriptualis. Tapi juga mencoba memakai studi
Historis, dengan memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang melatar belakangi
berbagai teks keagamaan yang ada. Dengan memperhatikan pentingnya asbâb
al-nuzûl, baik yang bersifat kultural, psikologis, maupun sosiologis.[3]
B. Perang dalam Islam: Antara Ajaran Normatif dan Fakta Historis
Tercatat dalam sejarah Islam, bahwa sebelum hijrah ke Madinah, Allah
tidak mengijinkan kaum Muslimin berperang. Sementara dari pihak orang-orang
kafir telah menindas banyak sahabat Nabi, di antaranya ‘Ammar, Bilal, Yasir dan
Abu Bakar. Bahkan Rasulullah SAW sendiri termasuk dalam target mereka. ‘Ammar
meninggal karena di siska olah orang-orang kafir musyrik Quraisy.
Meskipun demikian, kaum muslimin belum hendak mengangkat senjata untuk
membela diri dari kekejaman kaum kafir Quraisy. Kejahatan orang-orang musyrik
itu telah berlebihan, hingga tidak segan-segan lagi berencana membunuh Nabi
Muhammad SAW. Sesudah kaum muslimin lolos dari kejahatan kafir Quraisy dan
berhijrah ke Madinah, kafir Quraisy berencana menyerang Madinah untuk
melenyapkan Islam dan pemeluknya dari bumi Arab. Karena hal ini, telah
sewajarnya kalau kaum Muslimin membela diri. Allah pun lalu memberi ijin mereka
untuk membela diri dengan firmanNya:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ
ظُلِمُوا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ (39) الَّذِينَ أُخْرِجُوا
مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ وَلَوْلَا
دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ
وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ
مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ (40)
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang
yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya
Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang
telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya
Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. [4]
Ayat ini memberi pesan bahwa sebetulnya Islam tidak menghendaki
peperangan, karena fi`il madli “udzina” itu mabni majhûl
(bentuk pasif). Pemakaian bentuk pasif ini, menurut hemat penulis, karena Allah
tidak suka menyebutkan namaNya dalam pemberian ijin berperang. Demikian pula na’ibul
fa`il (obyek) dari kata “udzina” itu tidak disebutkan, mestinya
obyeknya ialah kata Al-Qitâl (berperang). Yang disebutkan hanya sebab
pemberian ijin itu, yaitu “bi anna hum dhulimû” (karena mereka telah
didzalimi).
Secara normatif ayat ini dapat diterjemahkan sebagaimana di atas. Namun
secara historis ayat ini mempunyai pesan mendalam, begitu halusnya Islam dalam
menyikapi perang. Setelah mereka dizalimi sedemikian rupa, Al-Qur’an pun tidak
lantas secara tegas memerintahkan “perang” dengan “atas Nama Tuhan”, tapi hanya
“diijinkan”. Sebegitu dalam dan halusnya ayat ini, sehingga sewaktu diturunkan,
beberapa sahabat berkata: “Ayat ini belum cukup dijadikan alasan untuk
memerangi kaum musyrikin, karena semangat dan jiwanya lebih cenderung kepada
damai, meskipun dalam susunan kalimatnya ada ijin berperang”.[5]
Oleh karena itu turunlah ayat:
وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ
وَلاَ تَعْتَدُوْا, إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”.[6]
Ayat yang diturunkan sebagai penegas terhadap ijin berperang ini memang
secara lugas memerintahkan berperang. Penggunaan fi`il amar menunjukkan
hal itu. Akan tetapi dalam ayat ini juga, Allah menyertakan ketentuan yang
ketat. Pertama, perang hanya diperbolehkan di jalan Allah, yaitu perang untuk
meninggikan agama Allah. Kedua, perang harus ditujukan kepada pihak yang
mendahului melakukan serangan terhadap kaum Muslimin. Ketiga, perang tidak
boleh melampaui batas.
Untuk menjelaskan pengertian perang yang tidak melampaui batas ini,
mari kita perhatikan pesan Khalifah Abu Bakar saat menyiapkan pasukan pimpinan
Usamah bin Zaid ke Mu’tah. Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar menyampaikan
sepuluh pesan bersejarah yang merupakan interpretasi dari ayat yang kita kaji
ini. Pesan itu yaitu: 1) Jangan berkhianat. 2) Jangan berlebih-lebihan. 3)
Jangan menipu (berbuat makar). 4) Jangan membunuh lawan dengan cara sadis. 5)
Jangan membunuh anak-anak, lelaki lanjut usia dan wanita. 6) Jangan menebang
pohon kurma atau pohon-pohon yang sedang berbuah. 7) Jangan melakukan
pembakaran. 8) Jangan menyembelih domba, sapi dan unta, kecuali hanya untuk
sekedar kebutuhan di makan dagingnya. 9) Nanti kalian akan berjumpa dengan
orang-orang yang bertapa dalam biara. Biarkan mereka. Dan 10) jangan mengusik
mereka.[7]
Ketentuan-ketentuan perang yang ketat di atas berlaku universal dan
tidak bisa dihapuskan dengan ayat-ayat lain, atau dengan atas nama kondisi dan
lain sebagainya, karena alasan (`illah) ketentuannya adalah “karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”. Oleh karenanya, ketentuan
perang akan selalu berlaku bersamaan dengan `illah-nya.
Dalam Al-Qur’an memang banyak ayat-ayat perang. Namun perlu dicatat
bahwa tidak ada satupun ayat yang merestui perang secara ofensif. Perang
direstui Islam hanya dalam kondisi defensif, untuk membela diri dan agama.
C. Meluruskan Salah Paham Terhadap Jihad
Ajaran jihad dalam Islam harus dilihat secara konprehensif. Memahami
Jihad secara sepotong-sepotong, membuka peluang diinterpretasikan secara salah.
Jika jihad yang dipuji Rasulullah adalah jihad fi sabilillah (di jalan
Allah), maka pelaku jihad pun harus dalam suasana perang di jalan Allah dan
dalam kerangka perang yang memakai ketentuan-ketentuan Allah.
Perang yang tidak di jalan Allah, menyerang orang-orang yang tak
berdosa, serta melampaui batas dalam peperangan, adalah tindakan yang tidak
diijinkan Allah. Pelakunya tidak bisa dikatakan jihad. Seorang mujahid yang
dipuji Nabi SAW sebagai manusia terbaik tidak mungkin yang dimaksudkan ialah
orang yang melanggar batas-batas Tuhan.
D. Pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah tentang jihad
Sementara Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dengan melihat dari sisi
obyeknya, membagi jihad menjadi empat macam, yaitu:
1. Jihad melawan hawa nafsu, yaitu melawan hawa nafsu agar manusia
mau mempelajari ajaran-ajaran Islam, mau mengamalkannya, mau menyebarkannya
kepada orang lain, dan mau bersikap sabar dalam menghadapi tantangan-tantangan
dakwah.
2. Jihad melawan setan, yaitu upaya maksimal untuk menangkis
pemikiran-pemikiran atau ajaran-ajaran yang menggoyangkan dan atau merusak
iman.
3. Jihad melawan orang-orang kafir, yaitu mengerahkan segala
kekuatan untuk menghancurkan musuh-musuh Allah.
4. Jihad melawan orang-orang munafiq, yaitu menangkis menangkis
pemikiran-pemikiran dan tuduhan-tuduhan orang munafiq yang merugikan Islam.[8]
Dalam konteks Indonesia yang aman, jihad tidak bisa dipaksakan sebagai
jihad perang fisiq, karena jihad sendiri mempunyai banyak dimensi. Dalam salah
satu kesempatan Rasululah SAW bersabda:
وَ الْمُجَاهِدُ مَنَ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِىْ اللهِ
“Seorang mujahid ialah orang yang memerangi hawa nafsunya di
jalan Allah”.[9]
Orang yang mengendalikan hawa nafsu di jalan Allah
disebut Nabi sebagai Mujahid, karena cahaya menuju jalan Allah tidak mungkin tercapai
kecuali dengan berperang melawan hawa nafsu. Bahkan dalam salah satu riwayat
disebutkan jihad inilah jihad yang paling besar.
Sementara itu, pada kesempatan lain Rasulullah
juga bersabda:
أَلَا إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Ingatlah, sesungguhnya jihad yang paling utama ialah ucapan
yang benar di depan sultan (pejabat) yang berkhianat”[10]
Sebelum berjihad menuju perang, umat Islam yang saleh mestinya
memperhatikan kedua jihad yang paling besar dan paling utama. Melawan hawa
nafsu, mengendalikannya dan mengarahkan diri kepada hal-hal yang baik, serta
memberi nasehat dan berkata benar di hadapan pemimpin yang berkhianat.
Ironisnya, dua jihad yang sangat diagungkan Rasulullah SAW ini justru yang
sering terlupakan.
E. Toleransi dan Dialog Antar Agama
Dialog dan kerukunan antar umat beragama masih merupakan barang mewah
di banyak negara di dunia ini. Di Timur Tengah, India, Burma, Irlandia, belum
lagi di negara-negara Uni sovyet dan bekas Yugoslavia, ketegangan antar umat
beragama masih sangat tampak menghiasi berita media massa. Di berbagai negara,
pluralitas keberagamaan manusia dapat dengan mudah mencabik-cabik persatuan dan
kesatuan bangsa.
Pluralitas agama di Indonesia, yang berpenduduk mayoritas muslim,
begitu banyak mendapat sorotan tajam oleh banyak pengamat luar negeri. Menurut
mereka, model dialog dan kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia perlu
dikembangkan.[11]
Dalam dialog antar umat beragama, harus diyakini terlebih dahulu, bahwa
sudah pasti ada kebenaran mutlak dalam agama. Tetapi komunikasi antar
budaya, tak bisa memutlakkan kebenaran
itu, sebab begitu kebenaran mutlak tadi diserahkan Tuhan ke tangan manusia
untuk menata kehidupan, segera kita jadi ragu adakah kita telah mengoperasikan
kebenaran tadi dengan benar.
Di “Tangan” Tuhan, kebenaran mutlak memang tetap mutlak. Tapi manusia
bukan Tuhan. Manusia dengan sendirinya tak bisa hidup secara mutlak-mutlakan.
Dengan pegangan aturan yang serba sempurna pun manusia tetap punya
kecenderungan menyimpang.
Manusia, karenanya, niscaya ragu akan kemampuan dan kejujurannya,
ketika harus menyikapi orang lain dalam urusan kebenaran. Maka wajar bila dalam
komunikasi antar budaya tadi, seseorang dituntut untuk mencoba berani mendengar
kenyataan bahwa orang lain pun bukan tak mungkin memiliki apa yang disebut
kebenaran.
Dialog antar agama, pada dasarnya dikerjakan bersama untuk menumbuhkan
saling pengertian, dan bila mungkin untuk kerjasama antar agama dalam mengurusi
hidup keduniaan. Pada hemat penulis, usaha mendialogkan kebenaran tadi tanpa
menurunkan derajat keluhuran dan kesucian yang diyakini.
Benar ada batas-batas yang wajib dijaga dalam semua agama, tapi wilayah
itu terletak pada kebenaran di tingkat “ideal”, atau kebenaran “ilahiyah” yang
bersifat “transendental” dan tak terjamah. Sebaliknya, dialog antar agama pada
dasarnya berbicara tentang kebenaran “historis”, kebenaran “duniawi” yang
padanya terbuka sejumlah jalan untuk sejenis kompromi. Di sana kita tak
melanggar apa yang sakral.
Dialog antar agama, ringkasnya, bukan hanya boleh, melainkan harus,
karena ia merupakan sebuah kebutuhan juga. Dengan dialog itu kita berarti
membuka sekat-sekat budaya primordial yang secara psikologis mengungkung kita
untuk beberapa lama. Kungkungan itu memang tak jarang terasa, seperti selimut
yang membuat hangat, tapi mungkin juga kehangatan palsu, dan karenanya tak
membebaskan kita dari sejenis etnosentrisme keagamaan. Maka tiba saatnya
sekarang untuk membongkar “berhala” primordialisme itu.
Para pemeluk agama yang berbeda dengan demikian tak diharamkan
hukumnya, bila mereka berbagi dan menggali (dari agama masing-masing) kebenaran
tingkat “duniawi” untuk bisa bersama-sama menata kehidupan. Kebersamaan itu
penting karena mustahil bila tugas itu
dibebankan hanya pada umat suatu agama tertentu.
Tetapi dialog itu hanya akan menghasilkan sesuatu yang berarti, jika
dalam diri kita tumbuh suatu sikap dan pengagungan nilai luhur: pemihakan
“transendental”. Pemihakan “transendental” ini kira-kira maksudnya pilihan
sikap batin dan segenap kecenderungan jiwa yang bersifat lintas batas, yang
dalam benak penulis sering terbayang bahwa hal itu mestinya wajib dimiliki oleh
tiap intelektual. Tentu saja “batas” di sini bisa bermakna plural: Psikologis,
kultural (termasuk politis) dan segenap kecenderungan sikap primordial, sebab
pada dasarnya pemihakan “transendental” mensyaratkan dihapuskannya tanpa syarat
apa pun “sekat-sekat” psikologis, kultural dan aneka corak primordialisme dalam
wawasan dan sikap antitesis dari “berhala” primordialisme tadi.
Ini merupakan semacam syarat mutlak dalam dialog antar agama, karena
kebenaran, yang dijadikan pokok dalam dialog itu, adalah perkara “subtil” dan
seolah tak terjamah. Apalagi bila kita tetap terkungkung dalam sikap
“memberhalakan” kebenaran primordial kita sendiri.
Bila dalam kehidupan sehari-hari kita mencoba menghayati dan mewujudkan
pemihakan semacam itu, dengan catatan bahwa Allah tetap nomor satu dalam hidup
kita, maka dalam beragama, kita akan lebih berusaha mengembangkan suatu
pemahaman bahwa tatanan agama menyuruh kita mengamalkan apa saja yang harus
diamalkan, demi kemaslahatan seluruh alam raya, terutama manusia. Bukankah
Islam diturunkan Tuhan ke bumi buat kepentingan itu?
Memang menarik sekali membicarakan dialog dan kerukunan umat bergama
jika dikaitkan dengan ajaran Islam. Hal ini karena secara historis, model
dialog dan kerukunan antar agama sendiri telah berkembang sejak Nabi Muhammad SAW
belum hijrah ke Madinah.
Di awal perjuangan Islam di Mekah, umat Islam yang masih sedikit jumlahnya
itu pernah dilindungi oleh seorang penguasa beragama Kristen . Saat itu umat
Islam dikejar-kejar, disiksa, dan bahkan dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Nabi
Muhammad SAW pernah mememrintahkan kaum Muslimin untuk hijrah (dalam sejarah
Islam dikenal sebagai hijrah yang pertama) ke Habasyah (Abisinia), negeri yang
oleh Nabi Muhammad SAW disebut aman bagi kaum Muslimin, meskipun rajanya,
Najasyi, seorang pemeluk agama Kristen.
Najasyi yang berbudi luhur, bijaksana dan adil itu, menerima kaum Muslimin
dengan baik.
Ketika tentara Quraisy menemui Najasyi dan memintanya agar para
“pelarian” dikembalikan ke Mekah, Najasyi tak begitu saja percaya pada apa yang
mereka katakan. Raja itu pun menyelidiki
langsung kaum Muslimin tersebut.
“Agama apa ini, yang sampai membuat
tuan-tuan meninggalkkan masyarakat
tuan-tuan sendiri, tapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku, atau juga agama
lain?”, tanya Najasyi.
Ja’far bin Abu Thalib, juru bicara kaum Muslimin, menjelaskan kondisi
peradaban negerinya, Mekah dan segenap kebiasaan buruk yang berlangsung, sampai
kemudian datang wahyu Tuhan kepada Muhammad SAW, orang yang sudah terkenal
jujur, adil dan tidak pernah berbohong, untuk menjadikannya Nabi yang akan
menyiarkan agama baru yang hanya menyembah satu Tuhan Yang Maha Esa.
“Adakah ajaran Tuhan yang
dibawanya itu yang dapat tuan bacakan kepada kami?”, tanya Raja Najasyi lagi.
“ya”, sahut Ja’far. Ia lalu
membacakan Surat Maryam, di mana ada bagian yang membenarkan apa yang termuat
dalam kitab Injil.
“Maka kata-kata yang keluar
itu dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Isa”, sahut para pemuka istana
serempak. (Dalam kitab-kitab sejarah berbahasa Arab tertulis “Isa”, menurut
hemat penulis, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, mestinya tertulis
“Yesus”, karena yang dimaksud “Isa” oleh pemuka Istana Habasyah tentu saja
“Yesus Kristus”)
“Kata-kata ini, dan yang di
bawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama”, sahut Raja Najasyi.
Raja itu tidak ingin menyerahkan kaum Muslimin kepada orang-orang
Quraisy tersebut. Mereka lalu memfitnah bahwa kaum Muslimin dengan membuat
tuduhan yang menjelekkan Isa, anak Maryam.
Raja menanyai lagi kaum Muslimin, yang dijawab Ja’far bahwa itu tidak
benar. “Tentang dia (maksudnya Nabi Isa), pendapat kami sama dengan apa kata
Nabi kami: “Dia adalah hamba Allah dan utusanNya, dan firmanNya yang
disampaikan kepada perawan Maryam”, kata Ja’far lagi.
Raja itu lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di tanah.
Dengan paras muka gembira ia berkata: “Antara agama tuan-tuan dan agama kami
sebenarnya tidak lebih dari garis ini”.[12]
Inilah suatu pengakuan jujur dalam sebuah dialog terbuka untuk
menyatakan kebenaran sebagaimana mereka yakini masing-masing. Kita diingatkan
bahwa sebenarnya perkara dialog antar agama itu dulu kala sudah pernah ada, dan
berhasil dengan baik. Ada satu hal yang mendasar dan penting, dan karena itu
layak kita teladani: Masing-masing pihak saling menyadari ada perbedaan dan
persamaan.
Dan bagi kedua belah pihak tampaknya ada kesediaan mengakui serta
menghargai apa yang tampak luhur dalam agama orang lain. Setuju atau tidak, apa
yang luhur itu harus dihormati. Kita pun mesti bisa belajar dari mereka untuk
menaruh empati kepada orang lain, termasuk menghormati keluhuran keyakinannya,
tanpa melukai dan melanggar batas-batas yang tak bisa dilanggar dalam keyakinan
kita sendiri, sebagaimana dikemukakan di atas. Demikian dialog antar umat
beragama yang terjadi ketika masa awal Islam sebelum hijrah ke Madinah. Sedangkan
secara normatif, Al-Qur’an berkali-kali mengingatkan umat Islam untuk selalu
bersikap bijak dan toleran terhadap pemeluk agama lain.
Firman Allah SWT:
لاَ
إِكْرَاهَ فِيْ الدِّيْنِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat”.[13]
Firman Allah SWT:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berdiaoglah
terhadap mereka dengan cara yang lebih baik”[14].
F. Penutup
Demikianlah Studi Islam tentang hubungan antar umat beragma
agama dari sudut pandang ajaran wahyu secara normatif dan praktik historis
keberagamaan. Sengaja dua pendekatan ini diketengahkan, karena pada dasarnya,
antara ajaran ilahi secara normatif dan sejarah praktik keberagamaan adalah
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam memahami teks-teks Al-Qur’an.
Menurut istilah Prof. Dr. Amin Abdullah, Keduanya harus menyatu dalam satu
keutuhan yang kokoh dan kompak.[15]
Ayat-ayat Al-Qur’an sebagai wahyu tidak bisa begitu saja dilepaskan
dari asbâb al-nuzûl nya. Apalagi Al-Quran tidak tersusun secara tematik
seperti lazimnya buku-buku sekarang. Untuk itu asbâb al-nuzûl suatu ayat
niscaya harus selalu diangkat dalam setiap interpretasi terhadap teks-teks
Al-Qur’an. Demikian juga praktik keberagamaan Rasulullah dan para sahabat harus
diperhatikan, untuk memahami kondisi kultural, psikologis, maupun sosiologis di
masa lalu. Dengan demikian, perpaduan antara pendekatan normativitas wahyu dan
historisitas keberagamaan terasa hidup, segar, qâbilun li al-niqâsy,
terbuka, open ended dan dinamis.[16]
Dan yang lebih penting lagi, kita tidak menyimpang dari cita-cita dan semangat Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Mahmud, Dr., Lamhaat min hayatihi wa
nafahaat min hadiyihi, (Kairo: Makrabah Daar asy-sya’b) tt.
Abdullah Ahmad ‘Aasyur, 10 Orang dijamin ke surga (Jakarta:
Gema Insani Press, 1991).
Ahmad Syalabi, Prof. Dr., Sejarah kebudayaan Islam,
(Jakarta: Al-Husna Zikra), tahun 2000 cet ke –4
Hassan Hanafi, Dr., Pengantar ilmu Oksidentalisme,
(Jakarta: Paramadina) tahun 2000.
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Zâd al-Ma`âd (Dâr Ihyâ’
al-Turâts al-`Arabiy, ttp, tth.)
M. Amin Abdullah, dkk, Seri Kumpulan Pidato Guru Besar:
Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman, (Yogyakarta: Suka Press) tahun
2003
M. Amin Abdullah, Prof. Dr., Studi Islam; Normativitas
atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka pelajar) cet ke-3, tahun 2002.
Muhammad Sayyid Thanthawi, Prof. Dr., Al-Fiqh
Al-Muyassar, (Kairo: As-Sa’aadah) tahun 2001 cet ke-1.
[1]
Dr. Komaruddin Hidayat, Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat,
dalam pengantar Dr Hassan Hanafi, Oksidentalisme, (Jakarta: Paramadina)
Tahun 2000, hlm xiii.
[2]
Beberapa waktu lalu, pengakuan Imam Samudera dan kawan-kawan yang menyatakan
hal tersebut sering ditayangkan diberbagai stasiun televisi swasta.
[3]
Lebih jauh tentang studi agama dari sudut pandang normativitas dan historisitas
ini bisa di baca dalam Prof. Dr. Amin Abdullah, Studi Islam; Normativitas
atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka pelajar)
[4]
Surat al-Hajj: 39 dan 40.
[5]
Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna
Zikra) Tahun 2000 cet ke-4, vol 1, hlm 154.
[6]
Surat al-Baqarah: 190
[7]
Abdullah Ahmad ‘Aasyur, 10 Orang dijamin ke surga (Jakarta: Gema Insani
Press) Tahun 1991, hlm 33
[8]
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Zâd al-Ma`âd (Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-`Arabiy,
ttp, tth.) I/48.
[9]
Kata Imam At-tirmidzi: Hadits ini Hasan Shahih. Imam Ahmad meriwayatkan pula
dengan sanad Hasan.
[10]
Riwayat Imam Ahmad, dari hadits Abu said Al-Khudzri.
[11]
Prof. Dr. Amin Abdullah, Studi Islam; Normativitas atau Historisitas?,
(Yogyakarta: Pustaka pelajar) cet ke-3, tahun 2002, hlm 76.
[12]
Dr. Abdul Halim Mahmud, Lamhaat min hayatihi wa nafahaat min hadiyihi, (Kairo:
Makrabah Daar asy-sya’b, tt) hlm 85.
[13]
Surat Al-Baqarah: 256.
[14]
Surat An-Nahl: 125.
[15]
Prof. Dr. Amin Abdullah, Studi Islam; Normativitas atau Historisitas?,
(Yogyakarta: Pustaka pelajar) cet ke-3 tahun 2000, hlm viii.
[16] Ibid,
hln viii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar