Selasa, September 25, 2012

Hubungan Antar Agama dalam Sejarah Permulaan Islam


Oleh: Tsalis Muttaqin

A.     Mukadimah
Proses globalisasi telah membuat jarak ruang menjadi kian dekat, namun dari sudut pandang hubungan antar ideologi, budaya dan agama, proses globalisasi ternyata tidak serta-merta menjadikan wilayah dunia menjadi monolitik dan seragam. Friksi dan konflik antar kelompok agama dan bangsa juga tidak lantas mereda. Sebaliknya, proses globalisasi malah semakin menyadarkan kita bahwa dunia manusia ternyata begitu beragam, ketimpangan ekonomi antara bangsa yang satu dengan yang lain masih juga menganga, bahkan di berbagai belahan dunia, konflik antar kelompok agama dan etnis malah mengalami eskalasi. Yang paling dekat dan masih mudah diingat tentu saja konflik di wilayah Indonesia Timur. Apapun alasannya, simbol, sentimen dan nuansa ideologis keagamaan tidak bisa dikesampingkan dalam konflik itu.[1]

Sejak serangan terorisme terhadap Amerika beberapa tahun yang lalu, hubungan antara Barat dan Islam menjadi agak menajam dan sensitif. Barat selalu mencurigai kalangan Islam yang menjadi pelaku teror. Sebaliknya hampir setiap teror selalu saja dapat dikait-kaitkan dengan kelompok militan muslim, baik Jaringan Al-Qaedah maupun Jamaah Islamiyah (JI).
Di Indonesia sendiri, aksi terorisme selalu terkait dengan kelompok Jamaah Islamiyah pimpinan Azhari Hussin dan Noordin M Top. Dari hasil rekaman video hasil sitaan pihak kepolisian dan wawancara dengan pelaku bom Bali I terungkap, bahwa setidaknya menurut pengakuan mereka, motivasi dibalik aksi teror yang mereka lakukan adalah jihad (perang suci melawan orang kafir).[2]
Tentu saja ini mengejutkan, karena jihad diinterpretasikan dengan serampangan dan murahan. Seolah-olah setiap serangan atau pembunuhan terhadap non muslim merupakan jihad. Tidak peduli apakah mereka pihak yang bersalah, memusuhi umat Islam (kafir harbi) ataupun tidak.
Dari berbagai fenomena di atas, makalah ini mencoba mengkaji soal jihad dan berbagai aspek yang terkait dengannya dari perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Namun kajian yang dimaksud bukan hanya memakai studi normatif yang bercorak literalis, tekstualis, dan skriptualis. Tapi juga mencoba memakai studi Historis, dengan memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang melatar belakangi berbagai teks keagamaan yang ada. Dengan memperhatikan pentingnya asbâb al-nuzûl, baik yang bersifat kultural, psikologis, maupun sosiologis.[3]

B.      Perang dalam Islam: Antara Ajaran Normatif dan Fakta Historis
Tercatat dalam sejarah Islam, bahwa sebelum hijrah ke Madinah, Allah tidak mengijinkan kaum Muslimin berperang. Sementara dari pihak orang-orang kafir telah menindas banyak sahabat Nabi, di antaranya ‘Ammar, Bilal, Yasir dan Abu Bakar. Bahkan Rasulullah SAW sendiri termasuk dalam target mereka. ‘Ammar meninggal karena di siska olah orang-orang kafir musyrik Quraisy.
Meskipun demikian, kaum muslimin belum hendak mengangkat senjata untuk membela diri dari kekejaman kaum kafir Quraisy. Kejahatan orang-orang musyrik itu telah berlebihan, hingga tidak segan-segan lagi berencana membunuh Nabi Muhammad SAW. Sesudah kaum muslimin lolos dari kejahatan kafir Quraisy dan berhijrah ke Madinah, kafir Quraisy berencana menyerang Madinah untuk melenyapkan Islam dan pemeluknya dari bumi Arab. Karena hal ini, telah sewajarnya kalau kaum Muslimin membela diri. Allah pun lalu memberi ijin mereka untuk membela diri dengan firmanNya:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ (39) الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ (40)
 “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. [4]

Ayat ini memberi pesan bahwa sebetulnya Islam tidak menghendaki peperangan, karena fi`il madli “udzina” itu mabni majhûl (bentuk pasif). Pemakaian bentuk pasif ini, menurut hemat penulis, karena Allah tidak suka menyebutkan namaNya dalam pemberian ijin berperang. Demikian pula na’ibul fa`il (obyek) dari kata “udzina” itu tidak disebutkan, mestinya obyeknya ialah kata Al-Qitâl (berperang). Yang disebutkan hanya sebab pemberian ijin itu, yaitu “bi anna hum dhulimû” (karena mereka telah didzalimi).
Secara normatif ayat ini dapat diterjemahkan sebagaimana di atas. Namun secara historis ayat ini mempunyai pesan mendalam, begitu halusnya Islam dalam menyikapi perang. Setelah mereka dizalimi sedemikian rupa, Al-Qur’an pun tidak lantas secara tegas memerintahkan “perang” dengan “atas Nama Tuhan”, tapi hanya “diijinkan”. Sebegitu dalam dan halusnya ayat ini, sehingga sewaktu diturunkan, beberapa sahabat berkata: “Ayat ini belum cukup dijadikan alasan untuk memerangi kaum musyrikin, karena semangat dan jiwanya lebih cenderung kepada damai, meskipun dalam susunan kalimatnya ada ijin berperang”.[5]
Oleh karena itu turunlah ayat:
وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوْا, إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.[6]

Ayat yang diturunkan sebagai penegas terhadap ijin berperang ini memang secara lugas memerintahkan berperang. Penggunaan fi`il amar menunjukkan hal itu. Akan tetapi dalam ayat ini juga, Allah menyertakan ketentuan yang ketat. Pertama, perang hanya diperbolehkan di jalan Allah, yaitu perang untuk meninggikan agama Allah. Kedua, perang harus ditujukan kepada pihak yang mendahului melakukan serangan terhadap kaum Muslimin. Ketiga, perang tidak boleh melampaui batas.
Untuk menjelaskan pengertian perang yang tidak melampaui batas ini, mari kita perhatikan pesan Khalifah Abu Bakar saat menyiapkan pasukan pimpinan Usamah bin Zaid ke Mu’tah. Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar menyampaikan sepuluh pesan bersejarah yang merupakan interpretasi dari ayat yang kita kaji ini. Pesan itu yaitu: 1) Jangan berkhianat. 2) Jangan berlebih-lebihan. 3) Jangan menipu (berbuat makar). 4) Jangan membunuh lawan dengan cara sadis. 5) Jangan membunuh anak-anak, lelaki lanjut usia dan wanita. 6) Jangan menebang pohon kurma atau pohon-pohon yang sedang berbuah. 7) Jangan melakukan pembakaran. 8) Jangan menyembelih domba, sapi dan unta, kecuali hanya untuk sekedar kebutuhan di makan dagingnya. 9) Nanti kalian akan berjumpa dengan orang-orang yang bertapa dalam biara. Biarkan mereka. Dan 10) jangan mengusik mereka.[7]
Ketentuan-ketentuan perang yang ketat di atas berlaku universal dan tidak bisa dihapuskan dengan ayat-ayat lain, atau dengan atas nama kondisi dan lain sebagainya, karena alasan (`illah) ketentuannya  adalah “karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. Oleh karenanya, ketentuan perang akan selalu berlaku bersamaan dengan `illah-nya.
Dalam Al-Qur’an memang banyak ayat-ayat perang. Namun perlu dicatat bahwa tidak ada satupun ayat yang merestui perang secara ofensif. Perang direstui Islam hanya dalam kondisi defensif, untuk membela diri dan agama.

C.      Meluruskan Salah Paham Terhadap Jihad
Ajaran jihad dalam Islam harus dilihat secara konprehensif. Memahami Jihad secara sepotong-sepotong, membuka peluang diinterpretasikan secara salah. Jika jihad yang dipuji Rasulullah adalah jihad fi sabilillah (di jalan Allah), maka pelaku jihad pun harus dalam suasana perang di jalan Allah dan dalam kerangka perang yang memakai ketentuan-ketentuan Allah.
Perang yang tidak di jalan Allah, menyerang orang-orang yang tak berdosa, serta melampaui batas dalam peperangan, adalah tindakan yang tidak diijinkan Allah. Pelakunya tidak bisa dikatakan jihad. Seorang mujahid yang dipuji Nabi SAW sebagai manusia terbaik tidak mungkin yang dimaksudkan ialah orang yang melanggar batas-batas Tuhan. 
D.     Pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah tentang jihad
Sementara Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dengan melihat dari sisi obyeknya, membagi jihad menjadi empat macam, yaitu:
1.    Jihad melawan hawa nafsu, yaitu melawan hawa nafsu agar manusia mau mempelajari ajaran-ajaran Islam, mau mengamalkannya, mau menyebarkannya kepada orang lain, dan mau bersikap sabar dalam menghadapi tantangan-tantangan dakwah.
2.    Jihad melawan setan, yaitu upaya maksimal untuk menangkis pemikiran-pemikiran atau ajaran-ajaran yang menggoyangkan dan atau merusak iman.
3.    Jihad melawan orang-orang kafir, yaitu mengerahkan segala kekuatan untuk menghancurkan musuh-musuh Allah.
4.    Jihad melawan orang-orang munafiq, yaitu menangkis menangkis pemikiran-pemikiran dan tuduhan-tuduhan orang munafiq yang merugikan Islam.[8]
Dalam konteks Indonesia yang aman, jihad tidak bisa dipaksakan sebagai jihad perang fisiq, karena jihad sendiri mempunyai banyak dimensi. Dalam salah satu kesempatan Rasululah SAW bersabda:

وَ الْمُجَاهِدُ مَنَ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِىْ اللهِ

“Seorang mujahid ialah orang yang memerangi hawa nafsunya di jalan Allah”.[9]

 

Orang yang mengendalikan hawa nafsu di jalan Allah disebut Nabi sebagai Mujahid, karena cahaya menuju jalan Allah tidak mungkin tercapai kecuali dengan berperang melawan hawa nafsu. Bahkan dalam salah satu riwayat disebutkan jihad inilah jihad yang paling besar.
Sementara itu, pada kesempatan lain Rasulullah juga  bersabda:

أَلَا إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Ingatlah, sesungguhnya jihad yang paling utama ialah ucapan yang benar di depan sultan (pejabat) yang berkhianat”[10]

Sebelum berjihad menuju perang, umat Islam yang saleh mestinya memperhatikan kedua jihad yang paling besar dan paling utama. Melawan hawa nafsu, mengendalikannya dan mengarahkan diri kepada hal-hal yang baik, serta memberi nasehat dan berkata benar di hadapan pemimpin yang berkhianat. Ironisnya, dua jihad yang sangat diagungkan Rasulullah SAW ini justru yang sering  terlupakan.

E.      Toleransi dan Dialog Antar Agama
Dialog dan kerukunan antar umat beragama masih merupakan barang mewah di banyak negara di dunia ini. Di Timur Tengah, India, Burma, Irlandia, belum lagi di negara-negara Uni sovyet dan bekas Yugoslavia, ketegangan antar umat beragama masih sangat tampak menghiasi berita media massa. Di berbagai negara, pluralitas keberagamaan manusia dapat dengan mudah mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa.
Pluralitas agama di Indonesia, yang berpenduduk mayoritas muslim, begitu banyak mendapat sorotan tajam oleh banyak pengamat luar negeri. Menurut mereka, model dialog dan kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia perlu dikembangkan.[11]
Dalam dialog antar umat beragama, harus diyakini terlebih dahulu, bahwa sudah pasti ada kebenaran mutlak dalam agama. Tetapi komunikasi antar budaya,  tak bisa memutlakkan kebenaran itu, sebab begitu kebenaran mutlak tadi diserahkan Tuhan ke tangan manusia untuk menata kehidupan, segera kita jadi ragu adakah kita telah mengoperasikan kebenaran tadi dengan benar.
Di “Tangan” Tuhan, kebenaran mutlak memang tetap mutlak. Tapi manusia bukan Tuhan. Manusia dengan sendirinya tak bisa hidup secara mutlak-mutlakan. Dengan pegangan aturan yang serba sempurna pun manusia tetap punya kecenderungan menyimpang.
Manusia, karenanya, niscaya ragu akan kemampuan dan kejujurannya, ketika harus menyikapi orang lain dalam urusan kebenaran. Maka wajar bila dalam komunikasi antar budaya tadi, seseorang dituntut untuk mencoba berani mendengar kenyataan bahwa orang lain pun bukan tak mungkin memiliki apa yang disebut kebenaran.
Dialog antar agama, pada dasarnya dikerjakan bersama untuk menumbuhkan saling pengertian, dan bila mungkin untuk kerjasama antar agama dalam mengurusi hidup keduniaan. Pada hemat penulis, usaha mendialogkan kebenaran tadi tanpa menurunkan derajat keluhuran dan kesucian yang diyakini.
Benar ada batas-batas yang wajib dijaga dalam semua agama, tapi wilayah itu terletak pada kebenaran di tingkat “ideal”, atau kebenaran “ilahiyah” yang bersifat “transendental” dan tak terjamah. Sebaliknya, dialog antar agama pada dasarnya berbicara tentang kebenaran “historis”, kebenaran “duniawi” yang padanya terbuka sejumlah jalan untuk sejenis kompromi. Di sana kita tak melanggar apa yang sakral.
Dialog antar agama, ringkasnya, bukan hanya boleh, melainkan harus, karena ia merupakan sebuah kebutuhan juga. Dengan dialog itu kita berarti membuka sekat-sekat budaya primordial yang secara psikologis mengungkung kita untuk beberapa lama. Kungkungan itu memang tak jarang terasa, seperti selimut yang membuat hangat, tapi mungkin juga kehangatan palsu, dan karenanya tak membebaskan kita dari sejenis etnosentrisme keagamaan. Maka tiba saatnya sekarang untuk membongkar “berhala” primordialisme itu.
Para pemeluk agama yang berbeda dengan demikian tak diharamkan hukumnya, bila mereka berbagi dan menggali (dari agama masing-masing) kebenaran tingkat “duniawi” untuk bisa bersama-sama menata kehidupan. Kebersamaan itu penting karena mustahil bila tugas itu  dibebankan hanya pada umat suatu agama tertentu.
Tetapi dialog itu hanya akan menghasilkan sesuatu yang berarti, jika dalam diri kita tumbuh suatu sikap dan pengagungan nilai luhur: pemihakan “transendental”. Pemihakan “transendental” ini kira-kira maksudnya pilihan sikap batin dan segenap kecenderungan jiwa yang bersifat lintas batas, yang dalam benak penulis sering terbayang bahwa hal itu mestinya wajib dimiliki oleh tiap intelektual. Tentu saja “batas” di sini bisa bermakna plural: Psikologis, kultural (termasuk politis) dan segenap kecenderungan sikap primordial, sebab pada dasarnya pemihakan “transendental” mensyaratkan dihapuskannya tanpa syarat apa pun “sekat-sekat” psikologis, kultural dan aneka corak primordialisme dalam wawasan dan sikap antitesis dari “berhala” primordialisme tadi.
Ini merupakan semacam syarat mutlak dalam dialog antar agama, karena kebenaran, yang dijadikan pokok dalam dialog itu, adalah perkara “subtil” dan seolah tak terjamah. Apalagi bila kita tetap terkungkung dalam sikap “memberhalakan” kebenaran primordial kita sendiri.
Bila dalam kehidupan sehari-hari kita mencoba menghayati dan mewujudkan pemihakan semacam itu, dengan catatan bahwa Allah tetap nomor satu dalam hidup kita, maka dalam beragama, kita akan lebih berusaha mengembangkan suatu pemahaman bahwa tatanan agama menyuruh kita mengamalkan apa saja yang harus diamalkan, demi kemaslahatan seluruh alam raya, terutama manusia. Bukankah Islam diturunkan Tuhan ke bumi buat kepentingan itu?
Memang menarik sekali membicarakan dialog dan kerukunan umat bergama jika dikaitkan dengan ajaran Islam. Hal ini karena secara historis, model dialog dan kerukunan antar agama sendiri telah berkembang sejak Nabi Muhammad SAW belum hijrah ke Madinah.
Di awal perjuangan Islam di Mekah, umat Islam yang masih sedikit jumlahnya itu pernah dilindungi oleh seorang penguasa beragama Kristen . Saat itu umat Islam dikejar-kejar, disiksa, dan bahkan dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Nabi Muhammad SAW  pernah mememrintahkan  kaum Muslimin untuk hijrah (dalam sejarah Islam dikenal sebagai hijrah yang pertama) ke Habasyah (Abisinia), negeri yang oleh Nabi Muhammad SAW disebut aman bagi kaum Muslimin, meskipun rajanya, Najasyi, seorang pemeluk agama  Kristen. Najasyi yang berbudi luhur, bijaksana dan adil itu, menerima kaum Muslimin dengan baik.
Ketika tentara Quraisy menemui Najasyi dan memintanya agar para “pelarian” dikembalikan ke Mekah, Najasyi tak begitu saja percaya pada apa yang mereka katakan. Raja itu pun  menyelidiki langsung kaum Muslimin tersebut.
“Agama apa ini, yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkkan  masyarakat tuan-tuan sendiri, tapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku, atau juga agama lain?”, tanya Najasyi.
Ja’far bin Abu Thalib, juru bicara kaum Muslimin, menjelaskan kondisi peradaban negerinya, Mekah dan segenap kebiasaan buruk yang berlangsung, sampai kemudian datang wahyu Tuhan kepada Muhammad SAW, orang yang sudah terkenal jujur, adil dan tidak pernah berbohong, untuk menjadikannya Nabi yang akan menyiarkan agama baru yang hanya menyembah satu Tuhan Yang Maha Esa.
“Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan bacakan kepada kami?”, tanya Raja Najasyi lagi.
“ya”, sahut Ja’far. Ia lalu membacakan Surat Maryam, di mana ada bagian yang membenarkan apa yang termuat dalam kitab Injil.
“Maka kata-kata yang keluar itu dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Isa”, sahut para pemuka istana serempak. (Dalam kitab-kitab sejarah berbahasa Arab tertulis “Isa”, menurut hemat penulis, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, mestinya tertulis “Yesus”, karena yang dimaksud “Isa” oleh pemuka Istana Habasyah tentu saja “Yesus Kristus”)
“Kata-kata ini, dan yang di bawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama”, sahut Raja Najasyi.
Raja itu tidak ingin menyerahkan kaum Muslimin kepada orang-orang Quraisy tersebut. Mereka lalu memfitnah bahwa kaum Muslimin dengan membuat tuduhan yang menjelekkan Isa, anak Maryam.
Raja menanyai lagi kaum Muslimin, yang dijawab Ja’far bahwa itu tidak benar. “Tentang dia (maksudnya Nabi Isa), pendapat kami sama dengan apa kata Nabi kami: “Dia adalah hamba Allah dan utusanNya, dan firmanNya yang disampaikan kepada perawan Maryam”, kata Ja’far lagi.
Raja itu lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di tanah. Dengan paras muka gembira ia berkata: “Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini”.[12]
Inilah suatu pengakuan jujur dalam sebuah dialog terbuka untuk menyatakan kebenaran sebagaimana mereka yakini masing-masing. Kita diingatkan bahwa sebenarnya perkara dialog antar agama itu dulu kala sudah pernah ada, dan berhasil dengan baik. Ada satu hal yang mendasar dan penting, dan karena itu layak kita teladani: Masing-masing pihak saling menyadari ada perbedaan dan persamaan.
Dan bagi kedua belah pihak tampaknya ada kesediaan mengakui serta menghargai apa yang tampak luhur dalam agama orang lain. Setuju atau tidak, apa yang luhur itu harus dihormati. Kita pun mesti bisa belajar dari mereka untuk menaruh empati kepada orang lain, termasuk menghormati keluhuran keyakinannya, tanpa melukai dan melanggar batas-batas yang tak bisa dilanggar dalam keyakinan kita sendiri, sebagaimana dikemukakan di atas. Demikian dialog antar umat beragama yang terjadi ketika masa awal Islam sebelum hijrah ke Madinah. Sedangkan secara normatif, Al-Qur’an berkali-kali mengingatkan umat Islam untuk selalu bersikap bijak dan toleran terhadap pemeluk agama lain.
Firman Allah SWT:
لاَ إِكْرَاهَ فِيْ الدِّيْنِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”.[13]

Firman Allah SWT:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berdiaoglah terhadap mereka dengan cara yang lebih baik”[14].

F.       Penutup
Demikianlah Studi Islam tentang hubungan antar umat beragma agama dari sudut pandang ajaran wahyu secara normatif dan praktik historis keberagamaan. Sengaja dua pendekatan ini diketengahkan, karena pada dasarnya, antara ajaran ilahi secara normatif dan sejarah praktik keberagamaan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam memahami teks-teks Al-Qur’an. Menurut istilah Prof. Dr. Amin Abdullah, Keduanya harus menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak.[15]
Ayat-ayat Al-Qur’an sebagai wahyu tidak bisa begitu saja dilepaskan dari asbâb al-nuzûl nya. Apalagi Al-Quran tidak tersusun secara tematik seperti lazimnya buku-buku sekarang. Untuk itu asbâb al-nuzûl suatu ayat niscaya harus selalu diangkat dalam setiap interpretasi terhadap teks-teks Al-Qur’an. Demikian juga praktik keberagamaan Rasulullah dan para sahabat harus diperhatikan, untuk memahami kondisi kultural, psikologis, maupun sosiologis di masa lalu. Dengan demikian, perpaduan antara pendekatan normativitas wahyu dan historisitas keberagamaan terasa hidup, segar, qâbilun li al-niqâsy, terbuka, open ended dan dinamis.[16] Dan yang lebih penting lagi, kita tidak menyimpang  dari cita-cita dan semangat Al-Qur’an.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Mahmud, Dr., Lamhaat min hayatihi wa nafahaat min hadiyihi, (Kairo: Makrabah Daar asy-sya’b) tt.

Abdullah Ahmad ‘Aasyur, 10 Orang dijamin ke surga (Jakarta: Gema Insani Press, 1991).

Ahmad Syalabi, Prof. Dr., Sejarah kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra), tahun 2000 cet ke –4

Hassan Hanafi, Dr., Pengantar ilmu Oksidentalisme, (Jakarta: Paramadina) tahun 2000.

Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Zâd al-Ma`âd (Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-`Arabiy, ttp, tth.)

M. Amin Abdullah, dkk, Seri Kumpulan Pidato Guru Besar: Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman, (Yogyakarta: Suka Press) tahun 2003

M. Amin Abdullah, Prof. Dr., Studi Islam; Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka pelajar) cet ke-3, tahun 2002.

Muhammad Sayyid Thanthawi, Prof. Dr., Al-Fiqh Al-Muyassar, (Kairo: As-Sa’aadah) tahun 2001 cet ke-1.


[1] Dr. Komaruddin Hidayat, Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat, dalam pengantar Dr Hassan Hanafi, Oksidentalisme, (Jakarta: Paramadina) Tahun 2000, hlm xiii.
[2] Beberapa waktu lalu, pengakuan Imam Samudera dan kawan-kawan yang menyatakan hal tersebut sering ditayangkan diberbagai stasiun televisi swasta.
[3] Lebih jauh tentang studi agama dari sudut pandang normativitas dan historisitas ini bisa di baca dalam Prof. Dr. Amin Abdullah, Studi Islam; Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka pelajar)
[4] Surat al-Hajj: 39 dan 40.
[5] Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra) Tahun 2000 cet ke-4, vol 1, hlm 154.
[6] Surat al-Baqarah: 190
[7] Abdullah Ahmad ‘Aasyur, 10 Orang dijamin ke surga (Jakarta: Gema Insani Press) Tahun 1991, hlm 33
[8] Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Zâd al-Ma`âd (Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-`Arabiy, ttp, tth.)  I/48.
[9] Kata Imam At-tirmidzi: Hadits ini Hasan Shahih. Imam Ahmad meriwayatkan pula dengan sanad Hasan.
[10] Riwayat Imam Ahmad, dari hadits Abu said Al-Khudzri.
[11] Prof. Dr. Amin Abdullah, Studi Islam; Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka pelajar) cet ke-3, tahun 2002, hlm 76.
[12] Dr. Abdul Halim Mahmud, Lamhaat min hayatihi wa nafahaat min hadiyihi, (Kairo: Makrabah Daar asy-sya’b, tt) hlm 85.
[13] Surat Al-Baqarah: 256.
[14] Surat An-Nahl: 125.
[15] Prof. Dr. Amin Abdullah, Studi Islam; Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka pelajar) cet ke-3 tahun 2000, hlm viii.
[16] Ibid, hln viii.

Tidak ada komentar:

Entri Populer