Oleh: DR. KH. Abdul Ghofur Maimoen
Perubahan kalimat dari satu makna ke makna lain sering secara
samar dan tak banyak disadari oleh banyak penggunanya. Tahu-tahu perubahan
tersebut telah menggeser lafadz dari satu makna ke makna yang jauh bahkan
sangat bertentangan sama sekali. Kalimat "sunat" barangkali salah
satu contohnya.
Semua muslim pasti tahu arti
sunat, terutama laki-laki yang sudah cukup umur. Ya .. sunat adalah pemotongan
kulup, alias khitan. Tak jelas secara pasti dari kata apa kalimat itu. Tapi
kemungkinannya diambil dari kata "sunat Rasul", perilaku Baginda
Rasul SAW, karena khitan memang adalah bagian dari sunah beliau. 'Sunatan
masal' dengan demikian adalah melakukan pemotongan kulup, yang itu adalah sunah
Rasul, secara bersama-sama.
Namun belakangan, 'sunat' telah
mengalami perubahan makna dari pemotongan kulup yang merupakan sunah Rasul ke
makna pemotongan secara umum. Dalam perspektif "balaghah Arab" perubahan demikian masuk dalam
kategori majaz
mursal, melalui proses ithlaaqul
muqayyad, yakni proses peniadaan batasan tertentu pada arti kata.
Jadilah kalimat 'sunat' kalimat liar yang siap dipergunakan untuk hampir semua
pemotongan, ada sunatan gaji, sunatan bantuan pemerintah, dan lain sebagainya.
Lalu karena saking seringnya penggunaan kalimat sunat untuk hal-hal yang
negatif, kalimat ini memiliki konotasi negatif pula.
Kalimat "sunat" yang
pada mulanya merupakan tindakan atau perilaku mulia meniru perilaku Baginda
Rasul pada akhirnya berubah menjadi perilaku a moral yang sama sekali tak ada
sangkut pautnya dengan sunnah Rasul tersebut.
Yaa Allah .. jauhkanlah bangsaku
dari gemar sunat menyunat, bukan sunnah memotong kulup, tapi memotong segala
fulus yang sama sekali bukan haknya. Mereka yang suka melakukan sunatan ini,
apalagi dalam bentuk sunatan masal, sungguh merupakan virus sangat berbahaya di
negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar